TRIBUNJATIM.COM - Mujiono seorang seniman ukir miniatur kayu menerima hasil jeripayahnya setelah beberapa tahun berjibaku dengan sepi pembeli.
Kondisi sepi pembeli memang kerap dirasakan Mujiono ketika memasarkan karyanya di kalangan penduduk tanah air.
Karya tak laku di Indonesia, Mujiono mencoba peruntungan lewat pasar Eropa.
Siapa sangka, nasib Mujiono kini berubah drastis setelah karyanya diapresiasi warga Eropa, bukan tanah airnya sendiri.
Di balik kesuksesan karya miniatur kayu yang kini menembus pasar Eropa, perjalanan Mujiono sebagai perajin tidak selalu berjalan mulus.
Mujiono mengenang masa-masa awal ketika merintis usaha pada 2018.
Saat itu, pesanan belum datang silih berganti seperti sekarang.
Ia hanya mengandalkan pesanan kecil dari pembeli lokal, bahkan sering membuat stok miniatur tanpa tahu kapan akan terjual.
Tak jarang, hasil karyanya hanya dipajang di workshop sederhana di pinggir jalan Boyolali–Klaten, tepatnya di Dukuh Jurug, Desa Jurug, Kecamatan Mojosongo, Boyolali, menunggu pembeli yang lewat.
“Dulu ya sepi. Kadang bikin dulu, laku atau tidaknya belakangan,” ujar Mujiono, saat berbincang dengan TribunSolo.com, belum lama ini.
Baca juga: Bayar Rp 10 Juta Sebulan Selama 20 Tahun, Sholeh Pasrah Lapaknya Dirobohkan Satpol PP: Pilih Kasih
Duka lain datang dari proses produksi yang menuntut ketelitian tinggi.
Kesalahan kecil saat memotong atau merakit kayu bisa membuat miniatur gagal.
Waktu, tenaga, dan bahan pun terbuang.
Apalagi ketika mengerjakan pesanan khusus dengan tingkat detail tinggi, tekanan untuk menghasilkan karya sempurna membuatnya harus bekerja lebih lama.
Meski begitu, ada kepuasan tersendiri setiap kali satu miniatur berhasil diselesaikan.
“Sukanya ya kalau sudah jadi. Capeknya langsung hilang,” katanya sambil tersenyum.
Baca juga: Alasan Gaji Membuat Calon Pelatih Timnas Indonesia John Herdman Mau Terima Tawaran PSSI
Kebahagiaan Mujiono bertambah ketika pesanan mulai datang dari luar negeri.
Ia tak menyangka, karya yang dibuat di tempat workshop sederhana justru diminati pembeli Eropa.
Setiap kali paket miniatur dikirim ke luar negeri, ada rasa haru dan bangga yang sulit ia sembunyikan.
“Rasanya senang, tidak menyangka bisa sampai ke sana,” ungkap Mujiono.
Meski sudah menembus pasar internasional, tantangan tetap ada.
Menjaga kualitas agar sesuai standar pembeli luar negeri menjadi beban tersendiri.
Mujiono harus ekstra teliti, mulai dari pemilihan bahan, proses pengerjaan, hingga tahap finishing.
Ia sadar, satu kesalahan kecil bisa berdampak pada kepercayaan pasar.
Karena itu, ketekunan dan kesabaran menjadi modal utama dalam menjalankan usaha.
Bagi Mujiono, usaha kerajinan bukan sekadar mata pencaharian.
Lebih dari itu, ia melihatnya sebagai ruang untuk berkarya sekaligus membuktikan bahwa kerja tangan lokal mampu bersaing di tingkat global.
Dari workshop sederhana di Boyolali, Mujiono terus merangkai mimpi.
Untuk memasarkan produk secara online ke pasar Eropa, riset pasar adalah hal yang sangat penting untuk memahami preferensi, kebutuhan, dan kebiasaan konsumen di berbagai negara Eropa.
Dikutip TribunJatim.com dari Businessman, memilih platform e-commerce yang tepat sangat penting; selain menggunakan platform global seperti Amazon dan eBay, Anda juga bisa mempertimbangkan platform lokal seperti Cdiscount di Prancis atau Zalando di Jerman, yang memiliki basis pelanggan besar di masing-masing negara.
Jika Anda memiliki situs web sendiri, pastikan untuk mengoptimalkannya agar mudah diakses oleh konsumen Eropa dengan mendukung berbagai bahasa, menawarkan opsi pembayaran yang populer di Eropa, serta menyediakan pengiriman internasional yang efisien.
