Tim reformasi diharapkan mampu menyerahkan hasil kerja yang substantif, bukan menambah beban politik melalui kegaduhan yang tidak perlu.
Jakarta (ANTARA) - Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) selalu menjadi agenda penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Harapan publik terhadap Polri yang profesional, transparan, dan berkeadilan adalah aspirasi yang sah dan terus menguat dari waktu ke waktu.
Namun, perlu diingat bahwa jalan menuju reformasi institusi sebesar Polri bukanlah lintasan pendek yang bisa ditempuh dengan langkah-langkah reaktif, apalagi dengan pendekatan yang berpotensi memicu kegaduhan politik.
Reformasi yang baik justru menuntut kehati-hatian, ketenangan, serta kepatuhan penuh pada kerangka konstitusional.
Polri bukanlah organisasi kecil dengan struktur sederhana. Dengan hampir setengah juta personel, sejarah panjang, dan kultur internal yang terbentuk selama puluhan tahun, setiap perubahan di tubuh Polri akan berdampak luas, tidak hanya secara internal tetapi juga pada stabilitas sosial dan politik nasional.
Karena itu, harus ditegaskan juga bahwa reformasi Polri tidak bisa diperlakukan seperti pembenahan unit birokrasi di tingkat bawah.
Kesalahan membaca skala dan kompleksitas institusi ini berisiko menimbulkan resistensi internal dan ketegangan eksternal yang justru menjauhkan tujuan reformasi itu sendiri.
Kehadiran Tim Percepatan Reformasi Polri, pada dasarnya merupakan ikhtiar yang patut diapresiasi sepanjang dijalankan dengan desain yang tepat dan mandat yang jelas.
Masalah muncul ketika tim ini dinilai bergerak terlalu reaktif terhadap isu-isu kasuistis di ruang publik.
Respons terhadap polemik Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 dan beberapa kasus hukum tertentu, misalnya, dipandang keluar dari fokus utama reformasi institusional yang bersifat struktural dan jangka panjang.
Reformasi semestinya tidak terjebak pada respons cepat terhadap tekanan opini publik, melainkan berpijak pada peta jalan yang terukur dan berkelanjutan.
Mekanisme Formal
Dalam pandangan banyak pihak, reformasi Polri harus dikembalikan pada mekanisme formal negara melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam kerangka trias politica.
DPR memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran yang secara konstitusional menjadi kanal utama untuk mendorong perubahan institusional.
Ketika rekomendasi tim reformasi tidak memiliki landasan politik yang kuat atau tidak ditindaklanjuti melalui mekanisme resmi, situasi ini justru membuka ruang bagi politisasi isu.
Rekomendasi yang menggantung di ruang publik tanpa kepastian implementasi dapat berubah menjadi komoditas politik yang berbahaya bagi stabilitas nasional.
Peringatan tentang potensi “gorengan politik” ini bukan tanpa alasan. Dalam iklim politik yang sensitif, isu reformasi aparat penegak hukum mudah ditarik ke dalam tarik-menarik kepentingan.
Alih-alih memperkuat institusi, kondisi tersebut justru bisa melemahkan kepercayaan publik dan memperkeruh hubungan antarlembaga negara.
Oleh karena itu, harus ditekankan mengenai pentingnya disiplin institusional dan kejelasan jalur kebijakan agar reformasi tidak kehilangan arah.
Aspek lain yang disoroti adalah desain kelembagaan dan kepemimpinan tim reformasi itu sendiri.
Penempatan Kapolri aktif sebagai anggota tim yang diketuai oleh figur non-struktural dinilai menyimpan potensi konflik kewenangan dan resistensi internal.
Dalam organisasi dengan hierarki dan budaya komando yang kuat, konfigurasi kepemimpinan yang tidak tegas dapat menghambat efektivitas kerja.
Pelajaran Sejarah
Reformasi institusi sebesar Polri menuntut kepemimpinan bertipe negarawan yang mampu merangkul, menenangkan, dan mengarahkan perubahan secara elegan, bukan sekadar mengandalkan permainan opini publik.
Pandangan ini sejalan dengan pelajaran sejarah politik Indonesia. Maka bangsa ini perlu mengingat kembali sejarah dan pengalaman jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid yang bisa menjadi contoh penting bahwa agenda reformasi tanpa konsep matang dan dukungan politik yang solid dapat berujung pada krisis kekuasaan.
Reformasi yang tidak disiapkan secara sistematis, meski dilandasi niat baik, berpotensi menimbulkan instabilitas yang merugikan banyak pihak.
Sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar memerlukan kesabaran, konsistensi, dan kecermatan membaca peta kekuatan politik.
Nada peringatan tersebut sesungguhnya berangkat dari sikap konstruktif. Bangsa ini tidak sedang menolak reformasi, justru mendorong agar reformasi Polri dijalankan dengan cara yang benar.
Bekerja secara senyap, sistematis, dan konstitusional menjadi kunci agar hasil reformasi benar-benar kokoh dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, penting pula dipahami bahwa reformasi institusi penegak hukum tidak hanya soal regulasi dan struktur organisasi, tetapi juga menyangkut perubahan kultur kerja dan etos profesionalisme.
Proses semacam itu membutuhkan waktu, konsistensi kebijakan, serta keteladanan kepemimpinan yang mampu membangun kepercayaan di internal organisasi. Reformasi yang dipaksakan melalui tekanan opini sesaat berisiko melahirkan kepatuhan semu, bukan perubahan substantif.
Selain itu, stabilitas nasional merupakan prasyarat penting bagi keberhasilan reformasi itu sendiri. Ketika agenda pembenahan Polri justru memicu keguncangan politik dan ketidakpastian, ruang bagi perbaikan yang rasional akan semakin menyempit.
Pemerintahan yang kuat dan stabil membutuhkan institusi keamanan yang solid, bukan yang terus berada dalam pusaran polemik. Oleh sebab itu, kehati-hatian dalam mengelola narasi dan tahapan reformasi menjadi keharusan agar tujuan jangka panjang tidak dikorbankan oleh dinamika jangka pendek.
Reformasi yang matang akan lebih mudah diterima oleh internal Polri sekaligus memperoleh legitimasi publik yang luas.
Pada akhirnya, tujuan utama reformasi Polri adalah memperkuat institusi negara agar semakin profesional dan dipercaya masyarakat.
Untuk mencapai tujuan itu, Presiden membutuhkan masukan yang jernih, terukur, dan bebas dari konflik baru.
Tim reformasi diharapkan mampu menyerahkan hasil kerja yang substantif, bukan menambah beban politik melalui kegaduhan yang tidak perlu.
Dengan pendekatan yang tenang dan konstitusional, reformasi Polri justru dapat menjadi fondasi penting bagi stabilitas demokrasi dan penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia.
*) Penulis adalah kritikus politik dan aktivis ‘98.







