Di Balik Perunggu SEA Games 2025, Kisah Aprilia Eka Putri Bertarung Lawan Cedera dan Tekanan Mental
December 23, 2025 10:50 AM

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN- Medali perunggu yang diraih Aprilia Eka Putri Lumbantungkup pada SEA Games XXXIII Thailand 2025 bukan sekadar catatan prestasi di lembar statistik olahraga.

Di balik podium ketiga kelas K-1 -52 kilogram putri cabang kickboxing itu, tersimpan kisah panjang tentang pengorbanan, luka fisik, tekanan mental, konflik batin, hingga keteguhan iman seorang atlet Sumatera Utara yang memilih bertahan ketika banyak hal terasa ingin runtuh.

Aprilia, atlet kickboxing asal Sumatera Utara yang juga berstatus sebagai anggota Polri berpangkat Bripda, kembali mengharumkan nama Indonesia di ajang multievent Asia Tenggara tersebut.

Meski gagal mencapai target emas, raihan medali perunggu tetap menjadi bukti ketangguhan seorang juara dunia yang datang ke SEA Games dengan kondisi jauh dari kata ideal.

Nama Aprilia sendiri bukan sosok asing di dunia kickboxing internasional.

Pada Oktober 2025 lalu, ia baru saja menorehkan prestasi fenomenal dengan merebut medali emas Uzbekistan Kickboxing World Cup 2025 di Tashkent.

Di ajang tersebut, Aprilia keluar sebagai juara dunia kategori K-1 52 kilogram putri, usai menaklukkan atlet tuan rumah di partai final. 

Sebelumnya, ia juga tercatat sebagai peraih medali emas PON XXI 2024 serta medali perunggu SEA Games 2023.

Namun, perjalanan menuju SEA Games 2025 kali ini terasa jauh lebih berat.

Aprilia menggambarkan bahwa persiapan menuju SEA Games 2025 merupakan salah satu fase terberat sepanjang kariernya.

Ia menuturkan bahwa proses latihan telah dimulai lebih dari satu tahun lalu, sejak berakhirnya PON 2024.

Seluruh atlet kembali dikumpulkan dalam satu tim nasional dan langsung menjalani latihan intensif sejak awal tahun.

Namun, perjalanan itu tidak berjalan mulus. Sempat terjadi jeda latihan akibat kendala anggaran yang membuat para atlet dipulangkan sementara ke daerah masing-masing.

Tak lama berselang, mereka kembali dipanggil untuk melanjutkan program latihan yang justru semakin berat.

“Setelah PON 2024 kami langsung dikumpulkan lagi satu tim. Dari awal tahun sudah latihan terus, sempat dipulangkan karena kendala anggaran, lalu dipanggil lagi dan latihan lagi.

Namanya latihan pasti ada sakitnya, apalagi kami training camp ke Uzbekistan dan Kirgistan. Latihannya benar-benar gila-gilaan,” ungkap Aprilia kepada Tribun Medan melalui seluler, Selasa (23/12/2025). 

Aprilia menjelaskan bahwa puncak ujian fisik terjadi ketika tim menjalani training camp ke luar negeri, mulai dari Uzbekistan hingga Kirgistan.

Di sana, mereka menghadapi kondisi lingkungan yang sangat berbeda dengan Indonesia. Udara dingin, ketinggian wilayah, serta menu latihan fisik ekstrem menjadi tantangan besar.

Ia menggambarkan bahwa fokus latihan saat itu benar-benar diarahkan pada peningkatan fisik.

Para atlet dipaksa beradaptasi dengan latihan berat, seperti sprint di medan menanjak, latihan kekuatan dengan beban besar, hingga intensitas latihan yang nyaris tanpa jeda. Kondisi tersebut membuat hampir seluruh atlet mengalami cedera

Dalam ingatannya, masa persiapan itu diwarnai rasa sakit hampir setiap hari.

Banyak atlet tetap memaksakan diri berlatih meski tubuh sudah memberi sinyal kelelahan.

Situasi ini, menurutnya, menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan menuju SEA Games.

“Hampir rata-rata cedera. Kami sakit semua. Tapi kami tetap jalan karena target kami SEA Games,” ujarnya.

Setelah kembali dari Kirgistan pada Oktober 2025, Aprilia masih harus mengikuti try out kejuaraan dunia di Uzbekistan. Di fase inilah kondisi fisiknya mulai benar-benar menurun.

