TRIBUN-MEDAN.com - Seorang siswi SMK Negeri 1 Cimahi, Jawa Barat terpaksa meminta bantuan petugas pemadam kebakaran untuk mengambil rapor di sekolahnya.
Hal itu terjadi saat momen pengambilan rapor, pada Senin (22/12/2025).
Di antara para orangtua, ada dua sosok berseragam merah menyala yang mencuri perhatian.
Mereka adalah petugas pemadam kebakaran Kota Cimahi.
Selama ini damkar identik dengan kebakaran dan evakuasi ular. Namun kini, petugas damkar itu dimintai tolong mengambil rapor siswi.
Baca juga: Kapolsek Muara Batang Gadis Dinonaktifkan imbas Terduga Bandar Narkoba Kabur dan Polsek Dibakar
Dua petugas itu sabar menanti panggilan wali kelas.
Kali ini, mereka mengambil peran sebagai “orangtua” dadakan bagi dua siswi kelas XI jurusan Sistem Informasi Jaringan dan Aplikasi (SIJA) SMK Negeri 1 Cimahi.
Tidak ada paksaan, tidak pula drama.
Hanya kesediaan membantu, seolah itu memang bagian dari sumpah profesi yang tak tertulis.
Salah satu siswi itu adalah Roro Delfina Widiantoro.
Orangtuanya berhalangan hadir karena kesibukannya.
Sementara rapor menunggu untuk diambil.
Baca juga: Buntut Terduga Bandar Narkoba Kabur dan Polsek Dibakar, Kapolsek Muara Batang Gadis Dinonaktifkan
Dapat Informasi dari Media Sosial
Roro bingung harus berbuat apa ketika orang tuanya sibuk. Mau tak mau ia cari informasi minta bantuan petugas Damkar.
“Kebetulan orangtua saya lagi ada kesibukan, saudara yang lain juga sama. Nah saya bingung mau minta tolong siapa, soalnya kan waktu kelas X itu ambil rapor sendiri,” ujar Roro saat ditemui, Senin (22/12/2025), melansir dari Kompas.com.
Kebingungan itu kemudian bertemu algoritma.
Media sosial, dengan segala keajaibannya, menyodorkan solusi yang tak lazim.
Roro dan temannya menonton video tentang Damkar di daerah lain yang bersedia membantu mengambilkan rapor.
Baca juga: Sempat Kabur, Polisi Tangkap Kembali Terduga Bandar Narkoba Pemicu Polsek di Madina Dirusak
Dari layar ponselnya, lahirlah ide yang terdengar nekat, tapi ternyata masuk akal.
“Setelah nonton video di TikTok itu, akhirnya saya sama teman cari informasi nomor telepon damkar. Sempat kirim DM juga di Instagramnya, ternyata dibalas,” ucap Roro.
Di zaman ketika pesan sering tak berbalas dan layanan publik kerap berputar-putar, balasan cepat dari Damkar terasa seperti oase.
Bahkan Roro sempat mempertimbangkan opsi lain, meminta bantuan ojek online. Namun, ia memilih Damkar bukan karena tarif, melainkan respons.
“Alhamdulillah bisa diambilkan sama Damkar, soalnya sebelum minta tolong Damkar itu saya sempat kepikiran mau minta tolong Ojol. Tapi akhirnya memilih ke Damkar saja, soalnya direspons cepat,” sebut Roro.
Respons cepat itu kemudian diterjemahkan menjadi aksi nyata. Komandan regu menerjunkan dua personel lengkap dengan seragam.
Mereka datang bukan sebagai simbol otoritas, melainkan sebagai jawaban atas permintaan sederhana seorang pelajar.
Bagi petugas Damkar Cimahi, peristiwa ini bukan kejadian tunggal.
Ghufron, salah satu personel, menyebut permintaan serupa datang silih berganti selama masa pengambilan rapor semester ganjil.
“Kalau enggak salah sebelumnya sudah ada 5 orang, sekarang ditambah 2 orang. Ya selama bisa dibantu, kami pasti membantu,” kata Ghufron.
Namun pelayanan ini bukan tanpa saringan.
Damkar tak serta-merta menjadi “jasa titip rapor” instan.
“Kita pasti hubungi dulu orangtuanya, terus tanya betul atau enggak, mereka tidak bisa hadir ke sekolah. Kita antisipasi kalau permintaan tolong dari anak itu karena anaknya bermasalah atau ada masalah sama orangtuanya. Kalau sudah aman, baru kita bersedia membantu,” tutur Ghufron.
Di lorong sekolah itu, dua petugas Damkar berjalan pergi membawa rapor.
Tak ada sirene, tak ada tepuk tangan. Hanya senyum kecil dan rasa lega.
Gemar Dianggap Lukai Perasaan Anak
Sementara itu, Gerakan Ayah Mengambil Rapor ke Sekolah (Gemar) yang digagas Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga BKKBN menuai beragam respons dari orangtua murid.
Program ini dinilai bertujuan meningkatkan keterlibatan ayah dalam pendidikan anak, namun dinilai belum sepenuhnya mempertimbangkan kondisi keluarga yang beragam.
Meski tuai dukungan, Program ini juga menuai kritik dari sejumlah wali murid karena tidak semua anak tumbuh dalam keluarga dengan peran ayah yang utuh.
