Oleh : Deby Akbar Tamrin
Ketua HMI Komisariat Tarbiyah dan Keguruan Cabang Polman
TRIBUN-SULBAR.COM- Menutup tahun anggaran 2025, pembangunan manusia di Kabupaten Polewali Mandar kembali berada di persimpangan antara ambisi perencanaan dan kenyataan pelaksanaan. Tahun ini sekaligus menjadi gerbang awal implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029 yang mengusung visi besar “Polewali Mandar Sehat, Cerdas, dan Maju.”
Namun pertanyaannya sederhana sekaligus mendasar: sejauh mana visi tersebut benar-benar bergerak dari lembaran dokumen menuju kehidupan nyata masyarakat?
RPJMD telah ditetapkan melalui Perda Nomor 2 Tahun 2025 secara normatif telah menempatkan pembangunan sumber daya manusia sebagai prioritas strategis.
Penurunan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta penguatan tenaga kerja lokal disebut sebagai agenda utama. Sayangnya, menjelang akhir tahun pertama implementasinya, geliat pembangunan manusia justru masih tampak tertatih.
Salah satu problem klasik yang kembali berulang adalah rendahnya serapan anggaran, khususnya pada OPD yang bersentuhan langsung dengan pembangunan manusia.
Laporan monitoring hingga triwulan III menunjukkan fakta yang mengkhawatirkan: dinas yang menangani pemberdayaan perempuan dan tenaga kerja hanya mampu merealisasikan sekitar 41,5 persen anggaran, sementara urusan tenaga kerja dan energi bahkan lebih rendah, di kisaran 36,6 persen Ini bukan sekadar soal angka, melainkan soal dampak.
Setiap rupiah yang tidak terserap berarti pelatihan kerja yang tertunda, layanan pemberdayaan yang tidak menjangkau sasaran, dan peluang peningkatan kualitas hidup masyarakat yang terbuang. Ketika belanja publik berjalan lamban, maka visi “cerdas dan maju” berisiko berhenti sebagai jargon birokrasi.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Polewali Mandar yang masih berada di kisaran 66,22 di bawah rata-rata provinsi menjadi sinyal kuat bahwa pembangunan manusia belum mengalami lompatan berarti. Status IPM yang masih dalam kategori menengah menandakan bahwa perbaikan di sektor pendidikan, kesehatan, dan daya beli berjalan terlalu pelan.
Pada saat yang sama, tingkat kemiskinan yang masih berada di kisaran 12–15 persen menunjukkan adanya ketimpangan dalam distribusi manfaat pembangunan.
Program ada, anggaran tersedia, tetapi belum sepenuhnya menyentuh kelompok masyarakat yang paling membutuhkan. Ini memperlihatkan bahwa persoalan utama bukan hanya keterbatasan sumber daya, melainkan ketajaman intervensi kebijakan.
RPJMD menargetkan lonjakan IPM hingga 79,09 pada tahun 2029 sebuah target yang progresif dan patut diapresiasi. Demikian pula peningkatan rata-rata lama sekolah dari 7,88 menjadi 8,31 tahun.
Namun jika tahun pertama RPJMD saja sudah diwarnai oleh serapan anggaran yang rendah dan kinerja OPD yang belum optimal, maka target tersebut berpotensi menjadi sekadar angka aspiratif.
Pembangunan manusia bukan proyek instan. Ia membutuhkan konsistensi, keberanian menentukan prioritas, dan disiplin dalam pengelolaan anggaran. Tanpa pembenahan serius di sisi tata kelola, target IPM berisiko menjadi mimpi yang terus ditunda dari satu periode ke periode berikutnya.
Langkah memperkuat perencanaan berbasis data melalui forum statistik bersama BPS dan Balitbangren patut diapresiasi. Namun data yang akurat hanya akan bermakna jika diikuti dengan keberanian politik dan administratif untuk mengubah pola belanja dan cara kerja OPD. Tanpa itu, data hanya akan menjadi laporan tahunan yang rapi, tetapi steril dari perubahan nyata.
Catatan akhir tahun 2025 memperlihatkan satu kesimpulan penting: pembangunan manusia di Polewali Mandar masih terjebak dalam jurang antara perencanaan dan implementasi. RPJMD telah memberi arah, tetapi kompas pelaksanaannya belum sepenuhnya bergerak lurus.
Jika pembangunan SDM benar-benar ingin dijadikan fondasi kemajuan daerah, maka perbaikan tata kelola anggaran, penajaman program prioritas, dan penguatan koordinasi lintas sektor tidak bisa lagi ditunda. Pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja bukan sekadar indikator kinerja, melainkan kebutuhan riil masyarakat.
Tahun 2026 harus menjadi momentum koreksi. Sebab pembangunan manusia tidak menunggu kesiapan birokrasi ia menuntut keberpihakan, ketegasan, dan keberanian untuk berubah sekarang, bukan nanti.(*)