Warisan Sejarah yang Menggerogoti Gizi dan Berkontribusi terhadap Tingginya Angka Stunting
Oleh: Kludolfus Tuames
Mahasiswa Magister Program Studi Ilmu Administrasi Publik Universitas Nusa Cendana Kupang, Nusa Tenggara Timur.
POS-KUPANG.COM - Provinsi Nusa Tenggara Timur ( NTT) hingga saat ini masih dihadapkan pada persoalan pembangunan manusia yang kompleks, salah satunya tingginya angka stunting.
Berbagai program intervensi gizi telah dilaksanakan, mulai dari pemberian makanan tambahan, penguatan layanan kesehatan ibu dan anak, hingga edukasi gizi masyarakat.
Meskipun menunjukkan tren penurunan, angka stunting di NTT masih tergolong tinggi secara nasional.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa persoalan stunting tidak dapat dipahami secara sempit sebagai masalah kesehatan atau perilaku konsumsi rumah tangga semata, melainkan berkaitan dengan persoalan struktural yang lebih mendasar, termasuk cara masyarakat mengelola sumber daya alam sebagai basis utama produksi pangan.
Salah satu praktik yang jarang dikaji secara sistemik dalam kaitannya dengan persoalan gizi adalah budaya tebas bakar.
Praktik pembakaran lahan untuk membuka area pertanian masih menjadi kebiasaan di berbagai wilayah NTT, khususnya pada sistem pertanian lahan kering.
Selama ini, tebas bakar kerap dipandang sebagai tradisi turun-temurun atau bentuk kearifan lokal dalam menghadapi keterbatasan iklim, teknologi, dan modal.
Namun, jika ditelaah lebih dalam secara historis dan ekologis, praktik ini justru menyimpan dampak jangka panjang yang merugikan kualitas tanah, pangan, dan pada akhirnya kesehatan generasi masa depan.
Baca juga: Opini: UMK Naik, Apakah Ekonomi Lokal Siap?
Secara historis, praktik tebas bakar di wilayah NTT tidak sepenuhnya lahir dari kearifan lokal yang berorientasi keberlanjutan.
Pada masa kolonial Belanda sekitar abad ke-18, wilayah ini berada dalam tekanan krisis pangan.
Pemerintah kolonial membutuhkan cara cepat untuk membuka lahan pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan, terutama produksi jagung sebagai tanaman pokok.
Dalam konteks tersebut, pembakaran lahan diperkenalkan sebagai solusi darurat yang efisien dan murah.
Praktik ini kemudian diwariskan lintas generasi dan membentuk kebiasaan sosial yang bertahan hingga kini, meskipun konteks ekologis, kepadatan penduduk, dan tekanan terhadap lahan telah mengalami perubahan signifikan.
Masalah muncul ketika praktik yang lahir dari situasi darurat tersebut terus dipertahankan tanpa penyesuaian terhadap kondisi lingkungan yang semakin rentan.
Ketika suatu praktik dilakukan secara berulang dan kolektif, ia memperoleh legitimasi budaya dan tidak lagi dipertanyakan.
Akibatnya, tebas bakar terus dijalankan meskipun dampak negatifnya terhadap kesuburan tanah dan keberlanjutan produksi pangan semakin nyata.
Dari perspektif ekologi tanah, dampak tebas bakar telah banyak dibuktikan melalui berbagai penelitian ilmiah.
Pembakaran lahan memusnahkan bahan organik tanah, termasuk lapisan humus yang berfungsi sebagai penyimpan unsur hara dan penopang kehidupan mikroorganisme.
Penelitian Giardina, Sanford, dan Dockersmith (2000) menunjukkan bahwa proses pembakaran menyebabkan hilangnya nitrogen tanah dalam jumlah besar melalui volatilisasi.
Nitrogen merupakan unsur utama pembentuk protein tanaman. Ketika nitrogen hilang dari sistem tanah, tanaman pangan yang tumbuh di atasnya tidak mampu menghasilkan kandungan protein yang optimal.
Selain nitrogen, unsur sulfur (S) dan karbon (C) juga banyak hilang akibat pembakaran.
Hilangnya karbon organik memiliki dampak yang sangat krusial karena bahan organik berperan sebagai “gudang” unsur hara dan penopang struktur tanah.
Tanah yang miskin karbon menjadi rapuh, mudah tererosi, dan tidak mampu menyimpan mineral dalam jangka panjang.
Hal ini sejalan dengan temuan Wasis (2003; 2019) yang menunjukkan bahwa kebakaran lahan secara konsisten menurunkan kandungan karbon organik, nitrogen, dan sulfur tanah, sehingga kapasitas tukar kation dan kemampuan tanah menahan unsur hara menurun secara struktural.
Unsur-unsur basa seperti kalium (K), kalsium (Ca), dan magnesium (Mg) memang meningkat sementara dalam bentuk abu hasil pembakaran.
Kondisi ini seringkali menimbulkan persepsi bahwa tanah menjadi lebih subur setelah dibakar.
Namun, penelitian Juo dan Manu (1996) membuktikan bahwa peningkatan tersebut bersifat sementara.
Tanpa penutup tanah dan bahan organik, mineral-mineral tersebut sangat mudah tercuci oleh hujan (leaching) dan hilang dari zona perakaran hanya dalam satu musim tanam.
