TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Bau amis ikan yang menyengat seolah berebut memasuki lubang hidung saat kaki melangkah di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Roban Timur, Desa Sengon, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang. Namun, bagi para perempuan di Roban Timur, aroma ikan bukan sekadar bau, melainkan aroma harapan.
Di sebelah timur bangunan TPI, tepat di bawah naungan los yang teduh, delapan perempuan sedang berkumpul. Suara celoteh dan tawa mereka memecah kebisingan debur ombak yang bersahutan. Di tengah canda, tangan mereka cekatan memilah gunungan kecil ikan asin di atas alas jaring warna hitam.
Tangan-tangan terampil itu sedang memilah berbagai jenis ikan hasil laut yang telah dikeringkan. Mulai dari ikan teri yang putih bersih, layur yang memanjang dan berbagai jenis ikan lainnya. Setiap ikan diperiksa dengan seksama.
Ikan dengan kualitas baik seperti tubuh utuh, bersih, dan kering sempurna langsung dimasukan ke dalam kantong plastik bening ukuran satu kilogram. Sebaliknya, ikan yang dianggap tak layak jual segera dipisahkan untuk dibuang. Bentuk ikan yang segar dan pemilihan ketat inilah yang membuat ikan asin dari Roban Timur dikenal kualitasnya dibandingkan jenis ikan asin lainnya di pasaran wilayah Kabupaten Batang.
Para perempuan pengolah ikan asin itu tergabung dalam kelompok Pertiwi Roban Timur, sebuah komunitas beranggotakan 10 perempuan yang menekuni usaha ikan asin.
Di kampung nelayan ini, para perempuan itu adalah pilar ekonomi kedua setelah suami mereka melaut. Mengolah ikan asin bukan sekadar pekerjaan sampingan, melainkan upaya menjaga pondasi ekonomi keluarga.
Baca juga: Perumda Air Minum Sendang Kamulyan Batang Bidik 2.000 Sambungan Baru di 2026
“Pendapatan dari mengolah ikan asin hasilnya lumayan buat bantu suami. Terlebih seperti sekarang ini ombak lagi besar karena cuaca laut lagi buruk, suami tak melaut tiga hari tapi masih ada sumber penghasilan,” ucap anggota Pertiwi Roban Timur Rokhati (45) kepada Tribun.
Rokhati telah menekuni pengolahan ikan asin lebih dari 20 tahun. Tak heran tangannya sangat cekatan dalam memilah ikan. Selama ini dalam mengolah ikan asin, ia mendapatkan penghasilan sampai Rp700 ribu per minggu.
"Ya hasil itu belum kepotong modal yang mencapai Rp300 ribu sampai Rp400 ribu untuk beli ikan di TPI," ungkapnya.
Ia melanjutkan, membeli berbagai jenis ikan hasil tangkapan nelayan di TPI Roban Timur. Selepas itu, ikan dicuci bersih lalu dikeringkan. Proses pengeringan masih mengandalkan sinar matahari.
Sesudah ikan kering akan dipilah berdasarkan jenisnya lalu dijual. Untuk ikan jenis pipih dijual Rp25 ribu per kilogram, ikan layur Rp 45 ribu per kilogram, kacangan Rp45 ribu per kilogram, kuniran Rp45 ribu per kilogram dan teri Rp 60 ribu kilogram, “Kami jual ikan asin ini mayoritas ke pasar Batang,” ungkapnya.
Para perempuan Roban Timur tidak ingin usaha pengolahan ikan asin yang telah mereka geluti selama berpuluh-puluh tahun hanya jalan di tempat. Mereka ingin naik kelas. Ketua Pertiwi Roban Timur Erviana (35) mengatakan, kelompoknya kini sedang mempersiapkan rumah produksi ikan asin di dekat bangunan TPI Roban Timur. Rumah produksi ikan asin nantinya menjadi tempat untuk mengolah ikan dengan berbagai produk. Di tempat itu, pengemasan ikan juga akan dibuat lebih menarik.
“Kami berencana tidak akan menjual ikan asin utuh, melainkan ikan asin olahan, semisal ikan asin rasa balado dan berbagai rasa lainnya,” katanya kepada Tribun, Sabtu (20/12/2025) sore.
Meskipun kelompoknya baru berjalan empat bulan, Ervina optimis target kelompoknya itu terpenuhi karena ia dan anggotanya sudah mendapatkan berbagai pelatihan produk dan teknik pemasaran dari berbagai forum pelatihan baik di Batang maupun di Semarang. “Kami yakin bisa tinggal menunggu rumah produksi jadi,” ungkapnya.
