Tak Sesuai Rencana Perdamaian, Israel Tak akan Sepenuhnya Menarik Diri dari Gaza, Berdalih Keamanan
December 24, 2025 02:03 AM

TRIBUNNEWS.COM - Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengatakan militer tidak akan pernah sepenuhnya menarik diri dari Jalur Gaza, Selasa (23/12/2025).

Menurut Israel Katz, hal itu karena alasan keamanan dan bahwa unit tentara sipil-militer akan dibentuk di wilayah Palestina tersebut.

Padahal, menurut rencana perdamaian yang didukung Amerika Serikat (AS) dan ditandatangani oleh Israel dan Hamas pada Oktober 2025, militer Israel secara bertahap akan menarik diri sepenuhnya dari Gaza.

Selain itu, Israel tidak akan membangun kembali permukiman sipil di wilayah pesisir tersebut.

“Kami berada jauh di dalam Gaza dan kami tidak akan pernah meninggalkan seluruh Gaza. Hal seperti itu tidak akan pernah terjadi."

"Kami berada di sana untuk melindungi, untuk mencegah apa yang terjadi,” kata Katz dalam pidatonya, merujuk pada serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, dilansir Al Arabiya.

Di sisi lain, Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak berkomentar.

Merujuk pada unit-unit militer Israel, Katz mengatakan:

“Ketika saatnya tiba, di Gaza utara kita akan membangun unit Nahal sebagai pengganti komunitas (Israel) yang mengungsi. Kita akan melakukannya dengan cara yang benar pada waktu yang tepat.”

“Kami tidak mempercayai siapa pun selain mereka untuk melindungi warga negara kami,” katanya, seraya menunjuk pada apa yang menurutnya juga perlu dilakukan di Lebanon dan Suriah.

Penyebutan komunitas pengungsi oleh Katz tampaknya merujuk pada penarikan semua pemukiman Yahudi dari Gaza oleh Israel pada tahun 2005.

Baca juga: Israel Desak Umat Yahudi Kembali ke Kampung Halaman usai Serangan Sydney

Netanyahu telah berulang kali menolak kemungkinan untuk membangun kembali permukiman di Gaza selama perang Gaza yang berlangsung selama dua tahun, meskipun beberapa anggota ultra-nasionalis dari koalisinya berupaya untuk menduduki kembali Gaza.

Unit Nahal dalam angkatan bersenjata Israel diperuntukkan bagi warga sipil yang tertarik untuk bergabung dengan militer, yang mencakup program persiapan pra-militer dan program sukarelawan selama satu tahun.

Unit-unit ini memiliki peran historis dalam menciptakan komunitas Israel.

Rencana Gencatan Senjata Gaza ala Trump

Kini, para pemain kunci — termasuk Israel, kelompok militan Palestina Hamas, Amerika Serikat, dan beragam pihak internasional — akan beralih ke fase kedua yang jauh lebih rumit yang dapat membentuk kembali Timur Tengah.

Rencana 20 poin Presiden AS Donald Trump — yang telah disetujui oleh Dewan Keamanan PBB — menjabarkan visi ambisius untuk mengakhiri kekuasaan Hamas di Gaza.

Jika berhasil, rencana ini akan mencakup pembangunan kembali Gaza yang didemiliterisasi di bawah pengawasan internasional, normalisasi hubungan antara Israel dan dunia Arab, serta kemungkinan jalan menuju kemerdekaan Palestina.

Baca juga: AS, Israel, dan UEA Jajaki Kemungkinan Pakai Gas Gaza untuk Membiayai Rekonstruksi Jalur Gaza

Namun jika kesepakatan itu terhenti, Gaza bisa terjebak dalam keadaan tidak stabil selama bertahun-tahun mendatang, dengan Hamas tetap menguasai sebagian wilayah tersebut, tentara Israel memberlakukan pendudukan tanpa batas waktu, dan penduduknya menjadi tunawisma, pengangguran, tidak dapat bepergian ke luar negeri, dan bergantung pada bantuan internasional untuk bertahan hidup.

Rencana Trump menyerukan pembentukan pasukan internasional — yang dikenal sebagai Pasukan Stabilisasi Internasional — untuk menjaga keamanan dan melatih polisi Palestina agar suatu hari nanti dapat mengambil alih tugas tersebut.

Pasukan itu belum dibentuk, dan tanggal pengerahan belum diumumkan.

BADAI LANDA GAZA - Badai Byron tewaskan 16 warga Palestina, termasuk anak-anak, saat tenda pengungsi runtuh dan cuaca ekstrem melanda Gaza, Jumat (12/12/2025).
BADAI LANDA GAZA - Badai Byron tewaskan 16 warga Palestina, termasuk anak-anak, saat tenda pengungsi runtuh dan cuaca ekstrem melanda Gaza, Jumat (12/12/2025). (Tangkapan Layar YouTube Al Jazeera)

Hamas menyatakan akan menentang setiap upaya pasukan tersebut untuk melucuti senjatanya, dan negara-negara penyumbang mungkin tidak ingin mengambil risiko bentrokan untuk mengambil senjatanya.

Sementara itu, Israel ragu untuk mempercayakan kebutuhan keamanannya kepada badan internasional.

Berdasarkan gencatan senjata, Israel harus menarik diri dari seluruh Gaza, kecuali zona penyangga kecil di sepanjang perbatasan.

Saat ini, Israel masih menguasai lebih dari setengah wilayah Gaza.

Baca juga: ICC Kecam Sanksi AS terhadap 2 Hakimnya Terkait Dugaan Kejahatan Perang Israel di Gaza

Rencana tersebut menyatakan bahwa penarikan lebih lanjut akan didasarkan pada “standar, tonggak pencapaian, dan jangka waktu yang terkait dengan demiliterisasi” yang akan dinegosiasikan oleh Israel, AS, pasukan internasional, dan “penjamin” lainnya.

Tidak ada jadwal pasti untuk penarikan lebih lanjut, dan Israel mungkin menolak untuk mundur lebih jauh.

Kepala militer Israel, Letnan Jenderal Eyal Zamir, menyebut apa yang disebut Garis Kuning yang memisahkan bagian Gaza yang dikuasai Israel dari wilayah lainnya sebagai "perbatasan baru" yang akan berfungsi sebagai "garis pertahanan terdepan untuk komunitas kita."

Perang genosida Israel di Gaza telah menewaskan 70.937 warga Palestina dan melukai 171.192 orang sejak Oktober 2023.

Sebanyak 1.139 orang tewas di Israel selama serangan 7 Oktober 2023, dan sekitar 200 orang ditawan.

(Tribunnews.com/Nuryanti)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.