Opini: Agroliterasi dan Ekoliterasi pada Masyarakat Adat
December 28, 2025 07:06 AM

Upaya Mengatasi Krisis Lingkungan Hidup Berbasis Pengetahuan dan Kearifan Lokal

Oleh:  Oland Leba, SVD
Guru di SMAK St. Josef Freinademetz-Tambolaka, Sumba Barat Daya - NTT

POS-KUPANG.COM - Alam memiliki peran penting terhadap kelangsungan hidup manusia. Segala kebutuhan manusia selalu diambil dari apa yang tersedia dari alam. 

Namun, di tengah persoalan krisis lingkungan hidup, sumber daya yang dibutuhkan manusia menjadi terbatas. 

Keterbatasan akan persediaan alam adalah persoalan pelik dan mengancam kelangsungan hidup manusia. 

Salah satu aspek yang mengancam krisis lingkungan hidup ialah perusakan hutan. 

Baca juga: Opini: Sesat Narasi Hutan Bukan Paru-Paru Dunia

Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) (2024:1), hutan di Indonesia berada di ujung tanduk, karena dipantau sejak tahun 2017-2021 mengalami deforestisasi dengan nilai rata-rata sekitar 2,54 juta Ha/tahun atau setara dengan 6 kali luas lapangan sepak bola per menit. 

Angka deforestisasi yang berbahaya sangat mengancam keutuhan lingkungan hidup. 

Oleh karena itu hutan di Indonesia membutuhkan perhatian dari semua warga negara Indonesia. 

Pemerintah dan masyarakat harus saling berkerja sama untuk memerangi keruskan hutan. 

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi hutan ialah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. 

Beberapa poin penting dari penetapan peraturan tersebut ialah tentang hutan adat, yang mana hutan adat merupakan hutan yang berada di dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatakan kesejahteraannya. 

Masyarakat adat memiliki peran penting untuk menjaga dan merawat lingkungan hidup. 

Berdasarkan data dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) (Debora:2023), luas wilayah adat di Indonesia sekitar 26,9 juta hektar dan di antaranya sekitar 20,9 juta hektar atau 77,3 persenya ialah wilayah hutan adat. 

Tanggungjawab masyarakat adat terhadap wilayah hutan adat adalah kontribusi yang bernilai terhadap perawatan lingkungan hidup. 

Selain itu, hutan adat juga berperan penting terhadap kelangsungan hidup masyarakat adat untuk bertahan hidup. 

Namun, di tengah pengaruh arus globalisasi dan perkembangan teknologi, cara-cara dan nilai luhur yang dibangun oleh masyarakat adat untuk menjaga wilayah hutannya mulai redup. 

Masyarakat adat selain mengambil bahan kebutuhan yang tersedia di hutan adat, mereka juga mengelolah lahan di wilayah adat untuk bertani. 

Teknik yang dipakai untuk pengelolahan lahan pertanian pun mulai mengikuti gaya-gaya modern yang beberapa di antaranya cenderung merusak lingkungan hidup. 

Teknik-teknik tradisional untuk bertani sering dinilai lebih konservatif, misalnya teknik bertani yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Binongko, Kecamata Wkatobi, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Katambhari (proses pemupukan menggunakan sampah-sampah organik) proses ini dilakukan dengan ritual dan penghormatan (Hidrawati, dkk, 2022:82). 

Seiring dengan perkembangan teknologi teknik-teknik tradisional seperti yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Binongko kini kian redup dan mulai diganti dengan mengaplikasikan teknik modern, seperti pemanfaatan teknologi dan bahan-bahan kimia untuk pertanian. 

Umumnya masyarakat adat memiliki nilai-nilai luhur adat-istiadat dan kearifan lokal untuk menjaga dan melestarikan hutan.

Contohnya di wilayah Ende-Lio Provinsi Nusa Tenggara Timur, hukum adat yang mengatur dan melarang masyarakat adat untuk merusak hutan ialah Pire yang jika dilanggar, maka akan mendapatkan sanksi dari tua adat atau dipercayai akan mendapat kutukan (Arsen Budu: 2023). 

Namun, dihadapkan dengan perkembangan teknologi tidak menutupi kemungkinan bahwa cara-cara modern tidak diaplikasikan di wilayah adat dan meredupkan nilai-nilai kearifan lokal. 

Pengaplikasian teknik-teknik modern dalam pengelolahan lahan pertanian seperti pemanfaatan pestisida dan pupuk-pupuk kimia dapat membahayakan lingkungan pertanian di wilayah adat. 

Dampak kerusakan lingkungan seperti, pencemaran air, tanah dan udara pun tidak bisa dihindari apabila teknik-teknik modern diterapkan.

Isu kerusakan hutan di wilayah adat yang diakibatkan oleh penerapan metode pengelolahan lahan yang keliru mesti harus diatasi dengan cara-cara yang edukatif dan persuasif. 

