Tribunlampung.co.id, Lampung Tengah - Di era digital, istilah Virtual Private Network atau VPN semakin akrab di telinga masyarakat.
Tak sedikit yang meyakini VPN sebagai alat untuk “menghilang” di dunia maya, tidak terlacak, dan aman dari jerat hukum.
Anggapan ini berkembang luas, termasuk di Kabupaten Lampung Tengah, namun Kejaksaan Negeri Lampung Tengah menepis hal tersebut dan menyatakan keliru dan perlu diluruskan, terutama di tengah penguatan alat bukti elektronik dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Lampung Tengah Alfa Dera mengatakan, cara kerja VPN dapat dianalogikan secara sederhana, seperti seseorang yang berada di Lampung dan mengakses sebuah situs yang server-nya berada di Jakarta.
Tanpa VPN, jalur datanya langsung dari Lampung ke Jakarta sehingga penyedia layanan internet dapat mengetahui bahwa akses tersebut berasal dari Indonesia.
Namun ketika VPN diaktifkan dan menggunakan server Singapura, jalur data berubah menjadi Lampung–Singapura–Jakarta. Dari luar, akses itu terlihat seolah-olah berasal dari Singapura.
Padahal, orangnya tetap berada di Lampung, perangkat yang digunakan sama, dan aktivitas digitalnya tetap berlangsung.
VPN tidak memindahkan orangnya, melainkan hanya memutar jalur data yang dilewati.
Ilustrasi lain yang mudah dipahami, VPN seperti mengirim paket lewat perantara di Singapura.
Di bagian luar paket tertulis alamat Singapura, tetapi isi paket, waktu pengiriman, dan pola pengirimannya tetap ada.
Artinya, VPN bukan alat penghapus jejak, melainkan sekadar penyamaran jalur.
Secara teknis, VPN bekerja dengan mengganti alamat IP pengguna dan mengenkripsi data.
Enkripsi ini memang membuat isi data sulit dibaca oleh pihak luar.
Namun penting dipahami, enkripsi tidak menghilangkan data. Data tetap tercatat, waktu tetap terekam, dan aktivitas digital tetap membentuk pola.
Dalam banyak perkara, justru metadata dan konteks perbuatan inilah yang menjadi kunci penting dalam pembuktian.
Dalam perspektif penegakan hukum, khususnya bagi jaksa, pemahaman ini sangat krusial.
"Di era digital, pembuktian tidak lagi bergantung pada satu alat bukti tunggal. Alamat IP hanyalah salah satu bagian kecil dari keseluruhan ekosistem bukti elektronik. Ketika IP disamarkan dengan VPN, bukan berarti pembuktian berhenti," kata Alfa, Senin (22/12/2025).
Justru, lanjut Alfa, pembuktian modern bekerja dengan merangkai berbagai jejak digital lainnya, seperti waktu akses, log perangkat, riwayat transaksi, pola komunikasi, hingga keterkaitan antar-akun dan antar-perangkat.
Alfa mengatakan, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, yang direncanakan berlaku pada 2026, telah mengakomodasi alat bukti elektronik secara lebih tegas.
Menurutnya, pergeseran ini menandai perubahan paradigma pembuktian. Fokus tidak lagi semata pada bentuk fisik alat bukti, melainkan pada nilai pembuktiannya. Bukti elektronik dinilai dari keautentikan, integritas, dan relevansinya.
Dalam konteks ini, penggunaan enkripsi—termasuk oleh VPN—tidak otomatis menghilangkan nilai pembuktian.
Enkripsi melindungi isi data, tetapi tidak selalu menutup metadata dan jejak pendukung yang sah secara hukum.
Dengan pendekatan pembuktian yang bersifat kumulatif, satu bukti yang tampak lemah dapat menjadi kuat ketika dirangkai dengan bukti lain secara logis dan sistematis.
Fenomena VPN gratis juga patut dicermati. Penyedia VPN, baik gratis maupun berbayar, merupakan pihak ketiga yang mengelola server dan log koneksi.
Dalam praktik penegakan hukum, termasuk melalui kerja sama lintas negara, data tersebut dapat dimintakan secara sah.
Klaim anonimitas mutlak sering kali runtuh ketika berhadapan dengan proses hukum yang berbasis prosedur.
Pada akhirnya, VPN bukanlah penghalang mutlak bagi penegakan hukum, sebagaimana bukan pula jaminan mutlak bagi privasi.
Di tengah era siber, pesan yang perlu ditegaskan sederhana: VPN boleh memutar jalur, tetapi tidak menghapus jejak.
Kemampuan membaca jejak di balik jalur yang berputar itulah yang menjadi kunci penegakan hukum di masa depan.
"Ia hanyalah salah satu variabel dalam lanskap digital yang terus berkembang. Tantangan jaksa di era digital adalah memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak mengaburkan tujuan hukum itu sendiri, yakni menghadirkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan," kata dia.
(TRIBUNLAMPUNG.CO.ID/Fajar Ihwani Sidiq)