TRIBUN-MEDAN.com - Seorang wanita hamil membagikan pengalamannya dalam berumah tangga.
Dalam kisahnya, ia menceritakan tentang ketegangan yang terjadi di dalam keluarganya hanya karena ia tidur hingga pukul 8 pagi dan tidak sempat menyiapkan sarapan untuk orang tua suaminya.
Dikutip dari Eva.vn, Kamis (25/12/2025), wanita tersebut menuturkan bahwa kejadian itu terjadi ketika kehamilannya telah memasuki bulan ketujuh.
Pada kondisi tersebut, perutnya sudah membesar dan tubuhnya tidak lagi sekuat sebelum hamil.
Namun, hanya karena satu pagi ia bangun lebih lambat dari biasanya, ia merasa diperlakukan seolah menjadi pihak yang bersalah di rumah yang ia anggap sebagai keluarga.
Sebelum hamil, wanita itu dikenal sebagai menantu perempuan yang dianggap ideal oleh kedua mertuanya.
Ia terbiasa bangun sejak pukul enam pagi untuk memasak sarapan, menyeduh teh, serta membereskan rumah sebelum berangkat bekerja.
Ia menjalani semua itu dengan keyakinan bahwa hal tersebut merupakan kewajiban dan cara agar dirinya diterima sebagai bagian dari keluarga.
Bahkan sejak awal pernikahan, ia tidak pernah membiarkan orang tua suaminya harus menyiapkan sarapan sendiri.
Namun, kondisi tersebut berubah setelah ia hamil.
Pada tiga bulan pertama kehamilan, ia mengalami mual berat dan muntah terus-menerus.
Beberapa kali, saat baru turun ke dapur, ia harus segera berlari ke kamar mandi karena tidak mampu menahan rasa mual.
Memasuki trimester kedua, ia berharap kondisinya membaik, tetapi tubuhnya justru menunjukkan keluhan lain seperti kelelahan berkepanjangan, sulit tidur pada malam hari, nyeri punggung, serta kaki yang sering terasa kebas.
Wanita itu juga mengungkapkan bahwa ada malam-malam ketika ia tidak bisa tidur sama sekali akibat gerakan janin, perut yang terasa tegang, serta jantung yang berdebar cepat hingga menimbulkan rasa cemas.
Pada malam sebelum kejadian, ia hampir tidak tidur dan baru bisa terlelap menjelang pagi.
Ketika terbangun, waktu sudah menunjukkan lewat pukul delapan pagi.
Tubuhnya terasa lemas dan kepalanya pusing.
Saat masih berusaha menenangkan diri, ia mendengar suara peralatan masak dari dapur.
Orang tua suaminya telah menyiapkan sarapan sendiri. Situasi tersebut berlanjut hingga waktu makan siang.
Ia hanya mampu menyantap beberapa suap nasi.
Ibu mertuanya tidak banyak bicara, tetapi bahasa tubuh dan helaan napas pelan sudah cukup membuatnya memahami ketidakpuasan yang dirasakan.
Ketegangan memuncak ketika ibu mertua melontarkan pernyataan bahwa seorang menantu yang sedang hamil namun tidur hingga pukul delapan pagi membuat orang tua harus mengurus sarapan sendiri, serta menyinggung bahwa setelah melahirkan kondisi tersebut kemungkinan akan semakin berat.
Ucapan itu membuat wanita tersebut merasa sangat tertekan.
Suaminya memilih diam dengan kepala tertunduk, sementara ayah mertuanya tidak berkata apa-apa meski raut wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan.
Wanita itu mengakui bahwa jika kejadian tersebut terjadi sebelum kehamilan, ia mungkin akan langsung meminta maaf dan menyalahkan diri sendiri.
Namun pada hari itu, kelelahan fisik, perubahan hormon, serta perasaan yang lama terpendam membuatnya akhirnya bersuara.
Ia menyampaikan permintaan maaf karena bangun hingga pukul delapan, tetapi juga menegaskan bahwa ia tidak sanggup jika harus mempertaruhkan kesehatan dirinya dan bayi dalam kandungan demi memasak setiap pagi.
Pernyataan tersebut membuat suasana meja makan menjadi hening.
Ibu mertua terdiam, sementara suaminya menatapnya dengan ekspresi terkejut.
Wanita itu kemudian menjelaskan bahwa dirinya bukan malas, melainkan benar-benar kelelahan.
Ia menceritakan bahwa malam sebelumnya ia tidak tidur karena sakit punggung, sesak napas, serta kekhawatiran terhadap kondisi janin.
Ia menyatakan kesediaannya untuk memasak ketika kondisi tubuh memungkinkan, namun berharap dapat dimengerti jika ada hari-hari ketika ia tidak mampu bangun.
Keheningan berlangsung beberapa saat hingga akhirnya ibu mertua berbicara dengan nada yang lebih tenang.
Ia mengakui tidak menyadari bahwa kondisi menantunya sedemikian berat dan membandingkannya dengan pengalaman kehamilan di masa lalu yang berbeda situasinya.
Pada momen tersebut, suami wanita itu menggenggam tangannya, yang menurutnya menjadi pertama kalinya sang suami menunjukkan dukungan secara jelas.
Sejak kejadian itu, wanita tersebut tidak lagi memaksakan diri menjalani peran seperti sebelumnya.
Ia tetap memasak ketika merasa sehat, namun juga memberi ruang bagi dirinya untuk beristirahat ketika kondisi tubuh tidak memungkinkan.
Meski belum sepenuhnya sempurna dan masih ada ketidakpuasan yang dirasakan, ia menyebut bahwa dirinya tidak lagi memendam kelelahan dalam diam.
(cr31/tribun-medan.com)