Bahkan, dalam jangka waktu singkat, kandungan mineral tanah dapat turun hingga berada di bawah kondisi sebelum pembakaran dilakukan.
Pembakaran juga berdampak pada unsur mikro yang sangat penting bagi kesehatan manusia, seperti zat besi (Fe) dan seng (Zn).
Ketersediaan unsur mikro ini sangat bergantung pada keberadaan bahan organik dan mikroorganisme tanah.
Kajian klasik Lutz dan Chandler (1965) menjelaskan bahwa hilangnya bahan organik akibat api menyebabkan terputusnya siklus hara alami tanah.
Tanpa mikroorganisme tanah, unsur mikro seperti zat besi dan seng cenderung terfiksasi atau berada dalam bentuk yang tidak dapat diserap oleh tanaman.
Akibatnya, tanaman pangan yang tumbuh di lahan bekas bakar cenderung miskin mineral mikro, meskipun secara visual tampak tumbuh normal.
Penelitian lokal di NTT juga memperkuat temuan tersebut. Beja, Mella, dan Soetedjo (2015) dalam kajiannya mengenai sistem perladangan berpindah di Nusa Tenggara Timur menemukan bahwa praktik tebas bakar yang dilakukan berulang dengan masa bera yang semakin pendek tidak mampu memulihkan unsur hara tanah.
Tanah mengalami degradasi progresif, sementara hasil pertanian dipertahankan melalui eksploitasi jangka pendek yang mengorbankan kualitas lahan dan pangan dalam jangka panjang.
Hilangnya nitrogen, karbon, sulfur, kalium, kalsium, magnesium, zat besi, dan seng dari sistem tanah memiliki implikasi langsung terhadap kualitas pangan lokal.
Tanaman pangan utama masyarakat NTT, seperti jagung dan umbi-umbian, masih dapat tumbuh dan dipanen.
Namun, pangan tersebut lebih berfungsi sebagai sumber energi, bukan sebagai sumber gizi yang memadai.
Kondisi ini memunculkan fenomena hidden hunger, yaitu situasi di mana masyarakat merasa kenyang secara kalori, tetapi kekurangan zat gizi makro dan mikro yang esensial bagi pertumbuhan dan kesehatan.
Fenomena tersebut berkaitan erat dengan kondisi stunting di NTT. Berdasarkan hasil terbaru Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2024, prevalensi stunting di Provinsi NTT berada pada kisaran 37 persen, tertinggi secara nasional meskipun menunjukkan tren penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Secara spasial, data menunjukkan bahwa kabupaten-kabupaten dengan prevalensi stunting tertinggi cenderung merupakan wilayah yang masyarakatnya masih sangat akrab dengan sistem pertanian lahan kering berbasis tebas bakar.
Kabupaten seperti Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Kabupaten Kupang, Manggarai Timur, Alor, serta beberapa kabupaten di Pulau Sumba secara konsisten mencatat angka stunting di atas 40 persen.
Keterkaitan ini tidak dapat dipahami sebagai hubungan sebab-akibat tunggal, melainkan sebagai hubungan struktural yang saling memengaruhi.
Praktik tebas bakar berkontribusi terhadap degradasi tanah dan hilangnya mineral esensial.
Degradasi tersebut menurunkan kualitas pangan lokal yang dikonsumsi masyarakat setiap hari.
Dalam jangka panjang, kondisi ini membatasi kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan zat gizi penting, terutama bagi ibu hamil dan anak-anak pada fase 1.000 hari pertama kehidupan.
Kekurangan gizi kronis inilah yang kemudian meningkatkan risiko terjadinya stunting.
Dengan demikian, data stunting di NTT perlu dibaca tidak hanya sebagai indikator kesehatan masyarakat, tetapi juga sebagai cerminan kondisi ekologis dan sistem produksi pangan lokal.
Upaya penurunan stunting yang hanya berfokus pada intervensi gizi di tingkat hilir berisiko tidak berkelanjutan jika tidak disertai dengan perbaikan sistem pengelolaan lahan dan produksi pangan di tingkat hulu.
Menghadapi persoalan ini, perubahan praktik tebas bakar tidak dapat dilakukan hanya melalui larangan atau imbauan moral.
Praktik ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan seringkali berkaitan dengan keterbatasan akses terhadap teknologi pertanian yang lebih ramah lingkungan.
Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting, tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator perubahan melalui penyediaan teknologi pengolahan lahan tanpa bakar, pendampingan petani, serta penguatan sistem pertanian berkelanjutan yang mampu menghasilkan pangan bergizi.
Pada akhirnya, budaya bukanlah sesuatu yang statis dan tidak dapat berubah. Budaya lahir dari konteks sejarah tertentu dan dapat dikoreksi ketika terbukti membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat.
Dalam konteks Provinsi Nusa Tenggara Timur, budaya tebas bakar bukan hanya persoalan tradisi, melainkan persoalan masa depan tanah, ketahanan pangan, dan kualitas generasi mendatang.
Tanpa perubahan mendasar dalam cara mengelola lahan, upaya perbaikan gizi dan penurunan stunting akan terus menghadapi batas-batas struktural yang sulit ditembus. (*)