Rincian Rencana Rahasia Israel untuk Caplok Separuh Gaza dan Secara Paksa Gusur Warga Palestina
TRIBUNNEWS.COM - Laporan media Israel beberapa pekan belakangan, menunjukkan adanya niat pemerintah Israel untuk kembali menggaungkan kendali penuh atas Jalur Gaza.
Menurut surat kabar Israel, Kipa, "Ada peningkatan diskusi politik dan keamanan yang sensitif di Tel Aviv mengenai masa depan Jalur Gaza. "
Baca juga: Media Ibrani: Serangan Pemukim Yahudi Bukan Sporadis Tapi Kebijakan Resmi untuk Mencaplok Tepi Barat
Diskusi ini bertepatan dengan persiapan kunjungan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ke Amerika Serikat dan pertemuannya dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump di Florida akhir pekan ini.
Disebutkan, diskusi ini berfokus pada kemungkinan perubahan mendasar pada perbatasan yang diakui antara Israel dan Jalur Gaza, yang akan mengurangi luas wilayah Jalur Gaza sekitar setengahnya.
Sebagai catatan, dalam kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan kelompok pembebasan Palestina, termasuk Hamas, yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS), muncul batas baru demarkasi militer yang dikenal sebagai Yellow Line (Garis Kuning).
Adapun laporan dari Kipa tersebut menyatakan kalau Netanyahu akan mengusulkan kepada Trump agar "garis kuning" menjadi perbatasan baru Israel di Gaza, yang secara efektif mencaplok 54% wilayah Jalur Gaza.
Kalangan politik dan keamanan Israel disebut-sebut sedang menjajaki kemungkinan untuk mendekati Amerika Serikat guna meminta dukungan Trump untuk mengubah apa yang disebut "garis kuning" menjadi perbatasan resmi baru bagi Negara Israel.
Jika disetujui, pendekatan ini akan memungkinkan pencaplokan sebagian besar wilayah Jalur Gaza ke Israel, sebuah langkah yang dianggap sebagai salah satu usulan paling kontroversial sejak pecahnya perang.
Menurut sumber politik Israel yang terlibat dalam konsultasi ini, rencana yang diusulkan mencakup pencaplokan wilayah hingga Garis Hijau, sambil secara bersamaan memberikan tekanan ekonomi terus-menerus pada Hamas untuk melemahkan kendalinya atas Jalur Gaza.
Sumber tersebut menjelaskan bahwa proposal ini tidak dilihat sebagai tindakan taktis sementara, melainkan sebagai pesan strategis jangka panjang yang bertujuan untuk membangun persamaan pencegahan: menargetkan warga Israel akan dibalas dengan kehilangan wilayah.
Sumber tersebut menambahkan bahwa rencana yang diusulkan mencakup kehadiran militer Israel di setidaknya separuh wilayah Jalur Gaza, bersamaan dengan kebijakan pencekikan ekonomi internal dan eksternal untuk mencegah rekonstruksi apa pun di fase mendatang, dan berfokus pada perlucutan senjata total terhadap faksi-faksi Palestina.
Menurut rencana ini, kondisi ekonomi dan kehidupan yang memburuk secara bertahap akan memaksa penduduk untuk meninggalkan Jalur Gaza.
Data menunjukkan bahwa Garis Hijau mencakup sekitar 58 persen dari total wilayah Jalur Gaza dan mencakup wilayah pusat dan vital seperti Beit Hanoun, Beit Lahia, Khan Younis, dan sebagian besar Rafah.
Mereka yang mendukung pendekatan ini berpendapat kalau mengendalikan area-area ini merupakan zona penyangga keamanan tingkat lanjut dan mengubah persamaan pencegahan di perbatasan Gaza.
Kepala staf Militer Israel, Eyal Zamir, sebelumnya telah menyinggung arah ini ketika berbicara kepada para tentara di Jalur Gaza beberapa minggu sebelumnya.
Dia menganggap garis kuning sebagai perbatasan baru dan garis pertahanan tingkat lanjut untuk permukiman, serta garis serangan.
Ia menjelaskan kalau ini bukan lagi sekadar demarkasi teoretis di peta, tetapi telah menjadi doktrin keamanan baru yang mendefinisikan kembali perbatasan antara Israel dan Gaza dan cara angkatan darat Israel mempersiapkan diri untuk fase pasca-perang.
Sebaliknya, pendekatan ini secara langsung bertentangan dengan fase kedua dari rencana yang diusulkan oleh Presiden AS Donald Trump, yang menetapkan penarikan pasukan pendudukan Israel ke arah timur dan kembali ke garis perbatasan saat ini.
Sumber-sumber Israel memperkirakan kalau peluang rencana ini mendapat dukungan resmi dari negara-negara Arab sangat lemah, bahkan mungkin tidak ada sama sekali, mengingat potensi dampak politik dan keamanan regional yang luas.
(oln/khbrn/*)