BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Perubahan formula Upah Minimum Provinsi (UMP) dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 dinilai sebagai langkah progresif negara dalam memperkuat kebijakan pengupahan.
Namun, penerapannya di daerah, termasuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, harus dilakukan secara realistis dan berbasis data ekonomi agar tidak menimbulkan dampak turunan yang merugikan.
Hal itu disampaikan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bangka Belitung (FEB UBB), Devi Valeriani, saat dimintai pandangannya terkait penetapan UMP 2026.
Menurut Devi, kenaikan indeks dalam formula UMP yang kini berada di kisaran 0,5–0,9 menandai pergeseran arah kebijakan pengupahan yang lebih berpihak pada pekerja.
Formula baru tersebut membuka ruang kenaikan upah minimum yang lebih signifikan, tidak hanya untuk mengejar inflasi, tetapi juga mencerminkan kontribusi pekerja terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Secara normatif, kebijakan ini mengirim pesan kuat bahwa kesejahteraan pekerja merupakan bagian penting dari pembangunan ekonomi nasional," ujar Devi kepada Bangkapos.com, Senin (22/12/2025).
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa konteks ekonomi Bangka Belitung perlu menjadi perhatian utama. Struktur ekonomi daerah yang masih bertumpu pada sektor pertambangan, jasa, serta usaha mikro dan kecil, membuat daya tahan dunia usaha terhadap kenaikan biaya produksi relatif terbatas.
"Formula baru ini bisa diterapkan tanpa menekan lapangan kerja sepanjang penentuan indeks dilakukan secara moderat dan berbasis data ekonomi daerah, bukan sekadar dorongan politik," tegasnya.
Baca juga: Pemprov Babel Masih Kaji Kenaikan UMP 2026, Gubernur: Jangan Asal Naik
Devi menjelaskan, kenaikan UMP berpotensi meningkatkan daya beli pekerja dan mendorong perputaran ekonomi lokal, khususnya pada sektor konsumsi rumah tangga.
Tambahan pendapatan pekerja akan kembali ke pasar dalam bentuk belanja kebutuhan pokok dan jasa, sehingga berfungsi sebagai stimulus ekonomi daerah.
Meski begitu, manfaat tersebut dapat berkurang apabila kenaikan upah justru memicu kenaikan harga barang dan jasa. Risiko inflasi dan tekanan biaya usaha, menurutnya, menjadi tantangan yang harus dikelola secara cermat.
"Jika kenaikan UMP tidak diiringi peningkatan produktivitas, sebagian pelaku usaha akan menyesuaikan harga atau bahkan mengurangi tenaga kerja. Ini dilema klasik kebijakan upah minimum," kata Devi.
Selain formula dan besaran kenaikan, Devi juga menyoroti pentingnya ketepatan waktu dalam penetapan UMP. Ia menilai keterlambatan penetapan UMP oleh kepala daerah dapat menimbulkan dampak ekonomi dan sosial yang nyata.
"Bagi pekerja, keterlambatan menciptakan ketidakpastian penghasilan di awal tahun dan menurunkan rasa keadilan. Sementara bagi pengusaha, hal ini menyulitkan perencanaan biaya dan berpotensi memicu ketegangan hubungan industrial," jelasnya.
Karena itu, menjelang penetapan UMP 2026, ia mendorong gubernur untuk berpegang pada tiga hal utama, yakni data ekonomi yang objektif, aspirasi buruh yang rasional, serta kondisi nyata dunia usaha.
"Data memberi dasar legitimasi, aspirasi buruh menjaga keadilan sosial, dan kondisi usaha memastikan keberlanjutan lapangan kerja. Keseimbangan ketiganya adalah kunci," ujarnya.
Devi berharap UMP 2026 mampu benar-benar mencerminkan keadilan dan keberpihakan tanpa mengabaikan realitas ekonomi daerah.
Upah minimum diharapkan dapat menjaga daya beli pekerja di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok, sehingga tidak sekadar menjadi angka administratif, melainkan alat perlindungan kesejahteraan dasar bagi pekerja dan keluarganya.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam proses penetapan UMP, terutama terkait data inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan produktivitas sektoral. Dengan dasar data yang akurat dan terbuka, keputusan pemerintah daerah dinilai akan memiliki legitimasi publik yang kuat dan mengurangi potensi konflik antara buruh dan dunia usaha.
"Bagi dunia usaha, kenaikan UMP yang proporsional akan memberi ruang untuk beradaptasi, berinvestasi, dan meningkatkan produktivitas tanpa harus mengorbankan tenaga kerja," katanya.
Pada akhirnya, Devi menegaskan UMP 2026 diharapkan menjadi titik temu antara kepentingan pekerja dan pengusaha, serta mencerminkan peran negara sebagai penyeimbang.
"Upah minimum yang adil, realistis, dan ditetapkan tepat waktu akan memperkuat hubungan industrial yang harmonis dan berkontribusi pada stabilitas ekonomi daerah secara berkelanjutan," tutupnya. (Bangkapos.com/Andini Dwi Hasanah)