TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat sipil mengecam tindakan represif yang dilakukan prajurit TNI terhadap masyarakat yang berunjuk rasa di Aceh Utara soal penanganan bencana.
Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari Centra Initiative, DeJure, Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), IMPARSIAL, Raksha Initiatives, Human Rights Working Group (HRWG), dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).
Direktur DeJure, Bhatara Ibnu Reza mendesak pemerintah dan DPR untuk segera meminta Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menindak tegas oknum prajurit yang melakukan tindakan represif tersebut.
"Koalisi mengecam keras tindakan represif yang dilakukan oleh TNI kepada masyarakat sipil di Aceh Utara, dan mendesak kepada DPR dan pemerintah agar memerintahkan Panglima TNI bertindak cepat dan tegas terhadap oknum TNI yang melanggar, agar tidak memunculkan trauma baru masyarakat Aceh," kata Bhatara dalam keterangannya, Sabtu (27/12/2025).
Menurutnya, tindakan itu justru bertentangan dengan tugas dan fungsi TNI yang seharusnya tidak turut campur dalam penanganan unjuk rasa atau demonstrasi.
Baca juga: Bendera GAM Berkibar di Aceh, IPR: Harusnya Tidak Boleh Dinormalisasi, Ada Intervensi Asing
Adanya pengibaran bendera putih atau pun bulan sabit, seharusnya tidak menjadi alasan bagi TNI untuk menggunakan pendekatan kekerasan.
"TNI seharusnya tidak menggunakan dalih "bendera bulan sabit" untuk terlibat dalam penanganan unjuk rasa. Hal itu seharusnya bisa diselesaikan dengan cara dialogis oleh Pemerintah Aceh atau kepolisian," ucapnya.
Tindakan represif TNI kepada masyarakat Aceh itu, kata Bhatara, justru membuka trauma lama 32 tahun konflik bersenjata di Aceh.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Tindakan Represif TNI kepada Pengunjuk Rasa di Aceh Utara
Apalagi pengerahan pasukan dari Korem 011/Lilawangsa untuk menghalau penyampaian pendapat di muka umum yang terjadi pada 25 Desember 2025 kemarin, justru menyalahi UU TNI sekaligus melanggar UUD 1945.
Unjuk rasa atau penyampaian pendapat di muka umum adalah hak konstitusional warga negara dan dijamin oleh Konstitusi.
"Apalagi, unjuk rasa merupakan ekspresi sipil yang sah dalam ruang demokrasi. Kalau pun ada tindakan yang dianggap melanggar hukum atau terindikasi pidana, seharusnya menjadi wewenang kepolisian untuk menindaknya," tuturnya.
Menurut Bhatara, dalam suasana kebatinan pemulihan pasca-bencana dan sejarah konflik bersenjata yang panjang, nampak bahwa TNI kurang memiliki sensitivitas dan kesadaran dalam menangani permasalahan sipil yang terjadi di masyarakat.
Masyarakat yang membutuhkan pelayanan dari Pemerintah, tidak seharusnya direspons dengan tindakan represif dan militeristik, yang justru semakin memperlihatkan tidak profesionalnya militer, yang merespons urusan di luar pertahanan.
"Kami mendesak Pemerintah seharusnya fokus pada penanganan bencana di Aceh yang masih mengalami banyak masalah dan memastikan hak-hak masyarakat Aceh yang terdampak bencana segera dipulihkan," ungkapnya.
Beredar video di media sosial Whatsapp yang menampilkan kericuhan antara sejumlah prajurit TNI dengan pria berpakaian sipil dengan narasi "TNI Pukul Masyarakat Membawa Bantuan Ke Aceh Tamiang" pada Jumat (26/12/2025).
Sedangkan di Instagram, beredar pula video yang tampak merekam kejadian yang sama namun dari sudut berbeda.
Di Instagram, video tersebut dinarasikan "Aksi brutal TNI terhadap penyintas bantuan banjir ke Aceh Tamiang di Krueng Mane Aceh Utara" pada Jumat (26/12/2025) dini hari.
Kejadian itu tampak direkam malam hari.
Tampak di antara kericuhan tersebut sejumlah orang berpakaian sipil yang berdiri di atas truk-truk yang berbaris.
Terlihat juga sejumlah prajurit TNI berseragam membawa senjata laras panjang dalam video tersebut.
Penerangan dalam video tersebut juga tampak minim.
Menanggapi video tersebut, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen (Mar) Freddy Ardianzah menyatakan TNI menyayangkan beredarnya video atau konten yang memuat narasi tidak benar dan mendiskreditkan institusi TNI tersebut.
"Informasi tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan dan berpotensi menyesatkan publik," kata Freddy saat dikonfirmasi pada Jumat (26/12/2025).
Namun, Freddy menjelaskan peristiwa kericuhan tersebut benar terjadi.
Ia menjelaskan kejadian itu bermula pada Kamis (25/12/2025) pagi dan berlanjut sampai tanggal Jumat (26/12/2025) dini hari di Kota Lhokseumawe.
Saat itu, kata Freddy, sekelompok masyarakat berkumpul, konvoi, serta berunjuk rasa.
Selain itu, kata dia, sebagian lainnya juga mengibarkan bendera bulan bintang yang identik dengan simbol GAM disertai teriakan yang berpotensi memancing reaksi publik serta mengganggu ketertiban umum, khususnya di tengah upaya pemulihan Aceh pascabencana.
Freddy melanjutkan setelah menerima laporan, Danrem 011/Lilawangsa Kolonel Inf Ali Imran segera berkoordinasi dengan Polres Lhokseumawe.
Kemudian, Kolonel Ali bersama personel Korem 011/LW serta Kodim 0103/Aceh Utara mendatangi lokasi.
"Aparat TNI–Polri mengutamakan langkah persuasif dengan mengimbau agar aksi dihentikan dan bendera diserahkan," ujarnya.
"Namun karena imbauan tersebut tidak diindahkan, aparat melakukan pembubaran secara terukur dengan mengamankan bendera guna mencegah eskalasi situasi," kata dia.
Ia melanjutkan dalam proses tersebut terjadi adu mulut.
"Saat pemeriksaan terhadap salah satu orang dalam kelompok ditemukan 1 pucuk senjata api jenis Colt M1911 beserta munisi, magazen, dan senjata tajam," kata dia.
"Yang bersangkutan kemudian diamankan dan diserahkan kepada pihak Kepolisian untuk diproses sesuai hukum yang berlaku," imbuhnya.
Ia menegaskan pelarangan pengibaran bendera bulan bintang didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku karena simbol tersebut diidentikkan dengan gerakan separatis yang bertentangan dengan kedaulatan NKRI.
Hal itu, lanjut dia, sebagaimana diatur dalam Pasal 106 dan 107 KUHP, Pasal 24 huruf a, UU Nomor 24 Tahun 2009, serta PP Nomor 77 Tahun 2007.
Koordinator Lapangan (Korlap) aksi demo menyatakan kejadian tersebut hanya selisih paham dan sepakat berdamai dengan aparat.
Untuk itu, kata Freddy, TNI mengimbau masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang belum terverifikasi kebenarannya.
"TNI dan pemerintah daerah serta aparat terkait akan terus mengutamakan pendekatan dialog, persuasif, dan humanis untuk meredam potensi konflik, menjaga stabilitas keamanan, serta memastikan masyarakat Aceh dapat fokus pada pemulihan kehidupan sosial dan ekonomi pascabencana," ujar dia.
"TNI berkomitmen menjaga Aceh tetap aman, damai, dan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia," pungkasnya.