BANGKAPOS.COM--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan akan menindaklanjuti laporan dugaan tindak pidana pemerasan yang menyeret puluhan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Laporan tersebut disampaikan oleh koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Sebanyak 43 personel Polri dilaporkan dalam aduan tersebut, terdiri dari 14 anggota berpangkat bintara dan 29 perwira.
Dugaan pemerasan disebut terjadi dalam rentang waktu lima tahun, sejak 2020 hingga 2025, dengan nilai total yang ditaksir mencapai Rp 26,2 miliar.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa lembaga antirasuah akan melakukan tahapan awal berupa penelaahan terhadap laporan tersebut.
Proses ini bertujuan untuk memastikan validitas informasi dan kelengkapan data yang disampaikan oleh para pelapor.
“Terkait laporan aduan masyarakat yang disampaikan oleh ICW dan KontraS, tentu akan kami lakukan telaah awal terlebih dahulu. Informasi yang disampaikan akan dicek validitasnya, apakah memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti atau tidak,” ujar Budi kepada wartawan, Jumat (26/12/2025).
Menurut Budi, penelaahan awal merupakan prosedur standar dalam setiap laporan yang masuk ke KPK.
Setelah tahap ini, laporan akan masuk ke fase verifikasi dan analisis yang lebih mendalam untuk menilai apakah terdapat bukti permulaan yang cukup.
“Jika dari hasil verifikasi dan analisis itu ditemukan adanya indikasi kuat, maka KPK akan menentukan langkah selanjutnya. Apakah penanganannya masuk ranah pendidikan, pencegahan, koordinasi supervisi, atau langsung ke penindakan hukum,” jelasnya.
Meski demikian, Budi menegaskan bahwa proses dan hasil sementara dari penelaahan tersebut tidak bisa dipublikasikan secara terbuka.
Informasi terkait substansi laporan, hasil verifikasi, hingga analisis internal termasuk kategori informasi yang dikecualikan.
“Setiap progres tentu akan disampaikan secara khusus kepada pihak pelapor. Namun, materi laporan dan hasil telaahnya merupakan informasi tertutup sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tegas Budi.
Sebelumnya, ICW dan KontraS secara resmi melayangkan laporan tersebut ke Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Selasa (23/12/2025).
Pelaporan ini merupakan bentuk eskalasi setelah koalisi masyarakat sipil menilai penanganan kasus serupa di internal Polri tidak memberikan efek jera.
Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, mengungkapkan bahwa dugaan pemerasan itu terjadi dalam empat peristiwa berbeda.
Kasus-kasus tersebut meliputi penanganan perkara pembunuhan, penyelenggaraan konser musik Djakarta Warehouse Project (DWP), kasus pemerasan antara remaja dan aparat kepolisian di Semarang, Jawa Tengah, serta dugaan pemerasan terkait transaksi jual beli jam tangan.
Dugaan pemerasan tersebut terjadi dalam empat kasus berbeda, yakni:
Menurut Wana, laporan tersebut disusun berdasarkan temuan, dokumen pendukung, serta hasil pemantauan yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir.
Ia menyebut pola pemerasan yang dilakukan menunjukkan adanya penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.
“Total nilai dugaan pemerasan yang kami laporkan mencapai Rp 26,2 miliar. Ini bukan angka kecil dan menunjukkan bahwa praktik semacam ini tidak bisa lagi diselesaikan hanya dengan sanksi etik,” kata Wana.
Ia menambahkan, kekecewaan masyarakat sipil terhadap penanganan internal Polri menjadi alasan utama laporan tersebut dibawa ke KPK.
Menurutnya, tanpa proses pidana, praktik serupa berpotensi terus berulang.
“Sebab, ketika tidak ada upaya pidana yang diberikan kepada penegak hukum, khususnya kepolisian, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum ke depan,” ujarnya.
ICW dan KontraS menilai bahwa mekanisme penegakan etik di internal Polri belum cukup untuk menangani dugaan kejahatan yang berpotensi merugikan masyarakat luas.
Wana menegaskan bahwa sanksi etik tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan oleh dugaan pemerasan tersebut.
“Jika hanya berhenti pada sanksi etik, maka ada risiko normalisasi praktik korupsi dan pemerasan. Publik bisa melihat seolah-olah pelanggaran berat cukup diselesaikan secara internal,” ujar Wana.
Ia juga menilai bahwa pelibatan KPK sebagai lembaga independen menjadi langkah penting untuk menjaga akuntabilitas penegakan hukum.
Menurutnya, laporan ini bukan semata-mata untuk menghukum individu, tetapi juga untuk mendorong perbaikan sistemik.
Dalam dokumen laporannya, koalisi masyarakat sipil merujuk pada Pasal 11 Ayat 1A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.
Wana menilai bahwa dugaan pemerasan yang dilakukan oleh anggota Polri masuk dalam kategori tindak pidana korupsi karena melibatkan penyalahgunaan jabatan dan kewenangan untuk keuntungan pribadi.
“Undang-undang sudah memberikan ruang yang jelas bagi KPK untuk turun tangan. Sekarang tinggal bagaimana komitmen penegakan hukumnya,” ujarnya.
Koordinator Badan Pekerja KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra, menegaskan bahwa pelaporan ini juga merupakan bagian dari upaya mendorong reformasi di tubuh Polri.
Ia berharap kasus ini tidak dilihat sebagai serangan terhadap institusi, melainkan sebagai momentum pembenahan.
“Ini adalah upaya agar kepolisian bisa melakukan perbaikan secara serius. Kami juga mendorong KPK sebagai lembaga independen untuk melakukan pengusutan secara objektif dan transparan,” kata Dimas.
Menurut Dimas, kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum sangat bergantung pada keberanian negara menindak pelanggaran di internalnya sendiri.
Ia berharap langkah ini dapat menjadi preseden positif dalam pemberantasan korupsi, nepotisme, dan pemerasan.
Redaksi Grup Tribunnews.com masih berupaya meminta klarifikasi dan pernyataan dari pihak kepolisian.
Kasus ini kembali menegaskan tuntutan publik agar penegakan hukum tidak berhenti di meja etik semata.
Masyarakat menanti langkah nyata penegakan pidana demi menjaga integritas hukum dan memulihkan kepercayaan terhadap institusi negara.