TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Komunikasi Federal (FCC) melarang penjualan drone baru buatan luar negeri di Amerika Serikat, termasuk produk dari perusahaan Tiongkok seperti DJI dan Autel Robotics. Keputusan tersebut ditetapkan pada Senin lalu dan diumumkan secara resmi pada pekan ini.
Dikutip dari ABC News, Jumat (26/12/2025), larangan itu diberlakukan setelah FCC menyelesaikan peninjauan sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang pertahanan nasional yang disahkan Kongres AS tahun lalu.
Regulasi tersebut lahir di tengah kekhawatiran Washington terhadap potensi risiko keamanan nasional dari drone buatan China yang selama ini mendominasi pasar Amerika Serikat.
Drone produksi Tiongkok banyak digunakan di AS untuk berbagai keperluan, mulai dari pertanian, pemetaan, penegakan hukum, hingga industri film. Dalam rancangan undang-undang pertahanan, Kongres secara khusus menyerukan penghentian penjualan drone baru oleh DJI dan Autel, menyusul hasil evaluasi yang menilai produk tersebut berpotensi menimbulkan ancaman keamanan nasional. Tenggat waktu peninjauan ditetapkan hingga 23 Desember 2025.
Namun dalam pernyataan terbarunya, FCC menyebut bahwa hasil peninjauan tidak hanya mencakup dua perusahaan Tiongkok tersebut. Komisi menyimpulkan bahwa seluruh drone dan komponen penting yang diproduksi di luar negeri dapat menimbulkan 'risiko yang tidak dapat diterima terhadap keamanan nasional Amerika Serikat serta keselamatan dan keamanan warga AS'
Meski demikian, FCC membuka peluang pengecualian. Drone atau komponen tertentu dapat tetap diizinkan beredar jika Departemen Pertahanan Amerika Serikat atau Departemen Keamanan Dalam Negeri AS menyatakan bahwa produk tersebut tidak menimbulkan risiko keamanan.
FCC juga menyinggung sejumlah agenda besar mendatang, seperti Piala Dunia 2026, perayaan America250, dan Olimpiade Musim Panas 2028 di Los Angeles, sebagai alasan perlunya mitigasi ancaman drone dari “penjahat, aktor asing yang bermusuhan, dan kelompok teroris.”
Keputusan ini disambut positif oleh industri drone domestik. Presiden dan CEO AUVSI, Michael Robbins, menyatakan bahwa langkah tersebut penting untuk mengurangi ketergantungan AS terhadap Tiongkok sekaligus mendorong pembangunan industri drone nasional.
“Sejarah terbaru menunjukkan mengapa Amerika Serikat perlu meningkatkan produksi drone dalam negeri dan mengamankan rantai pasokannya,” kata Robbins, merujuk pada kesediaan Beijing membatasi pasokan material strategis seperti magnet tanah jarang demi kepentingannya sendiri.
Di sisi lain, DJI menyatakan kekecewaannya atas keputusan FCC. Perusahaan itu menilai proses pengambilan keputusan tidak transparan dan tidak didasarkan pada bukti konkret.
“Kekhawatiran terhadap keamanan data DJI tidak didukung bukti dan justru mencerminkan proteksionisme, yang bertentangan dengan prinsip pasar terbuka,” demikian pernyataan perusahaan.
Dampak kebijakan ini juga dirasakan pengguna di lapangan. Di Texas, instruktur penegakan hukum Gene Robinson mengatakan larangan tersebut akan merugikan banyak pihak yang selama ini mengandalkan drone buatan Tiongkok karena kinerjanya yang tinggi dan harganya yang terjangkau. Meski demikian, ia mengaku memahami keputusan tersebut.
“Untuk kembali ke posisi di mana kita mandiri, pasti akan ada kesulitan. Kita harus menerimanya,” ujarnya.
Sementara itu, CEO sekaligus salah satu pendiri perusahaan drone asal AS Hylio, Arthur Erickson, menilai kepergian DJI membuka ruang bagi produsen lokal untuk berkembang. Ia mengungkapkan investasi baru mulai mengalir untuk meningkatkan produksi drone pertanian, yang diharapkan dapat menekan harga.
Namun Erickson juga mengkritik luasnya cakupan aturan FCC yang meliputi seluruh drone dan komponen buatan luar negeri.
Baca juga: Kapolri Tinjau Kesiapan Operasional Nataru di JMTC Bekasi, Cek Mobil Command Center & Drone ETLE
“Cara penulisannya sangat umum. Kita memiliki rantai pasokan global dari negara-negara sekutu. Saya berharap akan ada klarifikasi lebih lanjut,” pungkasnya.
SUMBER