TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Masyarakat Jawa, termasuk Solo, Jawa Tengah, memiliki tradisi makan bersama yang dikenal sebagai bancakan.
Bancakan ini dilakukan sebagai salah satu bentuk syukur kepada Tuhan sekaligus upaya mempererat silaturahim.
Tradisi ini tidak hanya sekadar bersantap, tetapi sarat makna simbolis dan nilai budaya yang telah diwariskan turun-temurun.
Baca juga: Sejarah Tradisi Nyumbang atau Njagong Hajatan di Solo : Akulturasi Hindu Jawa-Islam yang Bertahan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bancakan berarti selamatan atau kenduri.
Meski keduanya mengundang tetangga untuk berdoa dan makan bersama, perbedaan terletak pada siapa yang diundang.
Bancakan biasanya digelar untuk anak-anak, terutama dalam memperingati hari kelahiran atau weton mereka setiap bulan, sedangkan kenduri mengundang orang dewasa.
Prosesi utama bancakan dimulai dengan doa yang dipimpin orang tua anak yang dibancaki.
Makanan yang telah disiapkan diletakkan di tengah sebagai simbol agar mendapat berkah.
Doa umumnya berisi permohonan keselamatan, kesehatan, dan kebahagiaan untuk sang anak.
Sebelum makan, orang tua mengingatkan teman-teman yang hadir agar anak yang dibancaki diajak bermain siang hari dan ditemani tidur malam hari.
Baca juga: Asal-usul Kecamatan Jatinom di Klaten : Nama Pemberian Ki Ageng Gribig, Kawasan Penjaga Tradisi
Setelah doa, makanan dibagikan dan disantap bersama dalam satu wadah atau kepungan, simbol persatuan lintas perbedaan ekonomi, suku, bahkan agama.
Di beberapa tempat, nasi dibagikan secara adil sebelum dimakan bersama.
Makanan khas bancakan biasanya berupa nasi liwet, tahu, tempe, urap sayur dengan kelapa parut, dan telur rebus, disajikan di tampah beralas daun pisang.
Nasi yang tersisa disebut nasi gandulan, biasanya dibagikan ke tetangga yang tidak hadir.
Filosofi makanan dalam bancakan sarat simbolisme:
Bancakan weton digelar setiap 25 hari kalender Jawa untuk syukur atas kelahiran anak, memberi upah pengasuh, dan melestarikan tradisi Kejawen.
Dalam thesis Sukmawan Wisnu Pradanta, bancakan weton memuat symbolisme mendalam melalui berbagai ubo rampe: tumpeng, ayam ingkung, gudhangan, telur rebus, bumbu urap, jajan pasar, kembang telon, bubur tujuh rupa, hingga uang logam.
Setiap elemen memiliki makna tersendiri, misalnya:
Saat ini, tradisi bancakan weton mulai jarang dilakukan, terutama setelah anak berusia delapan bulan.
Penyebabnya antara lain: kurangnya kesadaran menjaga budaya, anggapan beberapa orang bahwa tradisi ini syirik, serta pengaruh teknologi dan pengetahuan agama yang membuat generasi muda menjauhi ritual adat.
Meski demikian, bancakan weton tetap menyimpan nilai moral dan spiritual tinggi, membentuk keseimbangan antara lahir dan batin, serta memperkuat hubungan sosial dan budaya.
Makanan tradisional yang disajikan tidak hanya untuk gizi, tetapi juga sebagai simbol identitas dan warisan budaya masyarakat Jawa.
(*)