Penulis menawarkan cara dengan gerakan agroliterasi dan ekoliterasi pada masyarakat adat, sebagai upaya untuk mengatasi krisis lingkungan hidup dengan berbasis pada pengetahuan dan kearifan lokal.

Agroliterasi adalah upaya membangun kultur agraris yang berbasis pengetahuan.  

Para petani dituntut memiliki potensi yang baik untuk mengetahui dan memahami teknik-teknik pertanian yang lebih efisien, efektif dan lebih bersahabat dengan alam. 

Dalam konteks masyarakat adat, literasi sangat diperlukan untuk mengembangkan potensi para petani agar petani lebih produktif dalam menggunakan lahan dan waktu untuk bertani. 

Penerapan agro-literasi dapat dimulai dengan beberapa metode berikut. 

Pertama, Pendampingan dari dinas pertanian dan kelompok petani berpengalaman untuk memberi pemahaman dan pengetahuan kepada para masyarakat adat, dengan cara terjun langsung ke dalam kelompok masyarakat tani. 

Pendampingan berlangsung setiap hari selama hari kerja dalam jangka waktu tertetntu (Dianjurkan untuk 3 tahun pendampingan), sampai para petani benar-benar mandiri. 

Pendampingan dilakukan mulai dari proses persiapan lahan, penanaman, perawatan, pemanenan, sampai pada proses penjualan. 

Program pendampingan para petani memang sudah dijalankan selama beberapa tahun terakhir tetapi pendampingan belum berhasil karena minimnya profesionlitas para pendamping dan waktu pendampingan, sehingga menambah kelompok petani yang berpengalaman dan waktu pendampingan adalah alternatif terbaik untuk mengembangkan potensi para petani di wilayah adat. 

Para petani dalam masyarakat adat dikatakan mandiri apabila bisa mengelolah lahan pertanian dengan cara yang bersahabat pada alam dan hasil yang memuaskan. 

Kedua, menyediakan jaringan internet dan mendampingi para petani untuk mengakses internet. 

Dengan kemampuan mengakses internet, para petani bisa belajar lebih dalam untuk bertani dan membangun jaringan-jaringan bisnis untuk menjual hasil pertaniannya. 

Kelemahan para petani di wilayah adat ialah kesulitan untuk membaca peluang harga pasar, sehingga internet hadir membantu para petani agar bisa mengakses informasi dan membaca peluang harga pasar.

Ekoliterasi merujuk pada kepedulian anggota masyarakat terhadap lingkungan hidup, menghargai lingkungan hidup, dan bertangungjawab   terhadap   masalah krisis lingkungan hidup. 

Anggota masyarakat diminta untuk mengidentifikasi dan memilih perspektif positif terkait masalah lingkungan serta berpartisipasi   aktif dalam perbaikan dan konservasi lingkungan.

Dalam konteks masyarakat adat, warisan nilai-nilai luhur sangat baik untuk dihidupkan sebagai bentuk konservasi berbasis kearifan lokal. 

Nilai-nilai luhur itu dikaji kembali dan kemudian diwariskan kepada generasi-generasi selanjutnya.

Pertama, mengkaji kembali kearifan lokal dan nilai-nilai yang diwariskan leluhur sebuah masyarakat adat untuk menjaga dan melestarikan hutan. 

Kajian dapat dilakukan oleh masyarakat adat dan akademisi. Masyarakat adat membantu akademisi untuk menemukan nilai-nilai luhur yang mulai redup untuk diteliti dan menemukan penyebab redupnya nilai-nilai tersebut. 

Nilai-nilai luhur yang diwariskan itu kemudian dihidupkan kembali dan diajarkan di sekolah-sekolah.

Kedua, pemberian pelatihan dari para pengerajin professional terhadap masyarakat adat untuk mengelolah hasil alam seperti pembuatan tempat sampah dari rotan dan barang-brang lain yang berguna untuk membendung penggunaan sampah plastik pada lingkungan masyarakat adat. 

Penggunaan barang berbahan plastik sangat berpotensi untuk merusak wilayah masyarakat adat, sehingga masyarakat adat diajak untuk memanfaatkan alat dari bahan ramah lingkungan.

Ketiga, Kerjasama antara pemerintah dan pimpinan adat untuk memberi sanksi kepada masyarakat yang dengan sengaja dan tidak sengaja merusak hutan. 

Jika saat ini narasi dan mitos warisan leluhur yang digunakan untuk membendung kecendrungan merusak hutan tidak dihargai, maka alternatif lain yang harus dipertegas ialah memberikan sanksi.

Agroliterasi dan Ekoliterasi yang digerakan pada masyarakat adat, sesungguhnya memiliki kontribusi yang bernilai untuk menjaga dan merawat lingkungan hidup. 

Gerakan ini harus diimplementasikan di setiap daerah di seluruh wilayah Indonesia agar lingkungan hidup dan wilayah hutan adat tetap aman. (*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.