Di sisi lain, pemerintah daerah menyatakan program ini masih akan dievaluasi agar tidak menimbulkan dampak psikologis bagi anak.
Dilansir dari TribunBanyumas.com, Heni (43), wali murid di SMPN 7 Surakarta, Jawa Tengah, menilai Gerakan Ayah Mengambil Rapor berpotensi melukai perasaan anak.
Menurutnya, tidak semua anak lahir dari keluarga yang lengkap, termasuk anaknya sendiri.
"Kalau saya kurang setuju gerakan Gemar karena tidak semua anak lahir dari keluarga yang utuh atau lengkap," ujar Heni.
"Ada anak yang lahir dengan tidak ada peran ayah," tambahnya.
Ia juga mengungkap kekhawatiran anaknya yang merasa sedih dan takut atas penerapan kebijakan ini.
"Sehingga, gerakan ini terkadang membuat anak saya juga kemarin sempat sedih gitu karena khawatir takut ketika yang mengambil rapor itu ibunya, gurunya atau teman-temannya juga akan melihat bahwa dia tidak memiliki ayah," katanya.
Heni mengaku bersyukur pihak sekolah memahami kondisi keluarganya.
"Beruntung tadi guru wali kelas memahami kondisi saya sehingga tidak mempermasalahkan ketika saya mengambil rapor," katanya.
Keberatan serupa disampaikan Galih (40), yang menilai peran ayah dalam memantau perkembangan anak tidak harus diwujudkan dengan hadir langsung mengambil rapor.
Ia mengaku harus mengambil izin kerja untuk memenuhi imbauan tersebut.
"Saya kurang setuju karena ini juga mengganggu pekerjaan saya. Karena, tidak semua orang bisa memiliki waktu yang luang jadi saya harus izin bekerja," keluhnya.
Ia mengungkap bahwa meski tidak mengabil rapor, dirinya masih bisa memantau perkembangan anak di rumah.
"Memang sih, tidak setiap hari (ambil rapor) tapi kalau bisa mengambil rapor ibunya juga tidak apa-apa, karena kan saya juga bisa memantau perkembangan anak ketika di rumah. Jadi, kalau dengan kegiatan mengambil rapor harus ayahnya, saya jadi repot harus izin bekerja," ungkap Galih.
Meski menuai kritik, Gerakan Ayah Mengambil Rapor mendapat sambutan positif dari sebagian ayah.
Kepala DP3AP2KB Kota Solo Kristiana Hariyanti mengaku telah mendatangi sejumlah sekolah dan mendapati antusiasme dari para ayah.
"Tadi, saya berkeliling ke beberapa sekolah dan saya wawancara para ayah, mereka sangat antusias dengan gerakan ini karena bagian dari cara mereka memberikan perhatian kepada anaknya dalam aspek pendidikan dan mereka ingin melihat perkembangan langsung kepada anaknya," katanya.
Salah satu ayah yang mendukung program tersebut adalah Tino. Ia mengaku sudah terbiasa mengambil rapor anak bahkan sebelum program Gemar diberlakukan.
"Saya antusias karena memang saya biasa mengambil rapor anak, bahkan sebelum ada surat imbauan ini. Kegiatan ini bagus sih, sebagai cara ayah untuk membuktikan bahwa ayah sangat peduli kepada anaknya, terutama soal pendidikan," ujarnya.
Di sisi lain, Kristiana menjelaskan Gerakan Ayah Mengambil Rapor bertujuan meningkatkan kesadaran ayah dalam memberikan perhatian kepada anak.
Ia menyebut, berdasarkan data yang dimiliki, satu dari empat anak di Indonesia mengalami kondisi fatherless.
"Baik karena ketidakhadiran fisik ayah maupun kurangnya keterlibatan emosional meskipun tinggal bersama keluarga. Kondisi ini berdampak pada perkembangan anak, mulai dari prestasi akademik, perilaku sosial, hingga kesiapan menghadapi tantangan hidup," ujarnya.
Menurut Kristiana, sekolah menjadi ruang strategis bagi ayah untuk menunjukkan dukungan langsung.
"Kehadiran ayah saat pengambilan rapor tidak sekadar mengambil nilai tetapi menciptakan kedekatan emosional, meningkatkan motivasi belajar, dan memperkuat komunikasi antara orang tua dan guru," ujarnya.
Terkait orangtua tunggal, Kristiana menegaskan pihaknya terus memberi dukungan moral kepada para ibu.
"Kita memberi semangat kepada para ibu single parent agar tetap mendampingi anak dan memperhatikan tumbuh kembang anak Karena mereka merupakan ibu sekaligus ayah sehingga tugasnya sangat berat," ujarnya saat dihubungi, Kamis (18/12/2025).
"Yang kita lakukan terus memberikan semangat," tambahnya.
Ia juga menyatakan program ini akan terus dievaluasi.
"Memang ada orangtua yang tidak sepakat karena ini program pertama kali, tentu akan terus kami evaluasi pelaksanannya. Kami juga tidak ingin, gerakan ini membuat anak yang lahir dari single parent atau yang hanya memiliki orangtua tunggal tidak berkecil hati," katanya.
(Tribun-Medan.com)