Erviana juga yakin hal ini bisa terealisasi karena kelompoknya memiliki modal produk yang sudah ada yakni ikan segar hasil tangkapan langsung dari nelayan. Kadar asin dalam ikan juga rendah karena minim penggunaan garam.
“Kami punya ikan asin unggulan dengan rasa tidak asin banget, ikan lebih bersih dan segar karena langsung dapat dari laut,” tuturnya.
Kualitas ikan asin dari Roban Timur ternyata bukan isapan jempol belaka. Ini diakui oleh salah satu pelanggan. “Saya ke sini dua sampai tiga kali dalam sebulan untuk beli ikan asin di sini karena lebih fresh,” kata Santoso (42) kepada Tribun.
Ia mengaku, seringkali memborong ikan asin di Roban Timur terutama ketika hendak mengantarkan istri pulang kampung ke Cianjur, Jawa Barat. Warga Subah itu menyebut, ikan asin dari Roban Timur sangat diminati oleh keluarga istrinya di sana. “Seperti sekarang mau liburan (natal dan tahun baru) beli ikan untuk dibawa ke Cianjur sebagai buah tangan,” ucapnya.
Potensi hasil tangkapan nelayan di pesisir Roban Timur cukup menjanjikan. Data dari Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Batang mencatat tangkapan nelayan yang dihimpun di TPI Roban Timur pada tahun 2019 tercatat mencapai 208.517 kilogram, tahun 2020 mencapai 230.654 kilogram, tahun 2021 mencapai 243.948 kilogram.
Selepas PLTU Batang beroperasi, terjadi penurunan hasil tangkapan dalam rentang waktu 2022 hingga 2024. Rinciannya, hasil tangkapan nelayan tahun 2022 mencapai 74.051 kilogram, tahun 2023 mencapai 67.113 kilogram, dan tahun 2024 mencapai 86.637 kilogram.
Lepas dari itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah menilai, pengolahan ikan asin Roban Timur masih berpotensi menjadi pengungkit ekonomi warga terutama bagi para perempuan di pesisir tersebut. Dari kondisi itu, Walhi Jateng melakukan pendampingan para perempuan untuk ekonomi yang berkelanjutan.
Staf Advokasi WALHI Jawa Tengah, Rizki Riansyah mengatakan, alasan pendampingan bagi perempuan kelompok Pertiwi Roban Timur karena potensi ikan asin di wilayah tersebut cukup menjanjikan. Potensi ikan asin tersebut tinggal diformulasikan agar bisa meningkatkan nilai jual melalui pembentukan kelompok.
“Kami harap kelompok ini bisa menghasilkan varian produk ikan asin berupa camilan atau sejenisnya yang bisa dijual tidak hanya pasar lokal Batang melainkan pasar yang lebih luas baik secara offline maupun pasar online,” ucapnya kepada Tribun, Sabtu (27/12/2025).
Untuk merealisasikan hal itu, WALHI kini sedang membantu kelompok tersebut membangun rumah produksi. Tempat ini masih dalam tahap proses pengajuan izin lingkungan agar mengantongi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL).
“Kami dalam membuat rumah produksi ini juga mengajak bu-ibu untuk menjaga lingkungan karena proses produksi ikan asin juga menghasilkan limbah,” terangnya.
Pengajuan izin lingkungan tersebut berkaitan pula dengan syarat produk lainnya berupa izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT).
Selain melengkapi izin-izin tersebut, Rizki menyebut kelompok ini juga sedang menghitung ulang harga jual produk ikan asin yang ada di Roban Timur. Langkah ini dilakukan karena sejauh ini mereka menjual ikan asin masih jauh dari harga pasaran.
“Harga ikan asin mentahan di pasar bisa mencapai Rp70 ribu per kilogram, tetapi para ibu di Roban Timur menjual harga separuh dari harga itu,” ujarnya.
Melihat peluang itu, Rizki yakin potensi produk ikan asin di Roban Timur bisa dimaksimalkan. Terlebih jika ikan asin itu bisa divariasikan dengan produk tertentu. “Kami bersama para kelompok sedang menghitung ulang terkait Harga Pokok Penjualan (HPP) sebagai dasar pematokan harga produk dan sasaran pemasaran,” paparnya.
Ia berharap, produk ikan asin Roban Timur bisa dimaksimalkan maka bisa menjadi alternatif ekonomi baru.
Sejauh ini, sumber pendapatan para perempuan di Roban Timur belum bisa menggantikan pendapatan suaminya yang seorang nelayan.
Namun, ketika mereka bisa berdikari dengan produk ikan asin maka bisa menjadi penopang baru ekonomi keluarga. “Untuk itu, wilayah tangkap dan ekosistem pesisir Roban Timur harus dijaga, karena itu sumber penghidupan mereka,” katanya. (Iwn)