Oleh: Dr. Muhammad Aras Prabowo
Isu tentang keaslian ijazah Presiden Republik Indonesia ke-7 Joko Widodo (Jokowi) telah menjadi bahan diskusi publik yang luas selama 2025.
Survei nasional menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempercayai tuduhan bahwa ijazah Jokowi palsu, yaitu sekitar 74,6 persen tidak percaya, dengan 12,2 persen yang percaya isu tersebut menurut survei LSI Denny JA yang metodologinya melibatkan 1.200 responden nasional dengan margin of error ±2,9 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun isu ini ramai, mayoritas publik tetap skeptis terhadap klaim negatifnya.
Untuk memahami dampak isu ini secara ekonomi, kita perlu melihatnya melalui attention economy—teori bahwa perhatian publik adalah komoditas dengan nilai ekonomi nyata—yang oleh para peneliti dijelaskan sebagai fenomena di mana media dan platform digital mengejar keterlibatan audiens sebagai sumber pendapatan.
Baca juga: Audit Substantif untuk Desa
Secara komparatif, ketika topik hangat seperti isu ijazah mendapat headline, media memperoleh lebih banyak klik dan view, yang secara tidak langsung dapat menaikkan tarif iklan digital—dengan kenaikan CPM (cost per mille) hingga 20–35 persen dibanding periode normal karena permintaan slot iklan bertambah kuat.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna YouTube yang sangat besar, sesuai tren pertumbuhan pengguna yang mencapai lebih dari 2,5 miliar orang globalnya.
Pendapatan ini berasal dari ad monetization, super chat, donasi, dan mungkin brand sponsorship bagi kanal yang konsisten menangkap perhatian audiens. Dalam konteks content creator profesional, hal ini bisa mendorong kenaikan pendapatan hingga 30–50 persen YoY (year-on-year) tergantung pada konsistensi konten dan demografi audiens.
Isu ijazah Jokowi juga memicu mobilitas nyata, misalnya perjalanan media crew, narasumber, pengamat, serta peserta diskusi publik atau demo terkait isu tersebut.
Misalnya, permintaan layanan transportasi online dapat meningkat pada hari-hari peliputan utama atau pemeriksaan kasus hukum, mendorong tambahan permintaan 10–15 persen untuk layanan tertentu, terutama di kota-kota besar.
Mobilitas ini bukan sekadar angka sederhana, tetapi menggairahkan lapangan ekonomi di sektor transportasi, termasuk taksi online, taksi konvensional, dan logistik kru media.
Isu ijazah Jokowi tidak hanya berhenti pada wacana lisan dan konten digital, tetapi juga melahirkan produk pengetahuan tertulis dalam bentuk buku analisis, laporan kebijakan, dan yang populer dengan judul Jokowi’s White Paper. Buku ini berfungsi sebagai dokumen semi-akademik yang menyajikan argumen, data, klarifikasi, maupun bantahan atas isu ijazah.
Dalam literatur ekonomi penerbitan, isu politik aktual terbukti meningkatkan demand-driven publishing, yakni penerbitan yang dipicu oleh momentum isu. Studi industri penerbitan menunjukkan bahwa buku bertema politik kontemporer yang relevan dengan isu nasional memiliki lonjakan penjualan 15–25 persen dibandingkan judul politik generik, khususnya dalam 3–6 bulan pertama sejak isu mengemuka.
Pola ini diperkuat oleh pergeseran perilaku pembaca ke format digital (e-book dan PDF berbayar) yang memangkas biaya produksi dan mempercepat distribusi.
Pada kasus Jokowi’s White Paper, efek ekonominya terlihat pada: Peningkatan penjualan e-book dan laporan digital melalui marketplace buku dan kanal distribusi independen; Permintaan cetak terbatas (print on demand) untuk diskusi akademik, seminar, dan komunitas politik; Pembelian institusional oleh kampus, lembaga kajian, dan komunitas diskusi sebagai bahan kajian atau referensi.
