Adamifa Libatkan Nelayan Ujungbatu untuk Garap Film Terbang Terendam
December 23, 2025 07:14 AM

TRIBUNJATENG.COM, JEPARA - Sineas asal Jepara sukses menorehkan prestasi di Festival Film Horor (FFH) 2025.

Dalam festival itu, film horor yang mengusung latar budaya pesisir meraih juara 2 nasional. 

Tidak ada sosok hantu yang tiba-tiba muncul dengan efek visual mahal.

Suasana mencekam justru datang dari bunyi rebana yang berdentam sendiri di kawasan pesisir.

Begitulah film pendek berjudul Terbang Terendam, produksi Komunitas Ladamif Film Jepara.

Film itu berhasil mencuri perhatian juri dan meraih Silver Skull Trophy FFH 2025 di Pacitan, Jawa Timur, 2025 lalu.

Terbang Terendam yang ditulis dan disutradarai Adamifa, terpilih sebagai juara II kategori nasional.

Pada kategori itu, Mama Minta Hotspot produksi Kolong Sinema, Yogyakarta.

Adapun posisi III dan IV, ditempati Diam-Diam, Aku Ingin Melawan produksi Moro-Moro Production Solo.  

Film karya Ruang Aktor Project Banjarmasin, Sisigan Kaiau Sima, terpilih untuk Special Mention.

Kehidupan nelayan

Film Terbang Terendam tampil sederhana, namun kuat.

Dengan latar kehidupan nelayan di Kelurahan Ujungbatu, Jepara, horor dibangun pelan-pelan, mengendap di suasana, bukan di wujud.

“Horor itu tidak selalu soal hantu. Kadang yang tidak terlihat justru lebih menyeramkan,” kata Adamifa, sutradara sekaligus penulis naskah Terbang Terendam, kepada Tribun Jateng, Minggu (21/12/2025).

Adamifa mengaku, tak pernah membayangkan bahwa film yang digarap dengan biaya sekitar Rp 3 juta itu harus bersaing dengan sineas mapan dari berbagai daerah.  

Apalagi, FFH dikenal sebagai festival film horor nasional pertama di Indonesia, dengan juri-juri yang kerap terlibat dalam penjurian Festival Film Indonesia (FFI).

“Kami kira ini festival lokal. Ternyata lawannya filmmaker besar, termasuk dari Yogyakarta yang sudah langganan juara. Alhamdulillah, Jepara bisa juara dua nasional,” tuturnya.

Yang membuat Terbang Terendam terasa hidup adalah keputusan melibatkan warga pesisir asli sebagai pemeran.

Karakter keras, lugas, dan celetukan khas nelayan dibiarkan mengalir apa adanya, tanpa banyak arahan teknis.

“Orang pesisir itu blak-blakan. Tapi di situ justru ada humor kecil yang muncul alami. Itu yang ternyata menggelitik juri,” kata Adamifa.

Proses produksinya pun terbilang singkat, sekitar satu bulan, dengan tiga pemeran utama, dua pendukung, serta dukungan Damkar Jepara untuk kebutuhan teknis tertentu.

Tak ada honor pemain. Semua berjalan dengan semangat gotong royong.

“Kalau standar film pendek bisa sampai Rp 40 juta. Tapi kami membuktikan, di daerah tetap bisa berkarya, meski dengan keterbatasan,” ujarnya.

Akar budaya pesisir 

Catatan juri FFH 2025, BW Purbanegara, menyoroti kekuatan film ini pada akar budaya lokal dan realitas sosial pesisir. 

Horor yang dihadirkan terasa nyata, tidak artifisial, penuh kejutan, bahkan menyisakan kesan jenaka.

Sebagai bentuk syukur, Ladamifa Film menggelar pemutaran Terbang Terendam di Pendapa Dewan Kesenian Daerah (DKD) Jepara, membuka ruang bagi warga untuk menyaksikan karya anak daerahnya sendiri.

“Ini pesan bahwa sineas Jepara berani dan mampu bersaing di level nasional,” jelasnya.

Prestasi ini menambah daftar capaian Ladamifa Film, setelah sebelumnya film Zakar masuk Official Selection Jakarta World Cinema (JWC) 2025 dan Festival Film Anak Bangsa 2025.

Dari pesisir Ujungbatu, dengan rebana yang berdentang sunyi, horor Jepara kini menggema hingga panggung nasional. (Tito Isna Utama)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.