Kebun Sawit di Hutan Bukit Cigobang Cirebon Bikin Warga Resah, Air Terancam dan Longsor Mengintai
December 26, 2025 09:09 AM

Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Eki Yulianto

TRIBUNJABAR.ID, CIREBON - Jalan setapak yang menanjak dan membelah hutan hijau Desa Cigobang, Kecamatan Pasaleman, Kabupaten Cirebon, kini tak lagi hanya dilalui warga yang mencari kayu atau menuju ladang.

Di balik rimbunnya pepohonan, deretan tanaman kelapa sawit mulai tumbuh di atas bukit dan lereng perbukitan.

Pemandangan itulah yang memicu keresahan warga.

Baca juga: Hasto Kristiyanto: Kerusakan Hutan Sistematik, Kebijakan Konversi Lahan Sawit Harus Dihentikan

Sejak sekitar empat bulan terakhir, kebun kelapa sawit diketahui telah ditanam dan menginvasi lahan seluas kurang lebih empat hektare di kawasan bukit Desa Cigobang, pada ketinggian sekitar 28 meter di atas permukaan laut.

Tanaman sawit itu ditanam dengan jarak sekitar enam meter, menyebar di area lereng yang sebelumnya merupakan kawasan hutan asri.

Keberadaan perkebunan sawit tersebut langsung menuai penolakan masyarakat.

Warga khawatir, alih fungsi lahan hutan menjadi kebun sawit akan merusak kondisi air tanah, sementara Desa Cigobang selama ini dikenal sebagai wilayah yang rawan krisis air.

Sara (55), salah seorang warga Desa Cigobang, mengaku resah dengan masuknya perkebunan sawit di wilayahnya. 

Ia menilai dampak jangka panjangnya justru akan merugikan masyarakat, terutama generasi mendatang.

“Kalau toh bakal merugikan masyarakat, apalagi untuk anak cucu kita,” ujar Sara saat diwawancarai selepas mengecek keberadaan lokasi titik sawit, Kamis (25/12/2025) sore.

Ia berharap pemerintah tidak tinggal diam dan segera menindaklanjuti penolakan warga terhadap perkebunan sawit tersebut.

“Kalau bisa mah ditindaklanjuti, kalau bisa jangan sampai ada sawit di wilayah kita,” ucapnya.

Menurut Sara, air menjadi kebutuhan utama warga Cigobang. 

Baca juga: 13 Warga Garut dan Tasik Telantar di Kalbar, Diiming-imingi Kerja di Perkebunan Sawit dan Gaji Layak

Ia khawatir, jika sawit terus dikembangkan di kawasan bukit dan lereng, sumber air masyarakat akan terdampak.

“Kalau toh merugikan nanti anak cucu kita, air bisa kena sama sawit. Saya mohon bagi pemerintahan, khususnya pusat, diperhatikan,” jelas dia.

Ia menambahkan, selama ini masyarakat sangat bergantung pada ketersediaan air yang juga didukung oleh program pemerintah.

“Sedangkan masyarakat kita kan utamanya air, ini juga dari pemerintah alhamdulillah dapat,” katanya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, lahan yang ditanami kelapa sawit tersebut merupakan lahan perseorangan milik masyarakat dan sebagian dikelola bersama oleh sebuah perusahaan.

Perusahaan tersebut mengakomodir penanaman sawit melalui skema kerja sama, mulai dari penyewaan lahan hingga sistem bagi hasil dengan pemilik lahan.

Namun, warga yang menolak perkebunan sawit menilai kerja sama tersebut tetap berpotensi menimbulkan dampak lingkungan serius, terutama terhadap cadangan air tanah dan risiko kekeringan yang bisa semakin parah.

Kekhawatiran itu juga disuarakan oleh pegiat lingkungan.

Hipal Surdiniawan, pegiat lingkungan dari Sawala Buana, Kecamatan Pasaleman, secara tegas mengkritisi alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit di Desa Cigobang.

"Ya sebagai pegiat lingkungan, sangat menolak adanya perkebunan sawit di wilayah kami,” ujar Hipal.

Menurutnya, kawasan hutan Cigobang memiliki vegetasi yang masih sangat baik dan berperan penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan.

“Apalagi kan hutannya sangat indah. Kalau memang vegetasinya bagus,” ucapnya.

Hipal menekankan, bahwa hutan di sekitar Cigobang merupakan kawasan penyangga mata air yang sangat vital bagi masyarakat.

“Karena kita menjaga mata air di sekitaran hutan Cigobang, Kecamatan Pasaleman, akan lebih indah kalau hutan itu benar-benar hutan, bukan sawit,” jelas dia.

Di sisi lain, masyarakat juga mencemaskan potensi bencana alam.

Baca juga: Penghargaan untuk Para Pelaku Inovasi Sawit: dari Teknologi Pengolahan hingga SDM Unggul

Penanaman kelapa sawit secara masif di area bukit dan lereng perbukitan dikhawatirkan dapat memicu longsor, terutama saat musim hujan tiba.

Lereng yang sebelumnya ditopang oleh vegetasi hutan dinilai menjadi lebih rentan ketika dialihfungsikan.

Kini, warga Desa Cigobang berharap pemerintah daerah hingga pusat turun tangan, meninjau langsung kondisi di lapangan dan memastikan keselamatan lingkungan serta keberlanjutan sumber air bagi masyarakat tidak dikorbankan atas nama ekspansi perkebunan.

Secara ekologis, kelapa sawit dikenal sebagai tanaman dengan kebutuhan air yang tinggi.

Dalam berbagai kajian lingkungan, perkebunan sawit kerap dikaitkan dengan penurunan cadangan air tanah di sekitarnya, terutama jika ditanam secara masif di kawasan perbukitan dan lereng.

Akar sawit yang relatif dangkal juga dinilai tidak sekuat vegetasi hutan alami dalam menahan struktur tanah.

Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat mempercepat aliran permukaan saat hujan deras, sehingga meningkatkan risiko erosi dan longsor. 

Terlebih, kawasan perbukitan Desa Cigobang sebelumnya ditutupi hutan dengan vegetasi rapat yang berfungsi sebagai daerah resapan air alami bagi masyarakat di wilayah bawah.

Selain itu, alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit juga berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem.

Hilangnya tutupan hutan dapat berdampak pada berkurangnya keanekaragaman hayati serta terganggunya mata air yang selama ini menjadi sumber kehidupan warga, khususnya di wilayah yang sudah masuk kategori krisis air.

Kekhawatiran inilah yang membuat warga Desa Cigobang dan pegiat lingkungan menilai keberadaan perkebunan sawit di atas bukit dan lereng perbukitan bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan menyangkut keselamatan lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat dalam jangka panjang.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.