SURYA.CO.ID - Kasus pengusiran paksa dan pembongkaran rumah Nenek Elina Widjajnati (80) di Dukuh Kuwukan, Surabaya, terus jadi sorotan.
Meski pihak Samuel Ardi Kristanto (44), mengklaim memiliki surat kepemilikan yang sah atas tanah tersebut, polisi tetap melakukan penahanan.
Hal ini diduga berkaitan dengan prosedur eksekusi yang dinilai melanggar hukum pidana.
Pakar Hukum dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Jamin Ginting, menjelaskan bahwa kepemilikan surat atau hak atas tanah tidak serta-merta memberi wewenang bagi seseorang untuk melakukan pengosongan lahan secara sepihak, apalagi dengan melibatkan organisasi masyarakat (ormas).
Jamin Ginting menekankan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, eksekusi fisik atas sebuah objek sengketa adalah wewenang negara, bukan individu.
"Kalau kita bicara terkait dengan eksekusi, yang melakukan itu harusnya pengadilan, yang disebut sebagai juru sita di pengadilan karena berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,” kata Jamin dalam acara Kompas Petang di Kompas TV, Minggu (28/12/2025).
Menurutnya, meskipun Samuel merasa memiliki alas hak yang kuat, ada prosedur administratif yang harus dilewati sebelum rumah tersebut dikosongkan.
“Putusan pengadilan itu harus di-aanmaning. Aanmaning artinya orang yang menempati atau menguasai secara fisik rumah dan tanah tersebut sudah diberikan peringatan, tetapi tidak mau dengan secara sukarela meninggalkan tempat yang sudah diperingatkan,” ungkapnya.
Baca juga: Kronologi Lengkap Kasus Pengusiran Nenek Elina di Surabaya hingga Penahanan Samuel di Polda Jatim
Penahanan terhadap pihak yang memerintahkan eksekusi (dalam hal ini diduga Samuel) menjadi kuat karena penggunaan ormas dan adanya perusakan bangunan.
Jamin menjelaskan bahwa pengadilan tidak pernah bekerja sama dengan ormas dalam proses eksekusi resmi.
“Jadi, kalau ada ormas yang melakukan eksekusi, ini ilegal menurut saya sehingga itu bisa dikenakan pemidanaan. Ormas itu kita lihat nanti apakah dia disuruh atau mendapatkan kuasa dari orang yang sebenarnya mengaku sebagai pemilik hak yang sah," jelasnya.
Lebih lanjut, tindakan merobohkan rumah Elina meski diklaim berdiri di atas tanah milik sendiri tetap bisa dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum jika dilakukan tanpa jalur pengadilan.
“Kalau nanti dianggap itu barang milik diri sendiri yang dirusak, tetapi itu belum dilaksanakan secara benar. Jadi, perbuatan itu dilakukan secara melawan hukum. Kalau demikian, nanti pembongkaran dianggap tidak sah,” pungkas Jamin.
Kini, Polda Jatim tengah mendalami laporan kekerasan fisik dan perusakan barang yang dialami Nenek Elina.
Direktur Ditreskrimum Polda Jatim, Kombes Pol Widi Atmoko, menegaskan bahwa kasus ini telah memenuhi unsur pidana sesuai Pasal 170 KUHP tentang pengerusakan.
“Kami meyakini ada peristiwa pidana sehingga kasus ini naik ke penyidikan. Hari ini kami memeriksa enam orang saksi. Kami pastikan proses perkara ini dilakukan secara profesional, independen dan sesuai fakta lapangan,” tegas Kombes Widi Atmoko.