BANGKAPOS.COM - Kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi) masih terus bergulir di Polda Metro Jaya.
Penyidik telah menetapkan 8 orang tersangka dari kubu Roy Suryo cs terbagi dua klaster.
Meski sudah ada penetapan tersangka, pemeriksaan tersangka, hingga gelar perkara khusus, Roy Suryo cs yang sudah ditetapkan sebagai tersangka itu belum juga ditahan sampai saat ini.
Polisi sebelumnya mengungkapkan alasan belum menahan Roy Suryo cs karena mereka mengajukan ahli dan saksi meringankan, sehingga tim penyidik akan memeriksa saksi yang diajukan terlebih dahulu sebelum memutuskan menahan tersangka atau tidak.
Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan jika ingin kasus ijazah eks Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi) cepat selesai, maka polisi harus menahan para tersangkanya.
Baca juga: Jokowi Anggap Kasus Ijazahnya yang Dituding Palsu Urusan Ringan, Tunggu Siapa yang Mau Buktikan
Fickar mengatakan, memang proses pidana yang tidak disertai penahanan tidak ada waktu yang membatasi.
Jika ingin kasus cepat selesai, kata Fickar, maka polisi harus melakukan penahanan terhadap para tersangka.
"Sepanjang polisi belum yakin buktinya sudah terpenuhi, maka dia (kasusnya) masih boleh jalan, tetapi itu tadi tidak dikaitkan dengan penahanan," ungkapnya dalam wawancara eksklusif bersama Tribunnews, dikutip pada Rabu (24/12/2025).
"Tapi biasanya yang didorong supaya cepat itu biasanya tersangkanya ditahan. Kalau tersangkanya ditahan, kepolisian itu mengejar supaya proses ini berlanjut, penahannya belum selesai gitu," sambungnya.
Menurut Fickar, penyidik tampak santai saja meski para tersangka belum juga ditahan, sebab merasa masih punya banyak waktu.
"Tidak ada pembatasan di dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) itu harus sekian waktu, harus sekian waktu gitu. Sepanjang alat-alat buktinya sudah dipenuhi, silakan diajukan ke pengadilan," paparnya.
"Tapi kewenangan menangkap dan menahan itu dibatasi oleh undang-undang. Umpamanya penyidik itu (bisa menahan tersangka) cuma 20, bisa diperpanjang 40 hari. Nah, setelah itu harus lepas dia."
"Kecuali bagi tindak pidana yang ancamannya 9 tahun ke atas. Menurut pasal 21 KUHAP itu ya, itu bisa sampai diperpanjang 30 lagi, 60 hari bahkan di penyidikan, demikian juga di penuntutan," jelas Fickar.
Namun, lanjut Fickar, tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun atau di bawah 9 tahun, tidak terikat penahanan.
"Atau kalau tidak ditahan, ya tidak ada waktu yang membatasi, sampai ditemukan alat bukti yang cukup, dalam hal ini minimal dua alat bukti dan penyidiknya sudah yakin kemudian diserahkan kepada penuntut umum," ungkapnya.
Polda Metro Jaya membeberkan alasan belum menahan Roy Suryo Cs yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi).
Polisi menegaskan bahwa proses hukum masih berjalan dan pendalaman perkara belum selesai.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Metro Jaya, Kombes Pol Iman Imanudin, menyatakan pihaknya membuka ruang hukum bagi para tersangka yang keberatan atas penetapan status hukum tersebut.
“Adapun terhadap penetapan tersangka yang sudah kami lakukan, apabila para tersangka atau kuasa hukum keberatan, maka dipersilakan untuk melakukan pengujian melalui mekanisme praperadilan,” ujar Iman kepada wartawan, dikutip dari Kompas.com, Kamis (18/12/2025).
Sebelumnya, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya telah menggelar perkara khusus atas kasus dugaan ijazah Jokowi pada Senin (15/12/2025).
Dalam gelar perkara tersebut, para tersangka mengajukan tiga ahli untuk dimintai keterangan.
Ketiga ahli yang diajukan adalah Dr Ing Ridho Rahmadi, Prof Tono Saksono, dan Dr Kandidat Didit Wijayanto.
