TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Aturan baru pendistribuan BBM berlaku mulai 1 Januari 2025, semua SPBU resmi dilarang impor Solar.
Hal itu ditegaskan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
ESDM memastikan seluruh badan usaha, termasuk pengelola stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta, akan menghentikan impor solar mulai 2026.
Kebijakan ini sejalan dengan penguatan kapasitas kilang dalam negeri serta penerapan program mandatori biodiesel B50.
Seperti yang disampaikan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Laode Sulaeman.
Baca juga: Minyak Dunia Naik, Cek Harga BBM Terbaru Desember 2025 di SPBU Seluruh Indonesia
Ia menegaskan, kebijakan penghentian impor solar tidak hanya berlaku bagi badan usaha milik negara, tetapi juga menyasar SPBU swasta.
“Yang dimaksud dengan penghentian impor itu, ya, termasuk SPBU swasta,” ujar Laode saat Temu Media Sektor ESDM di Jakarta, Jumat 19 Desember 2025 malam, dikutip dari infopublik.id.
Laode menjelaskan, rencana penghentian impor solar pada 2026 sebelumnya telah disampaikan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.
Kebijakan ini didukung oleh mulai beroperasinya proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan di Kalimantan Timur, serta penerapan kebijakan mandatori biodiesel 50 persen atau B50.
Program biodiesel B50 dijadwalkan mulai berjalan pada semester II 2026. Dengan adanya kebijakan tersebut, kebutuhan solar nasional diharapkan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Oleh karena itu, badan usaha pengelola SPBU swasta tetap dapat menjual solar, namun sumber pasokannya harus berasal dari kilang domestik.
“Jadi, seperti itu pemahaman dari stop impor. Swasta pun harus beli dari dalam negeri, ini saya bicaranya (solar) CN 48 ya,” kata Laode.
Selain memastikan penghentian impor solar, pemerintah juga membuka peluang bagi Indonesia untuk mengekspor solar ke pasar internasional.
Namun, Laode menekankan bahwa ekspor hanya dapat dilakukan apabila produk kilang dalam negeri telah memenuhi standar internasional.
Menurut dia, solar dengan cetane number (CN) 51 memiliki peluang ekspor yang lebih besar dibandingkan solar CN 48.
Pasalnya, solar CN 48 masih mengacu pada standar Euro 4 dengan kandungan sulfur yang relatif tinggi.
“Solar CN 51 itu lebih mudah untuk kita ekspor. CN 48 kan standarnya masih Euro 4, dengan kandungan sulfurnya masih tinggi, di atas 2.000 ppm, jadi sulit (untuk diekspor),” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga telah melaporkan rencana penghentian impor solar tersebut kepada Presiden Prabowo Subianto.
Dalam laporannya, Bahlil menekankan bahwa proyek RDMP Balikpapan akan memainkan peran strategis dalam memperkuat kemandirian energi nasional.
Baca juga: Stok Normal! Tapi Semua Harga BBM Terpantau Naik Per Hari Ini di SPBU Seluruh Indonesia
Selain optimalisasi kilang, pemerintah terus mendorong pengembangan bahan bakar nabati melalui kebijakan biodiesel B50 sebagai bagian dari strategi jangka panjang mengurangi ketergantungan terhadap impor energi.
Semoga informasi ini bermanfaat.