Untuk meningkatkan visibilitas, Media sosial, khususnya Instagram, TikTok, dan Facebook, juga sangat berpengaruh di Eropa, sehingga memanfaatkan platform ini untuk berinteraksi dengan audiens dan bekerja sama dengan influencer lokal dapat memperluas jangkauan produk Anda.
Selain itu, perhatikan regulasi dan pajak yang berlaku di Eropa, terutama dalam hal standar produk dan biaya impor, yang dapat berbeda-beda antar negara.
Berkat tangan kreatifnya, Nur Hasan (40) warga Desa Gucialit, Kecamatan Gucialit, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur memproduksi briket hingga diminati pasar benua Eropa.
Hasan menerangkan produk briket bikinannya menjadi pemasok rutin seorang pengusaha di negara Turki.
Pria ramah ini mengaku awal mula produk briketnya bisa menembus pasar mancanegara bermula ketika dirinya memasarkan produk kerajinannya di media sosial Facebook pada tahun 2023 silam.
"Awalnya saya produksi kerajinan dari batok kelapa kemudian dan laku ke Turki. Lalu pemesan juga menanyakan apakah juga membuat briket, lalu saya menerima pesanan tersebut," ujar Hasan di tempat produksi briket miliknya, Senin (20/1/2024).
Hasan pun membuat briket dengan otodidak. Ia mengaku mencari tahu cara membuat briket dari YouTube. Ia pun menginprovisasi proses pembuatan briket dan akhirnya bisa membuat briket dengan kualitas mumpuni.
Baca juga: Berkat Arang Briket, Mahasiswa Teknik Sipil Untag Surabaya Lolos Tahap Nasional Ajang Pertamuda 2023
"Bahannya sangat mudah didapat dari limbah batok kelapa. Di Lumajang kan banyak kelapa. Tapi kalau lagi butuh banyak saya ngambil juga di Bondowoso dan Situbondo," paparnya.
Menurut Hasan, proses pembuatan briket terbilang gampang-gampang susah. Produksi briket dimulai dari membakar batok kelapa yang sudah berbentuk cacahan atau kepingan kecil.
Lalu batok kelapa tersebut dibakar hingga menjadi arang. Proses dilanjutkan dengan menggiling arang batok kelapa menjadi serbuk.
Baca juga: Pemkab Lumajang Minta Bantuan Pemprov Jatim Bangun Akses Jalan Menuju Pura Watu Klosot Lumajang
Serbuk tersebut kemudian dicampur dengan bahan tambahan. Diantaranya tepung tapioka dan sodium. Bahan tambahan tersebut dicampur denga arang kelapa hingga menjadi adonan.
Adonan yang sudah kejadi kemudian dicetak menggunakan mesin dan ditata di papan untuk kemudian dioven atau dijemur jika cuaca sedang bagus.
Setiap 6 bulan, Hasan mengirim sebanyak 18 ton kepada pemesannya yang berasal dari Turki.
"Orang Turkinya sudah ke tempat saya dan melihat langsung briket ini. Per 1 kilogram briket produksi saya ini harganya Rp 15 ribu. Di Turki sana briket saya buat alatnya Shisha (rokok ala Arab)," katanya.
Baca juga: Harga Cabai Rawit di Lumajang Tembus Rp 110 Ribu per Kg, Pemkab Sebut Bagus untuk Petani
Setiap kali produksi untuk pengiriman ke Turki, Hasan mengaku bisa meraup keuntungan bersih hingga Rp 50 juta.
"Modalnya Rp 30 jutaan untuk tiap kali produksi briket ini untuk besaran produksi 18 ton," katanya.
Hasan memperkerjakan 13 orang pegawai yang merupaka warga sekitar untuk menunjang produksi briket miliknya.
Baca juga: Kisah Kolektor Jersey yang Kini Sukses Merintis Brand Lokal Berkualitas Internasional
Ia juga dibantu oleh sang istri Dayang Andriana dalam mengelola bisnis produksi briket tersebut.
"Keunggulannya briket ini gak ada asap. Panas lebih stabil daripada arang biasa," ungkapnya.
Kendati diminati pasar luar negeri, Hasan mengaku produk miliknya justru tak terlalu diminati pasar lokal.
"Kalau lokalan saja pesan itu hanya kiloan gak sampai ber ton-ton kayak di Turki," papar pria asal Gucialit tersebut.
Baca juga: Hasil Panen Kubis Lapas Malang Tembus Pasar Ekspor Taiwan , Ditanam dan Dirawat Warga Binaan
Selama membangun usaha, Hasan mengingat dirinya bersama sang istri bahu-membahu merintis usaha briket.
Ia merasakan bantuan atau dukungan dari pemerintah dalam mendukung usahanya sangat jarang.
"Ya dilakukan sendiri, kalau dari pemerintah ngajuin umkm susah," keluhnya.