Ia mengalami cedera serius di bagian pinggang yang kemudian diketahui sebagai saraf kejepit.

Cedera tersebut membuat Aprilia tidak lagi bisa menjalani latihan normal, terutama latihan speed, sprint, dan angkat beban yang menjadi komponen utama dalam kickboxing.

Pada saat yang sama, tim sudah memasuki masa pra-kompetisi, sehingga waktu pemulihan sangat terbatas.

“Saya kena di pinggang, saraf kejepit. Saya tidak bisa sprint, tidak bisa angkat beban. Padahal itu penting untuk daya ledak,” katanya.

Aprilia mengakui bahwa kondisi tersebut berdampak besar pada mentalnya.

Ia merasakan tekanan luar biasa ketika melihat rekan-rekannya masih mampu berlatih penuh dengan energi, sementara dirinya harus menahan sakit dan berlatih dengan keterbatasan.

Sebagai atlet, ia mengatakan bahwa cedera bukan hanya menyerang fisik, tetapi juga menggerus semangat.

Rasa percaya diri perlahan menurun, terlebih ketika ia sadar bahwa tubuhnya tak lagi bisa diajak bekerja sama seperti sebelumnya.

“Sebagai atlet, kalau cedera itu semangat pasti berkurang. Saya tertekan, kena mental, kena fisik,” ujarnya jujur.

Di tengah kondisi itu, kehadiran pelatih Sadarmawati Simbolon menjadi penopang utama.

Aprilia menceritakan bahwa sang pelatih terus memberikan dukungan moral dan arahan teknis agar ia tetap menjalani latihan sesuai kemampuannya.

Meskipun tidak bisa mengikuti program yang sama dengan atlet lain, ia tetap diminta menjaga proses latihan secara disiplin, dibarengi dengan fisioterapi rutin.

“Walaupun tidak bisa latihan sama seperti teman-teman, saya tetap latihan sesuai arahan pelatih. Pagi fisioterapi, siang latihan, sore latihan lagi. Itu bukan untuk sembuh total, tapi cuma mengurangi rasa sakit,” jelasnya.

Namun, upaya tersebut tidak serta-merta membuat cedera sembuh total. Hingga hari pertandingan tiba, Aprilia masih merasakan nyeri hebat di bagian pinggang.

Ia harus menjalani akupunktur dan terapi berulang kali, yang menurutnya hanya mampu mengurangi rasa sakit, bukan menyembuhkan sepenuhnya.

Bahkan saat bertanding di kejuaraan dunia sebelumnya, Aprilia mengungkapkan bahwa ia harus mengonsumsi obat pereda nyeri sebelum naik ring.

Rasa sakit di sisi kiri pinggang masih terasa jelas, namun tertutup oleh adrenalin pertandingan.

“Di kejuaraan dunia di Uzbekistan saja saya masih sakit. Pemanasan harus minum Voltaren dua jam sebelum tanding supaya tidak terasa sakit. Adrenalin yang main,” ungkapnya.

Ia juga mengakui bahwa selama masa tersebut, dirinya sengaja tidak memperlihatkan kondisi cedera di media sosial.

Menurutnya, banyak orang hanya melihat sisi indah dari prestasi atlet, tanpa mengetahui luka yang disembunyikan di balik layar. Selain itu, ia tak ingin lawan mengetahui kondisi fisiknya menjelang SEA Games.

Cedera pinggang itu, menurut Aprilia, tak lepas dari latihan ekstrem di Kirgistan serta penurunan berat badan drastis demi menyesuaikan kelas 52 kilogram.

Pengurangan asupan cairan dan tekanan fisik yang tinggi membuat tubuhnya benar-benar berada di ambang batas.

Meski demikian, Aprilia menyebut bahwa kekuatannya untuk bangkit berasal dari keyakinan dan doa.

“Saya tidak mau update soal cedera. Takut lawan tahu. Orang-orang kan taunya kita enaknya saja,” katanya.

Sejak awal dipanggil ke pemusatan latihan nasional, April sempat merasa berada di persimpangan jalan antara dua cabang olahraga, MMA dan kickboxing, yang sama-sama membawanya ke level internasional.

