BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Deru mesin perapian kayu tak lagi asing di kawasan Pantai Tanjung Bunga, Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Suaranya berpadu dengan dengung ponton-ponton tambang yang beroperasi di tengah laut, menciptakan irama bising yang kontras dengan fungsi kawasan ini sebagai ruang ibadah dan kawasan pesisir.
Bangkapos.com menelusuri sisi lain kawasan Tanjung Bunga, Minggu (28/12/2025),
Dari arah belakang Pura Penatara Agung, pemandangan tak biasa tersaji. Bibir pantai yang semestinya menjadi ruang terbuka kini berubah menjadi kamp para penambang timah.
Pondok-pondok kayu berdiri berderet, sebagian tampak semi permanen.
Beberapa ponton terlihat aktif di tengah laut, sementara lainnya ditarik mendekati bibir pantai.
Tak sedikit pula ponton yang masih dalam tahap perakitan, dikerjakan oleh sejumlah orang di tepi pantai.
Suara mesin menggema tanpa jeda. Di kejauhan, asap tipis membumbung dari ponton-ponton kayu yang terus bekerja. Aktivitas itu berlangsung nyaris tanpa sekat dengan kawasan suci.
Di halaman Pura Penatara Agung, suasana justru tampak tenang. Sejumlah pengurus pura terlihat duduk santai, berbincang usai gotong royong rutin mingguan.
Namun di balik ketenangan itu, tersimpan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.
Salah satu pengurus pura, Agung mengaku terkejut dengan semakin ramainya aktivitas penambangan di sekitar kawasan pura.
"Awalnya kaget juga. Kok makin ramai, yang awalnya cuma ramai nelayan di sini," ujar Agung saat ditemui Bangkapos.com, Minggu (28/12/2025).
Ia menuturkan, sejauh ini aktivitas tambang belum secara langsung mengganggu pelaksanaan ibadah di pura. Namun, beberapa perilaku penambang sempat membuat pihak pengurus merasa risih.
"Pernah ada sampah dibuang sembarangan di kawasan pura. Ada juga yang mandi di kolam depan pura, bahkan menjemur pakaian di patung pura," kata Agung.
Hal itu sudah disampaikan kepada para penambang. Pihak pengurus pura meminta agar kawasan ibadah tetap dijaga kesuciannya.
"Kami sudah sampaikan, ini tempat ibadah, mohon dijaga. Mereka juga kami ajak koordinasi," ujarnya.
Meski demikian, Agung menegaskan pihaknya tidak ingin terseret dalam pusaran persoalan tambang.
"Kalau dibilang terganggu betul, sebetulnya tidak. Kami tidak ingin dilibatkan. Ini urusan pemerintah, bukan urusan kami," katanya.
Kekhawatiran terbesar justru mengemuka saat membicarakan Hari Raya Nyepi.
Tradisi keagamaan umat Hindu di kawasan tersebut selama ini dilakukan dengan melibatkan pantai dan laut di depan pura.
"Biasanya saat Nyepi kami turun langsung ke pantai. Tapi kalau sudah penuh penambang begini, kami juga bingung nanti Nyepi 2026 mau bagaimana?" ujarnya lirih.
Nyepi 2026 diperkirakan jatuh pada Maret. Meski masih beberapa bulan lagi, ketidakpastian sudah mulai dirasakan.
"Akses ke pantai bisa tertutup. Ini yang membuat kami bimbang," katanya.
Keresahan itu bertambah karena kawasan belakang pantai sejatinya direncanakan menjadi akses masuk utama ke pura, sekaligus area parkir.
Selama ini, akses masuk pura berada di jalan utama Tanjung Bunga. Namun kedepan jalur pantai direncanakan menjadi pintu masuk baru.
"Kalau sudah dipenuhi penambang, mau parkir di mana nanti?" ujarnya.
Pura Penatara Agung bukan satu-satunya rumah ibadah di kawasan tersebut. Tak jauh dari lokasi, berdiri Kelenteng Dewi Laut.
Di sisi lain kawasan pantai, terdapat pula Vihara Satya Dharma Buddhist Center. Ketiganya kini berada dalam satu bentang ruang dengan aktivitas tambang yang kian masif.
Di sepanjang jalan belakang pura, suasana semakin semrawut. Mobil-mobil penambang terparkir di bahu jalan menambah kesan padat dan tak tertata di kawasan pesisir yang sebelumnya lengang.
(Bangkapos.com/Andini Dwi Hasanah)