TRIBUN-TIMUR.COM- Isu skema Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) viral belakangan.
Padahal Pilkada masih empat tahun lagi.
Bahkan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Pilkada baru dimulai 2 atau 2,5 tahun pasca pemilihan nasional.
Partai-partai lebih pro kepada Pilkada via DPRD atau tidak langsung.
Alasan adalah efisiensi anggaran dan menekan politik uang.
Meski begitu, Pilkada lewat DPRD dianggap melemahkan demokrasi oleh berbagai pihak.
Partai setuju Pilkada tak langsung adalah PKB, Partai Golkar, Partai Gerindra, dan PAN.
Baca juga: PAN Blak-blakan Dukung Wacana Pilkada Lewat DPRD, Keputusan Final Tunggu 2026
Sementara itu, PDI Perjuangan menolak.
PKS meminta ada pemisahan antara Pilkada langsung adalah Pemilihan Wali Kota.
Sementara itu, PKS mengusulkan Pemilihan Bupati via DPRD.
Ketua DPP Partai Gerindra, Prasetyo Hadi menilai langkah partainya mendukung usulan kepala daerah dipilih melalui DPRD dapat menjadi langkah berani untuk mengubah sistem dan mekanisme pilkada yang selama ini berjalan.
Prasetyo menegaskan, pemerintah pada prinsipnya membuka ruang untuk mendengarkan berbagai aspirasi dan pendapat publik.
"Kalau pemerintah pada dasarnya kan kita mendengarkan seluruh aspirasi dan pendapat. Nah kalau kami, saya selalu ngurus partai ya, bukan selaku mensesneg juga," kata Prasetyo di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin (29/12/2025).
“Kita harus berani melakukan perubahan dari sistem manakala kita mendapati sistem sekarang banyak sisi negatif, misalnya ongkos politiknya sangat besar. Belum lagi sisi negara mengenai pembiayaan. Kami mengusulkan mengembalikan sistem melalui mekanisme DPRD,” katanya.
Menurutnya, Partai Gerindra sudah membicarakan soal revisi undang-undang pemilu sejak kepemimpinan periode lalu.
“Dalam konteks partai politik sudah cukup lama juga kita bahas, saat periode pemerintahan bapak Joko Widodo kita sudah bahas soal revisi undang-undang Pemilu,” ujarnya.
Anggaran Pilkada Serentak 2024 Tembus Rp 41 Triliun
Anggaran pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 ditaksir mencapai lebih dari Rp 41 triliun. Angka tersebut berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024 yang bersumber dari naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) antara pemerintah daerah dengan penyelenggara dan aparat keamanan.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, anggaran tersebut mencakup pembiayaan untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta pengamanan oleh TNI dan Polri. Seluruhnya disepakati melalui NPHD di masing-masing daerah.
“Ada anggaran untuk KPU, Bawaslu, kemudian aparat keamanan Polri dan TNI yang diikat dalam naskah perjanjian hibah dan disepakati angkanya. Sebanyak 40 persen sudah saya sampaikan surat agar dicairkan di tahun kemarin,” ujar Tito dalam Rapat Koordinasi Kesiapan Penyelenggara Pilkada Serentak 2024 Wilayah Sumatera di Medan, Sumatera Utara, Selasa (9/7/2024).
Sejak 2023, Kemendagri telah meminta pemerintah daerah menyiapkan anggaran pilkada secara bertahap, yakni 40 persen dari APBD 2023 dan 60 persen dari APBD 2024. Kebijakan ini dilakukan untuk menghindari beban fiskal yang terlalu besar dalam satu tahun anggaran.
Berdasarkan data Kemendagri, sebanyak 541 pemerintah daerah telah menganggarkan dana Pilkada 2024 sebesar Rp 28,75 triliun untuk kebutuhan KPU di masing-masing wilayah. Sementara itu, dari sisi pengawasan, 518 pemerintah daerah mengalokasikan dana sebesar Rp 8,55 triliun untuk Bawaslu.
Namun demikian, masih terdapat 23 pemerintah daerah yang belum menandatangani NPHD dengan Panwaslu, seluruhnya berada di Provinsi Aceh.
Untuk pengamanan, tercatat 314 pemerintah daerah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 871,66 miliar untuk TNI, sedangkan 333 pemerintah daerah menyediakan dana Rp 2,83 triliun untuk kepolisian setempat.(*)