Oleh: Distiliana, M.Pd.I
(Pemerhati Sosial dan Keagamaan)
SRIPOKU.COM - Kambang Iwak (KI) bukan sekadar ruang terbuka hijau bagi warga Palembang. Ia adalah jantung kota, salah satu tempat melepas penat sekaligus pusat denyut ekonomi kecil.
Pada Minggu malam (28/12/2025), saya bersama suami dan tiga anak sengaja berkunjung ke sana. Suasana sangat hidup; lampu-lampu kota berpadu dengan aroma kuliner yang menggoda selera.
Kami sempat berkeliling, melintasi jembatan di tengah kolam, lalu menikmati cilok kuah dan es matcha yang diakui anak-anak sangat lezat.
Namun, di balik keseruan "healing" keluarga itu, ada dua kegelisahan yang mengusik kenyamanan dan rasa aman kami sebagai pengunjung.
Jika kita memutar waktu kembali ke tahun 1920-an, kawasan Talang Semut tempat di mana Kambang Iwak berada merupakan mahakarya seorang perancang kota legendaris, Herman Thomas Karsten.
Dalam catatan sejarah yang sering diulas oleh Harian Kompas, Karsten merancang kawasan ini dengan konsep Tuinstad atau Kota Taman.
Kambang Iwak atau populer juga dengan singkatan KI, yang kala itu bernama Wilhelmina Park, bukanlah sekadar kolam hias. Ia adalah "paru-paru" sekaligus sistem drainase canggih yang menjaga Palembang dari banjir. Buku Palembang: Sejarah dan Kebudayaan, karya Duddy Adrian, mencatat bahwa tempat ini dahulu adalah simbol keteraturan dan keasrian kelas atas.
Namun sayang, wajah "keteraturan" itu tampak sedang diuji oleh zaman.
Malam itu, Kambang Iwak memang sangat hidup. Cahaya lampu kota yang memantul di permukaan air kolam menciptakan suasana romantis yang khas. Beragam jenis kuliner ada di sana. Di titik ini, fungsi KI sebagai pusat ekonomi kecil (UMKM) sangat terasa.
Namun, di tengah keceriaan itu, mata saya tertuju pada noda yang menyedihkan: sampah. Botol plastik dan bungkus makanan berserakan di pinggir kolam, terutama di tempat-tempat duduk area jogging track. Seperti membenarkan banyak pendapat bahwa pengelolaan sampah di ruang publik sering kali terbentur pada rendahnya kesadaran kolektif.
Saya melihat ini bukan sekadar masalah teknis kebersihan, melainkan krisis akhlak di ruang publik. Membuang sampah sembarangan di tempat umum mencerminkan keretakan adab seorang terhadap lingkungannya. Keindahan yang dirancang Karsten lebih seabad lalu tidak boleh kalah oleh ego pengunjung yang enggan mencari tempat sampah.
Kegelisahan saya memuncak saat suara raungan knalpot membelah malam. Jalan melingkar di KI yang hanya selebar 5-6 meter seketika berubah fungsi menjadi "sirkuit" dadakan akibat perilaku beberapa penyewa mini cross.
Kita tentu mendukung geliat ekonomi UMKM, namun ketika aktivitas tersebut mulai mengancam keselamatan pejalan pengunjung lainnya, maka prinsip hukum Islam harus dikedepankan: "Dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih"—menghilangkan kemudaratan harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan (keuntungan ekonomi).
Memacu kendaraan dengan cukup cepat di area padat pejalan kaki sangat membahayakan, terutama bagi anak-anak. Islam sangat menekankan perlindungan terhadap jiwa (hifzhu nafs). Maka, Kambang Iwak harus menjadi tempat di mana semua orang merasa terlindungi.
Kambang Iwak adalah milik kita bersama. Kemajuan ekonomi melalui UMKM tidak boleh menabrak ketertiban sosial. Kita butuh ketegasan dari pihak pengelola dan Satpol PP untuk menata area permainan ini agar fungsi rekreasi dan keamanan berjalan beriringan.
Mari kita kembalikan marwah Kambang Iwak sesuai amanah Al-Qur'an: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya..." (QS. Al-A'raf: 56).
Dengan kesadaran akhlak dan ketegasan aturan, saya yakin Kambang Iwak akan tetap menjadi destinasi favorit yang membanggakan bagi warga Bumi Sriwijaya tanpa harus mengorbankan rasa aman pengunjungnya. (*)