“Kami akan melakukan permintaan keterangan terhadap para ahli yang diajukan tersebut dan kami juga sedang menunggu saksi tambahan yang diajukan oleh para tersangka,” tutur Iman.
Iman menegaskan, hingga saat ini penyidik belum melakukan penahanan karena masih menunggu hasil pemeriksaan saksi dan ahli.
Menurutnya, hasil pemeriksaan tersebut akan menjadi dasar pendalaman lanjutan perkara.
“Nanti (ditahan). Kan sudah dilakukan gelar perkara khusus, ada saksi yang diajukan. Itu (penyidik) akan melakukan pendalaman kembali,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Budi Hermanto.
Selain melakukan pemeriksaan tambahan, penyidik juga akan mengajukan berkas perkara ke kejaksaan sebagai bagian dari tahapan lanjutan penanganan kasus ini.
Polisi juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap tersangka lain yang masuk dalam klaster pertama.
Roy Suryo cs merasa belum puas dengan hasilnya, padahal mereka sudah melihat ijazah asli Jokowi yang ditunjukkan oleh Polda Metro Jaya.
Sebab, Roy Suryo cs masih tidak percaya dan tetap yakin bahwa ijazah Jokowi itu palsu.
Mereka pun meminta pengajuan uji laboratorium forensik independen terhadap ijazah Jokowi ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) atau Laboratorium Forensik (Labfor) Universitas Indonesia (UI), sebagai pembanding hasil uji laboratorium forensik dari pihak kepolisian.
"Untuk menghilangkan praduga ada intervensi kekuasaan atau apapun agar kelak hasilnya kredibel dan akuntabel, diakui para pihak, maka kami telah menyiapkan surat yang isinya permintaan untuk melakukan uji labfor independen," kata kuasa hukum Roy Suryo cs, Ahmad Khozinudin, di Mapolda Metro Jaya, Senin (22/12/2025).
Roy pun menjelaskan alasan pihaknya yang masih meminta ada uji laboratorium independen terhadap ijazah Jokowi tersebut, padahal Polda Metro Jaya sudah menunjukkan ijazah yang asli.
Menurut Roy, alasan pengajuan itu karena foto yang ada pada ijazah Jokowi dianggap janggal.
Kata Roy, foto ijazah yang disebutkan sudah berusia 40 tahun itu tampak aneh karena masih sangat bagus.
"Ketika gelar perkara khusus 15 Desember yang lalu, begitu lihat ijazah seperti ini ya, begitu lihat fotonya, waduh langsung itu bisa jadi bab baru dalam buku baru lagi itu sebenarnya," katanya, dikutip dari YouTube Kompas TV, Selasa (23/12/2025).
"Foto ini sangat-sangat tidak pas atau sangat tidak tepat kalau dikatakan dia sudah berusia 40 tahun lebih, sangat tajam, sangat kontras," sambungnya.
Roy pun menegaskan bahwa keyakinannya itu bukan tanpa dasar karena dia mengklaim bahwa dirinya mempunyai pengalaman personal fotografi sejak lama.
"Sekali lagi saya harus bilang, saya pernah bilang saya itu bukan orang yang baru motret kemarin sore. Sejak tahun 1977 saya itu sudah pegang kamera, 1977 loh saya SD itu sudah pegang kamera.
"Kemudian SMP saya sudah pegang kamar gelap (fotografi). Jadi kita terbiasa melakukan enlarger (Alat manual untuk cetak dari negatif film) dan lain sebagainya," paparnya.
Sebelumnya, Roy juga telah menjelaskan bahwa foto Jokowi di ijazah yang ditunjukkan itu sesuatu yang ia anggap mustahil untuk cetakan foto mahasiswa era 1980-an di Yogyakarta, karena sampai saat ini masih sangat tajam, kontras, dan bersih.
“Kalau foto itu dicetak 40 tahun lalu, dengan teknologi dan bahan kimia saat itu, sangat tidak mungkin kondisinya setajam ini. Biasanya 10–20 tahun saja sudah blur, membiru, atau memudar,” tegasnya.
Roy lantas membandingkan dengan realitas mahasiswa kala itu yang umumnya mencetak foto di studio pinggir jalan menggunakan lampu petromax.
“Kita bukan cetak di studio profesional mahal, cetak di gerobak. Sepuluh tahun saja fotonya biasanya sudah rusak,” ujarnya.
