TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG – Sebuah pohon Natal setinggi 10 meter menjulang tinggi di halaman Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Beth-El Magelang.
Keberadaannya menarik perhatian siapa pun yang melintas di kawasan pusat kota.
Berbeda dari pohon Natal pada umumnya, pohon ini didominasi hiasan tali rafia berwarna putih yang disusun menjuntai ke bawah, berpadu dengan lilitan kain melingkar dan bola-bola plastik beragam warna.
Saat malam tiba, cahaya lampu menyala dari pohon tersebut, semakin memeriahkan suasana menjelang perayaan Natal.
Pendeta sekaligus Ketua Majelis GPIB Beth-El Magelang, Yannadelle Hehanussa-Sahetapy, mengungkapkan bahwa inspirasi pembuatan pohon Natal raksasa ini berangkat dari keinginan untuk menghadirkan sebuah ikon di kawasan pusat kota.
Terlebih, Kota Magelang dikenal sebagai salah satu kota paling toleran di Indonesia.
“Di sekitar sini ada klenteng, masjid, dan gereja. Magelang juga dikenal sebagai kota toleransi. Jadi pohon Natal ini diharapkan bisa menjadi ikon, apalagi gereja kami berada dekat alun-alun,” tuturnya.
GPIB Beth-El sendiri merupakan salah satu gereja tertua di Kota Magelang, berdiri sejak tahun 1817.
Konsep pohon Natal kemudian disesuaikan dengan tema tahunan GPIB dan tema Natal Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), yakni tentang pengutusan gereja antar generasi di era digital.
Seluruh kelompok usia jemaat dilibatkan dalam proses persiapan, mulai dari perencanaan hingga pengerjaan.
Warna putih dipilih sebagai simbol kekudusan dalam menyambut kelahiran Kristus.
Sementara penggunaan tali rafia bukan tanpa alasan.
“Rafia itu sederhana dan tidak mahal. Totalnya sekitar 35 kilogram, dengan biaya keseluruhan kurang lebih sekitar Rp 6 juta. Tapi ini bukan dana gereja, semua gotong royong,” ujarnya.
Baca juga: Jelang Natal 2025 dan Tahun Baru 2026, Polres Magelang Kota Lakukan Pengecekan 40 Gereja
Proses pembuatan pohon Natal ini memakan waktu sekitar tiga minggu.
Meski menggunakan bahan plastik, panitia tetap memperhatikan aspek lingkungan.
Setelah masa Natal berakhir pada 6 Januari 2026, seluruh hiasan rafia akan dirapikan dan disimpan kembali.
“Gereja kami mengedepankan konsep ramah lingkungan. Jadi tidak dibuang sembarangan,” tambahnya.
Persiapan Natal 2025 dilakukan secara matang dan melibatkan partisipasi aktif jemaat.
“Yang utama bukan perayaannya, tetapi bagaimana menghadirkan Kristus melalui damai sejahtera dan empati kepada sesama,” ujarnya.
Semangat itu diwujudkan dalam berbagai kegiatan kemanusiaan, baik untuk internal maupun eksternal jemaat.
Bantuan dikumpulkan untuk korban bencana alam dan non-alam di berbagai daerah seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, hingga Jawa Timur.
Tak hanya itu, jemaat juga menggelar persembahan diakonia berupa sembako selama empat minggu masa Adven.
Bantuan tersebut akan disalurkan langsung kepada mereka yang membutuhkan, termasuk pemulung dan petugas kebersihan di sekitar kota.
“Kami hadir untuk peduli terhadap sesama, berempati kepada yang susah. Jadi kegiatan-kegiatan kita bukan sekadar perayaan biasa tetapi berempati dalam tindakan nyata,” terang Yannedelle. (*)