Ketika Ego Sektoral Mematikan Arah Promosi Global Pariwisata Sulawesi
December 26, 2025 07:22 PM

Oleh: Hendra Nick Arthur

Ketua Lingkar Penulis Pariwisata (LPP) Kota Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM- Bagi masyarakat Toraja, tongkonan bukan sekadar rumah adat. Ia adalah pusat keputusan, tempat arah hidup ditentukan bersama. Dalam nilai aluk todolo, kepentingan bersama ditempatkan di atas kepentingan kelompok.

Nilai yang sama hidup dalam falsafah Bugis sipakatau dan semangat Makassar siri’ na pacce. Namun nilai-nilai inilah yang justru kian menjauh dari praktik pengelolaan pariwisata Sulawesi hari ini.

Di tengah terbukanya peluang pasar global melalui berbagai pameran pariwisata internasional, termasuk Vakantiebeurs di Belanda, Sulawesi sesungguhnya memiliki momentum besar. Toraja dikenal dunia, Makassar adalah pintu gerbang Indonesia Timur, dan Sulawesi Selatan memiliki kekayaan budaya serta alam yang tidak dimiliki daerah lain. Namun peluang ini belum diiringi dengan langkah kolektif yang terarah.

Masalah utamanya terletak pada ego sektoral. Pariwisata masih dikelola secara terpisah-pisah. Setiap bidang merasa memiliki wilayahnya sendiri. Promosi berjalan tanpa sinkronisasi dengan kesiapan destinasi. Event budaya digelar tanpa target pasar yang jelas. UMKM pariwisata disebut sebagai tulang punggung ekonomi, tetapi sering luput dari kebijakan nyata.

Ironi semakin terasa ketika daerah berbicara tentang promosi global, tetapi persoalan dasar di lapangan belum sepenuhnya dibenahi. Akses menuju destinasi Toraja masih menjadi keluhan, penataan kawasan wisata belum konsisten, kebersihan dan kenyamanan belum menjadi standar bersama. Di Makassar, citra kota wisata bahari kerap berbenturan dengan persoalan tata kelola kawasan dan keterpaduan layanan wisata.

Baca juga: Jemaat Membludak, Gereja Toraja Tamalanrea Makassar Siapkan Tenda

Lebih dari itu, pelaku industri pariwisata lokal, penulis pariwisata dan komunitas kreatif belum ditempatkan sebagai mitra strategis. Mereka hadir saat acara berlangsung, tetapi jarang dilibatkan dalam perumusan arah kebijakan. Padahal, pariwisata modern bertumpu pada cerita, pengalaman, dan keaslian. Hal-hal yang justru paling dipahami oleh pelaku lokal.

Dalam budaya Toraja dikenal semangat ma’pakaboro, bekerja bersama demi kepentingan komunitas. Nilai ini seharusnya menjadi dasar membangun pariwisata Sulawesi. Namun selama ego sektoral lebih dominan daripada semangat kebersamaan, strategi promosi pariwisata akan terus kehilangan arah.

Sulawesi tidak kekurangan potensi, Toraja tidak kekurangan pesona, dan Makassar tidak kekurangan posisi strategis. Yang masih kurang adalah keberanian menyatukan langkah. Pariwisata tidak bisa dibangun oleh satu sektor saja. Ia membutuhkan visi bersama, kerja lintas bidang, dan kesediaan menanggalkan ego.

Jika nilai tongkonan, sipakatau, dan siri’ na pacce benar-benar dihidupkan kembali dalam kebijakan, pariwisata Sulawesi tidak hanya akan dikenal, tetapi juga dipilih di pasar global. Tanpa itu, peluang besar hanya akan menjadi cerita tentang kesempatan yang kembali terlewat. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.