Musyawarah Ibu Bangsa 2025: Lestari Moerdijat Tegaskan Feminisme Pancasila sebagai Kompas Keadilan
December 23, 2025 12:38 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menekankan pentingnya persatuan perempuan sebagai kekuatan strategis bangsa. 

Menurutnya, sejarah telah membuktikan bahwa kebersamaan adalah kunci pencapaian tujuan nasional, termasuk dalam perjuangan kaum perempuan.

Hal itu ia sampaikan dalam Musyawarah Ibu Bangsa 2025 yang digelar di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (22/12/2025). 

Acara ini merupakan kerja sama antara MPR RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), serta Kaukus Perempuan Parlemen RI. 

Turut hadir Menteri PPPA Arifah Fauzi, Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen RI Badikenita br Sitepu, serta anggota DPR dan DPD RI perempuan.

“Ketika perempuan bergerak sendiri, suaranya mudah diabaikan. Tetapi ketika perempuan bersatu dan bergerak bersama, suara itu akan menjadi penentu arah perjalanan bangsa,” ujar Lestari.

Ia menegaskan, gerakan perempuan bukanlah gerakan yang berhadap-hadapan dengan pihak lain, melainkan mitra kritis negara. 

Perempuan, kata Lestari, berperan sebagai penjaga agar kebijakan publik tetap berorientasi pada kemanusiaan, keadilan sosial, keselamatan, dan keberlanjutan kehidupan.

Lestari menekankan pentingnya Feminisme Pancasila, sebuah gagasan yang mengaitkan perjuangan kesetaraan gender dengan nilai-nilai dasar negara. 

Menurutnya, feminisme Indonesia harus berakar pada budaya lokal, nilai kemanusiaan, keadilan, dan solidaritas, bukan sekadar meniru feminisme Barat.

“Pancasila memberikan kita fondasi yang kuat. Feminisme Indonesia haruslah Feminisme Pancasila, yang mengarahkan pembangunan agar tetap adil dan tidak meninggalkan siapa pun,” tegasnya.

Baca juga: Momen Hari Ibu: Menjaga Kesehatan Ibu Investasi Terbesar Bagi Keluarga

Peran Ibu Bangsa

Lestari juga mengingatkan bahwa peran Ibu Bangsa tidak boleh dipersempit hanya pada ranah domestik. 

Ibu Bangsa, menurutnya, adalah perempuan yang memiliki kesadaran, pengetahuan, dan kesiapan untuk membawa suara kolektif perempuan Indonesia ke ruang pengambilan kebijakan.

“Delegasi yang hadir di musyawarah ini bukan sekadar tamu, melainkan pembawa suara kolektif perempuan Indonesia. Hasil musyawarah tidak boleh berhenti sebagai catatan, tetapi harus menjadi pengikat komitmen menuju Indonesia Emas,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Lestari juga merefleksikan semangat pergerakan perempuan Indonesia tahun 1928, yang bergerak tanpa menunggu kondisi sempurna. 

Momentum Hari Ibu yang diperingati setiap 22 Desember, menurutnya, harus menjadi pengingat bahwa masa depan bangsa tidak bisa menunggu kesiapan, melainkan harus diperjuangkan bersama sejak hari ini.

“Perempuan bergerak karena menyadari masa depan bangsa tidak bisa menunggu. Semangat itulah yang harus kita hidupkan kembali,” pungkasnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.