Dalam pergulatan batin tersebut, ia memilih berserah kepada Tuhan dan memohon petunjuk. Dari sanalah ia meyakini bahwa kickboxing adalah jalan yang harus ia tempuh, terlebih karena kelas yang dipertandingkan di SEA Games sangat terbatas.

“Saya berdoa, minta petunjuk. Tuhan arahkan saya ke kickboxing. Kelasnya juga terbatas di SEA Games. Saya yakin ini jalan saya,” tuturnya.

Menjelang keberangkatan ke Thailand, Aprilia mengalami momen emosional yang mendalam.

Sehari sebelum berangkat, ia menyempatkan diri berziarah ke makam ayahnya di Jakarta untuk berpamitan.

Ia juga meminta restu sang ibu, meski hubungan keduanya sejak kecil terpisah jarak karena Aprilia dibesarkan oleh neneknya di kampung.

Dorongan dari pelatihnya membuat Aprilia akhirnya memberanikan diri melakukan sesuatu yang selama ini tak pernah ia lakukan, yakni mencuci kaki ibunya sebagai simbol bakti dan permohonan restu.

Momen itu menjadi pengalaman emosional yang membekas bagi keduanya.

“Saya dari kecil dirawat nenek. Hubungan sama mama jarang kontak fisik. Tapi saya tergerak hati. Saya cuci kaki mama. Mama menangis. Itu pertama kalinya dalam 24 tahun,” katanya lirih.

Dengan kondisi mental dan fisik yang ia yakini sudah siap, Aprilia berangkat ke Thailand dengan keyakinan penuh. Ia menanamkan tekad untuk bertarung habis-habisan, apa pun rasa sakit yang harus ia hadapi di atas ring.

Namun, ujian terbesar justru datang saat pertandingan berlangsung. Aprilia mengaku mengalami kecurangan, terutama di babak semifinal melawan atlet Myanmar. Poin yang berubah-ubah dan keputusan juri yang dinilainya tidak adil membuat peluangnya menuju final pupus.

“Di ronde ketiga itu saya jelas-jelas poin bersih. Combo masuk. Tapi tiba-tiba poin berubah 0-3. Itu sangat terasa dicurangi,” ujarnya.

Dalam kondisi tanpa manajer yang telah dideportasi dan minim pendampingan, Aprilia dan tim merasa benar-benar sendirian.

“Kami butuh pertolongan, tapi tidak ada. Kami cuma bisa lihat poin berubah-ubah,” katanya.

Meski terpukul, Aprilia memilih menerima hasil dengan lapang dada.

Ia menegaskan bahwa medali perunggu tetap patut disyukuri sebagai hasil dari satu tahun kerja keras, serta bentuk tanggung jawabnya kepada negara dan institusi tempat ia mengabdi.

Kini, Aprilia mengaku masih dalam proses menerima kenyataan.

Ia kerap merenung dan bertanya pada diri sendiri mengapa hasil yang didapat belum sesuai target. Namun, ia berusaha menyeimbangkan perasaan itu dengan rasa syukur.

“Sebagai juara dunia itu bukan beban. Bebannya itu latihan satu tahun, target besar, tanggung jawab pekerjaan. Tapi Puji Tuhan masih dapat perunggu,” ujarnya.

Ke depan, Aprilia bertekad untuk bangkit. Ia tidak ingin terus menjadi korban dari persoalan di luar arena.

Dengan semangat yang masih membara, ia menargetkan kembali meraih emas pada event-event besar 2026 dan SEA Games 2027, sembari fokus memulihkan cedera dan mengikuti arahan pelatihnya.

“Saya tidak mau jadi korban kepengurusan. Saya akan buktiin. 2026 banyak event, 2027 SEA Games saya akan kembali. Emas itu masih milik saya,” tegasnya.

Sebagai Bripda Polri yang kini bertugas di lingkungan Polda Sumut, Aprilia menegaskan bahwa seluruh perjuangannya bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan demi keluarga dan orang-orang yang selalu mendukungnya dari belakang.

Ia berharap dapat terus rendah hati, menjaga semangat juang, dan menjadi inspirasi bagi banyak orang.

“Saya lakukan semua ini untuk orang-orang di belakang saya, untuk keluarga. Saya mau lebih semangat, lebih humble, dan bisa jadi berkat buat banyak orang,” tutupnya.

(Cr29/Tribun-Medan.com)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.