Oleh: Hafiz Elfiansya Parawu
Dosen FISIP dan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Di era digital sekarang ini, pemerintah tidak hanya dituntut bekerja dengan baik, tetapi harus juga terlihat bekerja dengan baik.
Kritik, hujatan, hingga kemarahan warganet yang membanjiri media sosial terhadap kinerja pemerintah, termasuk dalam penanganan bencana, mencerminkan perubahan mendasar dalam hubungan negara dengan warga.
Kini, publik bukan lagi menilai kinerja pemerintah semata melalui laporan resmi atau pernyataan pejabat, tetapi melalui pengalaman langsung, kesan realtime, serta narasi yang beredar di ruang digital.
Sehingga, persepsi publik telah menjadi ukuran baru kinerja pemerintahan modern.
Pandangan Denhardt; Denhardt dalam konsep New Public Service, menegaskan bahwa pemerintahan yang baik harus fokus melayani warga, bukan sebatas “menggerakkan birokrasi”.
Maknanya, pengalaman warga ketika berinteraksi dengan pelayanan pemerintah adalah indikator kinerja yang sama pentingnya, bahkan lebih nyata, dibanding indikator administratif internal seperti output kegiatan, realisasi anggaran, atau jumlah rapat koordinasi.
Ketika publik merasa tidak terlindungi atau tidak terlayani dengan baik, maka klaim pemerintah bahwa mereka telah “bekerja maksimal” tidak banyak berarti.
Selain itu, teori Governance menekankan bahwa negara kini beroperasi dalam ekosistem yang lebih terbuka, di mana masyarakat memiliki kapasitas untuk memproduksi informasi, mengawasi, dan mengkritik.
Media sosial memperkuat karakter ini. Yang dulunya hanya terbatas sebagai percakapan di ruang privat kini menjelma menjadi arena publik yang masif, cepat, dan kerap emosional.
Contohnya dalam konteks penanganan bencana, keterlambatan komunikasi dapat diterjemahkan sebagai ketidakpedulian. Ketidaktepatan data dapat dianggap sebagai ketidakmampuan.
Dan klaim keberhasilan pemerintah sering dianggap sebagai pencitraan jika tidak berkesesuaian dengan kondisi riil warga di lapangan.
Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya kinerja perseptual (perceived performance), yang menekankan bahwa kualitas pelayanan tidak hanya dinilai dari prosedur atau implementasi teknis, tetapi dari bagaimana warga menerima dan merasakannya.
Bahkan menurut Moore terkait konsep Public Value, nilai publik tercipta hanya jika masyarakat mengakui manfaatnya.
Artinya, kinerja administratif tidak otomatis menghasilkan kepercayaan, kepercayaan lahir dari nilai yang dirasakan.
Mengapa gap ini terjadi? Pertama, ritme birokrasi sering kali tidak seirama dengan ritme media sosial.
Birokrasi bergerak dengan kehati-hatian prosedural yang merupakan bagian dari akuntabilitas formal, sementara publik bergerak mengikuti logika kecepatan, responsivitas, dan empati.
Dalam situasi krisis, publik lebih membutuhkan kepastian, kehadiran, dan penjelasan konkret, bukan sekadar data yang tersusun rapi dalam konferensi pers.
Saat komunikasi pemerintah kaku dan defensif, ruang digital diisi oleh narasi non resmi yang lebih cepat, lebih emosional, dan lebih mudah dipercaya.
Kedua, tingkat trust institusional masyarakat terhadap pemerintah tidak begitu tinggi. Dalam kondisi kepercayaan rendah, kesalahan kecil menjadi bukti ketidakmampuan, sementara keberhasilan sering dianggap kebetulan atau politis.
Dalam Institutional Theory, persepsi publik terhadap institusi sangat mempengaruhi legitimasi, terlepas dari realitas kinerjanya. Sebaliknya, ketika kepercayaan tinggi, publik lebih toleran terhadap kekurangan.
Ketiga, media sosial menciptakan apa yang disebut amplification effect. Unggahan satu warga yang sedang frustrasi dapat menjadi representasi nasional dalam hitungan jam.
Bukan karena warga tidak rasional, melainkan karena ruang digital membuka panggung bagi pengalaman subjektif untuk menjadi narasi publik.
Ini tidak bisa dianggap sekadar “sinetron warganet”, ini adalah bentuk artikulasi aspirasi baru.
Karenanya, pemerintah perlu mengakui bahwa kinerja yang baik tidak cukup tanpa komunikasi yang baik. Komunikasi bukan pelengkap implementasi kebijakan, ia adalah bagian dari kinerja itu sendiri.
Pemerintah perlu hadir dengan empati, kecepatan, kejelasan, dan konsistensi.
Respons yang transparan, bukan defensif; dan komunikasi dua arah, bukan sekadar penyampaian informasi.
Di era keterbukaan seperti sekarang ini, persepsi publik menjadi cermin yang tidak bisa diabaikan. Ia bukan musuh pemerintah, tetapi alat koreksi yang berharga.
Pemerintah yang mampu membaca, memahami, dan merespons persepsi publik dengan tepat akan lebih dipercaya, lebih efektif, dan lebih legitimate.
Sebaliknya, mengabaikan persepsi publik berarti mengabaikan inti dari administrasi publik itu sendiri, melayani manusia, bukan sekadar menjalankan prosedur.(*)