TRIBUNBATAM.id - Ijazah dan beberapa dokumen asli Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) diperlihatkan dalam gelar perkara khusus yang diadakan penyidik Polda Metro Jaya pada Senin (15/12/2025) lalu.
Tiga tersangka yaitu pakar telematika Roy Suryo, ahli digital forensik Rismon Hasiholan Sianipar, dan Dokter Tifauzia Tyassuma sudah melihat langsung ijazah asli bahkan sudah melihat langsung ijazah asli tersebut.
Penyidik telah melakukan dua kali gelar perkara dalam kasus ijazah Jokowi dan dua kali asistensi dari Bareskrim Polri.
Bahkan, Polda Metro Jaya juga melakukan gelar perkara khusus sesuai permintaan para tersangka.
Namun, Roy Suryo cs sepertinya tidak puas dan masih mencari-cari kesalahan di ijazah Jokowi.
Polda Metro Jaya lantas mempersilakan Roy Suryo cs untuk mengajukan gugatan praperadilan jika tidak terima dengan hasil penyidikan.
Kuasa hukum Roy Suryo, Refly Harun, mengomentari sikap Polda Metro Jaya terkait hal tersebut.
Refly Harun menyebut praperadilan bisa menjadi jebakan bagi Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa.
Menurut Refly Harun, hukum di Indonesia saat ini masih bermasalah.
Oleh karena itu, Refly Harun tidak setuju dengan adanya pengajuan gugatan praperadilan tersebut.
"Mengenai praperadilan begini, kita ini kan seolah-olah everything is oke, ya kan? Negara hukum Indonesia, the rule of law dan lain sebagainya. Enggak begitu dong, Bro. Kita tahu bahwa banyak hal-hal yang kemudian penegakan hukum itu enggak normal," ucapnya, dikutip dari YouTube Kompas TV, Minggu (21/12/2025).
"Makanya saya katakan, If you part of the government then praperadilan itu gampang, bisa lolos. Tapi ketika Anda pada posisi yang berbeda, Anda harus hati-hati, bisa jadi jebakan Batman," tegasnya.
Baca juga: Alasan Jokowi Ogah Ampuni Roy Suryo, Rismon dan Dokter Tifa, Khusus Tersangka Lain Dimaafkan
Refly kemudian menjelaskan bahwa pada gelar perkara khusus yang telah rampung dilaksanakan, tidak ada hal-hal rasional yang bisa mentersangkakan Roy Suryo cs,
"Kan cuma dikatakan ada 700 bukti dan lainnya, tolong tunjukkan tempus delicti-nya mana, locus-nya mana, peristiwanya apa. Dia main blanket aja, disatukan saja begitu. Enggak bisa begitu tindak pidana, enggak boleh pakai kalau dia kena, dia juga kena kan," paparnya.
"Kalau kita melakukan praperadilan, ini bakal jebakan Batman. Artinya it could be menjadi alat legitimacy bagi sebuah proses penyidikan yang unprofesional seperti ini," tambah Refly.
Polisi sebelumnya diketahui telah menyita 17 jenis barang bukti dan 709 dokumen dalam kasus ijazah Jokowi ini, termasuk memenuhi permintaan dari para tersangka untuk ditunjukan ijazah asli dari Jokowi yang secara resmi telah diterbitkan oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Selain itu, penyidik telah memeriksa 130 saksi dan 22 ahli dari berbagai bidang, termasuk Dewan Pers, KPI, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, akademisi digital forensik, ahli bahasa Indonesia, serta ahli sosiologi hukum.
Polisi juga menegaskan bahwa proses penyidikan sedari awal telah dilakukan secara transparansi, profesional, dan proporsional.
Respons Penasihat Ahli Polri
Menanggapi pernyataan Refly tersebut, Penasihat ahli kapolri, Aryanto Sutadi, menilai tidak seharusnya seseorang asal bicara karena negara ini adalah negara hukum.
Dia lantas menyebut kata-kata yang disampaikan Refly itu tidak sepantasnya diucapkan oleh seseorang yang paham hukum.
"Saya pikir ini kalau yang berbicara gitu, orang yang enggak ngerti hukum saya enggak apa-apa. Tapi kalau orang yang bicara mengenai hukum, itu namanya menyesatkan. Itu kalau pandangan saya kayak gitu," ucap Aryanto dalam kesempatan yang sama.
"Jadi negara hukum kita itu ya di dalam proses penyidikan itu kalau ada terjadi keberatan, curiga bahwa itu alat buktinya itu dimanipulasi dan sebagainya, satu-satunya jalan ya dia mengadu pada hakim bahwa ini enggak diperlakukan adil," imbuhnya.
Refly pun menimpali kembali dengan menyinggung adanya reformasi polri yang kini tengah dilakukan.
Reformasi polisi merupakan upaya transformasi organisasi kepolisian agar lebih profesional dan akuntabel dalam memberikan pelayanan, supaya bisa lebih tanggap dalam merespons ancaman, serta responsif dalam memahami kebutuhan masyarakat.
Bahkan, Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia juga memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk memberikan masukan terkait reformasi di Polri.
"Pak Aryanto, kalau negara kita sudah benar, tidak ada muncul yang namanya reformasi Polri yang saat ini sedang bekerja, kalau benar. Karena banyak yang tidak benar, makannya kan satu-satu kita lihat, kita sisir," ujar Refly.
"Anda kan juga punya pengalaman ketika melamar sebagai KPK. Jadi maksud saya kita ini realistislah ya," katanya.
Sekadar informasi, Komisi Percepatan Reformasi Polri itu memiliki sepuluh anggota dengan latar belakang mantan dan pejabat aktif pemerintah maupun petinggi kepolisian, yakni Jimly Asshiddiqie, Ahmad Dofiri, Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, Supratman Andi Agtas, Otto Hasibuan, Listyo Sigit Prabowo, Tito Karnavian, Idham Azis, dan Badrodin Haiti.
Pembentukan komisi ini bertujuan untuk melakukan kajian menyeluruh dan berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara terhadap institusi Polri, termasuk menilai kekuatan dan kelemahan yang ada.
Baca juga: Sebut Ijazah Jokowi Harus Dibuktikan, Eks Wakapolri: Potensi Kriminalisasi Roy Suryo cs Sangat Kuat
Lebih lanjut, Refly juga menyinggung mengenai kebebasan berpendapat setiap individu.
"Kalau saya angkat lagi pada level konstitusi, kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat baik lisan dan tulisan, negara yang menghukum seseorang yang berpendapat itu negara yang demokrasinya low level," paparnya.
Sebagai informasi, dalam kasus ini, Polda Metro Jaya sebelumnya telah menetapkan 8 orang sebagai tersangka kasus ijazah palsu Jokowi pada Jumat (7/11/2025) lalu, yang dibagi menjadi 2 klaster.
Klaster pertama ada lima tersangka, yakni Eggi Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, Damai Hari Lubis, Rustam Effendi, dan Muhammad Rizal Fadillah.
Namun, kelimanya hingga saat ini masih belum diperiksa sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya.
Kemudian klaster kedua ada tiga tersangka, yaitu Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma atau Dokter Tifa.
Roy Suryo cs diketahui sudah diperiksa sebagai tersangka sebanyak 2 kali oleh Polda Metro Jaya.
Dalam kasus ini, para tersangka dijerat Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP dan/atau Pasal 27A juncto Pasal 32 juncto Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
(TribunBatam.id)