Secara rasional, jika sebuah white paper politik dijual dengan harga rata-rata Rp50.000–Rp75.000 dan mencapai sirkulasi 3.000–5.000 eksemplar digital maupun cetak terbatas, maka nilai ekonomi langsung yang tercipta dapat mencapai Rp150–375 juta per judul, belum termasuk efek lanjutan berupa diskusi, seminar, dan reproduksi ilmiah lainnya.
Ini menunjukkan bahwa isu ijazah Jokowi telah menciptakan pasar pengetahuan politik yang bernilai ekonomi nyata.
Isu ijazah yang memiliki dimensi hukum mendorong peningkatan permintaan jasa pengacara — baik untuk konsultasi, klarifikasi, maupun litigasi.
Estimasi profesional hukum menunjukkan bahwa pengacara yang menangani kasus bernuansa politik dapat menikmati kenaikan tarif jasa 15–20 persen selama masa puncak isu karena urgensi dan kompleksitas layanan.
Influencer politik dan komentator digital memanfaatkan isu ini sebagai konten untuk engagement.
Banyak dari mereka melihat engagement rate naik tajam, yang dalam beberapa kasus dapat meningkatkan biaya endorsement hingga 2–3 kali lipat, apalagi jika konten mereka menarik klik dan donasi dari audiens setia.
Perlu ditegaskan bahwa sektor jasa percetakan dalam isu ini tidak sekadar mencetak selebaran atau pamflet, melainkan berperan signifikan dalam produksi fisik buku Jokowi’s White Paper dan dokumen analisis terkait.
Percetakan lokal dan menengah menjadi aktor utama dalam model short-run printing dan print on demand, yang kini menjadi tren dalam industri penerbitan politik.
Permintaan percetakan buku white paper meningkat karena beberapa faktor: Kebutuhan cetak untuk diskusi publik, seminar, dan forum akademik; Distribusi terbatas untuk komunitas politik, hukum, dan kampus; Reproduksi dokumen pendukung untuk keperluan advokasi, kajian hukum, dan klarifikasi publik
Data industri percetakan menunjukkan bahwa percetakan yang menerima pesanan buku tematik aktual dapat mengalami kenaikan volume produksi 12–18 persen selama periode isu memuncak, terutama untuk buku dengan oplah kecil–menengah (100–1.000 eksemplar per cetak).
Jika rata-rata biaya cetak buku white paper berkisar Rp25.000–Rp40.000 per eksemplar, maka satu kali pesanan 1.000 buku dapat menghasilkan perputaran ekonomi Rp25–40 juta bagi satu unit usaha percetakan.
Lebih jauh, efek ekonomi ini bersifat multiplier, karena percetakan juga menyerap: jasa desain dan tata letak; penyedia kertas dan tinta; tenaga kerja finishing dan distribusi.
Dengan demikian, isu ijazah Jokowi melalui produksi Jokowi’s White Paper tidak hanya menggerakkan sektor intelektual, tetapi juga menghidupkan rantai ekonomi kreatif percetakan berbasis pengetahuan politik—sebuah sektor yang sering luput dari perhatian dalam analisis ekonomi politik konvensional.
Diskusi, seminar, dan acara panel publik tentang isu ini yang memakai ruangan hotel atau aula sering meningkatkan okupansi meeting rooms sekitar 10–18 persen pada event-event tertentu, terutama di Jakarta dan kota besar lain.
Isu ijazah Jokowi, meski secara substantif ditolak mayoritas oleh publik, tetap menghasilkan multiple economic effects yang nyata "ijazah panen rupiah".
Di era digital, isu politik menghasilkan attention economy dinamis yang berdampak pada media tradisional, platform digital, jasa profesional, dan sektor konsumsi terkait lainnya, menunjukkan bahwa informasi politik bukan hanya fenomena sosial, tetapi juga fenomena ekonomi.(*)