Oleh: Pengamat Ekonomi, Dahlan Tampubolon
TRIBUNPEKANBARU.COM - Fenomena kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Natal dan Tahun Baru merupakan pola siklus yang berulang setiap tahun di Indonesia, termasuk di Provinsi Riau.
Dari perspektif ekonomi makro, fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori demand-pull inflation, di mana lonjakan permintaan agregat yang gak diimbangi oleh peningkatan pasokan secara proporsional menyebabkan tekanan harga.
Periode akhir tahun ditandai dengan peningkatan konsumsi rumah tangga karena tradisi perayaan keagamaan, budaya mudik, pemberian tunjangan hari raya (THR), dan bonus akhir tahun yang meningkatkan daya beli masyarakat.
Secara teoritis, elastisitas permintaan terhadap komoditas pangan cenderung inelastis dalam jangka pendek, sehingga ketika permintaan melonjak drastis, harga akan naik signifikan meskipun volume tambahan yang diminta relatif kecil.
Fenomena ini diperparah oleh ekspektasi inflasi yang menjadi ramalan yang nyata, di mana pedagang menaikkan harga karena mengantisipasi kenaikan permintaan, sementara konsumen melakukan pembelian lebih awal karena mengantisipasi kenaikan harga.
Dalam konteks Provinsi Riau, kondisi akhir tahun 2025 menunjukkan kompleksitas permasalahan yang jauh melampaui pola siklus biasa.
Data BPS mengungkapkan inflasi Riau mencapai 4,27 persen year-on-year pada November 2025, tertinggi secara nasional dengan IHK 110,86 poin, lonjakan drastis dari 1,25 % pada Desember 2024.
Baca juga: Harga dan Stok Bahan Pangan di Riau Terpantau Stabil Jelang Nataru, Tak Ada Penimbunan
Baca juga: Sejumlah Harga Sembako Melejit di Rohul Jelang Nataru, Ada Naik 50 Persen
Kenaikan ini tidak sekadar didorong oleh faktor permintaan musiman, tetapi juga oleh cost-push inflation akibat gangguan pasokan dari provinsi pemasok utama.
Ketergantungan struktural Riau pada pasokan cabai, bawang, dan daging dari Sumatera Barat dan Sumatera Utara menciptakan kerentanan sistemik.
Ketika bencana hidrometeorologi melanda kedua provinsi tersebut pada November-Desember 2025, gangguan rantai pasok langsung mentransmisikan shock harga ke pasar Riau.
Kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang berkontribusi pada inflasi hingga 7,41 % mencerminkan betapa signifikannya faktor eksternal ini dalam membentuk dinamika harga domestik Riau.
Dari perspektif ekonomi regional, disparitas inflasi antarwilayah di Riau mengungkapkan heterogenitas karakteristik pasar dan efektivitas kebijakan lokal. Tembilahan mencatat inflasi tertinggi 5,57 % sementara Kabupaten Kampar terendah 3,90 % , perbedaan 1,67 poin persentase yang substansial.
Adapun langkah solusi yang harus dilakukan menghadapi situasi ini yaitu:
Sistem ini memungkinkan pemerintah mengantisipasi potensi gangguan pasokan jauh-jauh hari dan melakukan intervensi preventif, seperti memperbanyak stok penyangga atau mencari sumber pasokan alternatif.
Investasi dalam teknologi pertanian modern, irigasi, dan pendampingan petani dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi ketergantungan pada provinsi tetangga.
Perjanjian kerjasama antardaerah (KAD) yang mengikat secara hukum dapat menjamin pasokan komoditas tertentu dengan harga yang wajar, bahkan ketika terjadi gangguan di wilayah pemasok.
Peningkatan kapasitas ini meliputi pelatihan analisis data inflasi, koordinasi antar stakeholder, dan kewenangan untuk melakukan intervensi pasar yang lebih lincah dan tepat sasaran.
Mengingat tantangan fiskal yang dihadapi Riau akibat pemotongan Transfer ke Daerah, pendekatan creative financing menjadi krusial. Pemerintah Riau dapat mengoptimalkan skema kemitraan pemerintah-swasta (KPS) untuk membangun infrastruktur pertanian dan distribusi pangan.
Perusahaan perkebunan besar yang beroperasi di Riau dapat diminta untuk mengalokasikan sebagian lahan atau dana CSR-nya untuk program ketahanan pangan masyarakat sekitar, menciptakan simbiosis mutualisme antara kesuksesan ekonomi korporasi dengan ketahanan pangan komunitas lokal.
Bank pembangunan daerah dapat memberikan skema pembiayaan khusus bagi petani dan pedagang komoditas pangan dengan bunga rendah untuk meningkatkan kapasitas produksi dan distribusi.
(Tribunpekanbaru.com / Nasuha Nasution)