Menurut Roy, ketajaman foto ijazah yang diperlihatkan justru menunjukkan indikasi cetakan baru, bukan dokumen lawas.
“Kalau saya disuruh menebak, ini dicetak mungkin 10–15 tahun terakhir. Bukan 40 tahun lalu,” katanya.
Selain soal foto, Roy juga menemukan banyak kejanggalan lainnya pada ijazah Jokowi, apalagi setelah Polda Metro Jaya menjalani sidang Komisi Informasi Pusat (KIP) pada 17 November 2025.
Menurut Roy, saat sidang itu hakim bertanya perihal barang bukti ijazah sarjana Jokowi yang disita.
Namun ternyata, pihak Polda Metro Jaya menyebut yang disita ialah transkrip nilai.
"Ditanyakan hakim, barang bukti ijazah sarjananya disita atau tidak? Nah, di situ pihak Polda Metro Jaya pada 17 November 2025 menyatakan bahwa barang bukti yang kami sita adalah transkrip nilai sarjana muda untuk keperluan yudisium sarjana muda," ungkapnya, Senin.
Sementara itu, ijazah Jokowi yang dikaji secara ilmiah dikatakan sarjana penuh oleh pihak Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Ini kan sudah mismatch (ketidakcocokan)," kata Roy.
Oleh karena itu, Roy meminta setidaknya empat dokumen terkait ijazah Jokowi dilakukan uji forensik secara independen.
Pertama adalah ijazah Jokowi yang menjadi objek sengketa, kemudian transkrip nilai karena transkrip nilai yang ditampilkan oleh Dirtipidum pada 22 Mei 2025, tidak ada otoritas Dekan, Pembantu Dekan, tanpa tanda tangan, tanpa nama, tanpa stempel, dan tulisannya merupakan tulisan tangan serta tanpa ada daftar mata kuliah pilihan.
Selanjutnya adalah lembar pengesahan skripsi, pembimbing skripsi atas nama Joko Widodo.
"Menurut keterangan dari Dirtipidum pada tanggal 22 Mei 2025 dilakukan uji yang tidak scientific dan disimpulkan dengan meraba, merasakan ada cekungan dan langsung disimpulkan itu produk dari handpress atau letterpress."
"Sementara kami membuktikan secara ilmiah bahwa itu adalah produk dari digital word yang ada sejak 1992," ungkap Roy.
Kemudian dokumen terakhir yang diminta uji laboratorium forensik adalah sertifikat kuliah kerja nyata (KKN) dan laporan KKN.
Roy menegaskan bahwa empat dokumen tersebut menjadi pointer sangat penting untuk dilakukan analisis.
Sebelumnya, Roy juga menyoroti terkait watermark dan embos yang seharusnya menjadi ciri ijazah asli.
“Kalau ijazah asli, watermark itu tajam dan bisa dilihat jelas, embos itu bisa diraba. Kemarin? Tidak bisa diraba sama sekali,” ungkapnya.
Roy menegaskan bahwa watermark dan embos di ijazah Jokowi itu tampak hanya bersifat grafis visual, bukan fisik.
“Kalau hanya grafis, itu bisa hasil reprinting. Embos itu harus terasa. Kalau tidak bisa diraba, itu bukan embos,” katanya.
Roy juga mempertanyakan prosedur penyidik yang tidak mengizinkan ijazah dikeluarkan dari map plastik.
“Kalau dikeluarkan, kita bisa lihat ketebalan kertas. Ini tidak boleh. Jadi wajar kalau kami curiga,” ujarnya.
Kecurigaan Roy pun bertambah saat dia membandingkan kondisi map ijazah yang dulu diserahkan ke Mabes Polri dengan yang ditunjukkan di Polda Metro Jaya.
Bahkan Roy menyebut kemungkinan adanya modifikasi lanjutan pada dokumen tersebut.
“Noktah kotoran di map yang dulu tidak terlalu kelihatan, kemarin justru sangat jelas. Saya jadi bertanya, ini barang yang sama atau bukan? Jangan-jangan ada perubahan. Karena watermark dan embosnya tipis sekali, seolah sengaja dibuat supaya tidak menimpa bagian lain,” katanya.
Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganggap polemik seputar ijazahnya yang dituding palsu adalah masalah sepele.
Menurutnya, masih banyak urusan besar yang mesti dihadapi bangsa ketimbang soal ijazahnya.
Ia menilai, pada masa-masa ekstrem seperti ini, sejatinya semua pihak berkonsentrasi terhadap hal-hal yang besar.
"Untuk strategi besar negara, untuk kepentingan yang lebih besar bagi negara ini. Misalnya tadi yang berkaitan dengan menghadapi masa-masa ekstrem, menghadapi masa-masa perubahan karena artificial intelligence, karena humanoid robotic," ujar Jokowi dalam wawancara eksklusif Program Khusus Kompas TV di kediamannya, Solo, Jawa Tengah, Selasa (9/12/2025) malam, dikutip dari Kompas TV.
"Jangan malah kita, energi besar kita, kita pakai untuk urusan-urusan yang sebetulnya menurut saya urusan ringan," tambah Jokowi.
Jokowi menegaskan dirinya akan menunjukkan ijazah asli kelulusannya dari sekolah dasar hingga Universitas Gadjah Mada (UGM) di pengadilan.
Menurutnya, pengadilan merupakan forum yang paling tepat untuk membuktikan keaslian ijazahnya.
"Ya, itu (pengadilan) forum yang paling baik untuk menunjukkan ijazah asli saya dari SD, SMP, SMA, universitas, semuanya dan saya bawa," ujar Jokowi.
Jokowi menegaskan, persoalan ijazah palsu yang dibawanya ke ranah hukum diharapkan jadi pembelajaran untuk tidak mudah menuduh seseorang.
"Untuk pembelajaran kita semuanya bahwa jangan sampai gampang menuduh orang, jangan sampai gampang menghina orang, memfitnah orang, mencemarkan nama baik seseorang," ujar Jokowi.
Jokowi mengatakan, kasus serupa bisa saja terjadi ke orang lain jika dirinya tidak membawanya ke ranah hukum.
"Ya kan bisa terjadi tidak hanya kepada saya, bisa ke yang lain. Bisa ke menteri, bisa ke presiden yang lain, bisa ke gubernur, bupati, wali kota, semuanya dengan tuduhan asal-asalan," ujar Jokowi.
Ia menunggu pembuktian dari pihak-pihak yang kerap menyebut ijazah kelulusannya palsu.
"Dan itu akan lebih baik kalau pembuktiannya itu diamati lah. Sehingga betul-betul akan kelihatan proses hukumnya, akan kelihatan adilnya, karena yang memutuskan adalah di pengadilan," ujar Jokowi.
Kasus tudingan ijazah palsu ini diketahui sudah bergulir sejak lama, pada 2025 ini, kasus tersebut kembali mencuat sejak Maret 2025 dan berkembang menjadi perkara hukum hingga sampai pada penetapan 8 tersangka dalam kasus ijazah Jokowi yang dibagi menjadi 2 klaster.
Klaster pertama ada lima tersangka, yakni Eggi Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, Damai Hari Lubis, Rustam Effendi, dan Muhammad Rizal Fadillah. Mereka hingga saat ini masih belum diperiksa sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya.
Kemudian klaster kedua ada tiga tersangka, yaitu Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma atau Dokter Tifa. Ketiganya diketahui sudah diperiksa sebagai tersangka sebanyak 2 kali oleh Polda Metro Jaya.
Dalam kasus ini, seluruh tersangka dijerat dengan Pasal 27A dan Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara.
Klaster pertama juga disangkakan melanggar Pasal 160 KUHP tentang penghasutan untuk melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, dengan ancaman pidana enam tahun penjara.
Sementara klaster kedua yang terdiri atas Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan dokter Tifa menghadapi ancaman pidana lebih berat karena mereka dikenakan 2 pasal tambahan, yakni Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 35 Undang-Undang ITE yang mengatur tentang penghapusan atau manipulasi dokumen elektronik milik orang lain.
Dengan tambahan pasal itu, Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan dokter Tifa terancam hukuman penjara antara 8 hingga 12 tahun.
(Tribunnews.com/Rifqah) (Kompas.com/Adhyasta Dirgantara, Nawir Arsyad Akbar)