Pakaian Dalam Siswi SD 12 Tahun yang Bunuh Ibu Jadi Bukti Kunci, DNA Korban Menempel saat Dieksekusi
December 30, 2025 08:38 AM

 

TRIBUNTRENDS.COM - Kasus pembunuhan ibu kandung yang dilakukan seorang anak berusia 12 tahun di Medan kembali membuka tabir kelam kehidupan rumah tangga yang dipenuhi kekerasan dan tekanan emosional.

Peristiwa ini bukan sekadar tindak kriminal, melainkan akumulasi luka psikologis yang terpendam lama hingga akhirnya meledak dalam satu malam tragis.

Kapolrestabes Medan Kombes Pol Dr Jean Calvijn Simanjuntak memaparkan secara rinci motif kejadian, temuan forensik, serta kondisi psikologis tersangka berinisial AS (12).

Paparan tersebut disampaikan bersama sejumlah pihak terkait, mulai dari Tim Laboratorium Forensik (Labfor) Polda Sumatera Utara, psikolog forensik, hingga perwakilan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) serta Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara.

Baca juga: Misteri di Balik 43 Adegan! Siswi SD 12 Tahun Peragakan Cara Habisi Nyawa Ibu Kandung di Medan

Motif Berlapis: Kekerasan yang Dilihat, Dialami, dan Dipendam

Kapolrestabes menjelaskan bahwa motif perbuatan pelaku diduga kuat berakar dari pengalaman panjang menyaksikan sekaligus mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan tersebut disebut dilakukan korban terhadap anggota keluarganya sendiri.

Pelaku diketahui kerap melihat korban melakukan kekerasan terhadap kakaknya, dirinya sendiri, bahkan ayahnya.

Dalam beberapa peristiwa, korban juga disebut pernah mengancam dengan menggunakan pisau, menciptakan rasa takut yang berulang di dalam rumah.

Salah satu peristiwa yang sangat membekas terjadi pada 22 November 2025. Saat itu, pelaku menyaksikan kakaknya dipukuli menggunakan sapu dan tali pinggang. Akibat pemukulan tersebut, kaki kakak pelaku mengalami luka serius.

Luka tersebut bahkan sempat didokumentasikan.

Foto kondisi kaki kakak pelaku diambil keesokan harinya, 23 November 2025, oleh teman sekolahnya.

“Kejadian pemukulan terjadi pada 22 November, sementara foto luka diambil pada 23 November di sekolah oleh temannya,” ujar Calvijn.

Pemicu Tambahan: Gim Dihapus dan Paparan Tontonan Kekerasan

Selain kekerasan fisik yang berulang, polisi menemukan faktor lain yang turut memicu emosi pelaku. Salah satunya adalah dihapusnya permainan daring milik pelaku, yang memicu rasa frustrasi dan kemarahan.

Tak hanya itu, dalam pendalaman penyidikan, diketahui bahwa pelaku sempat mengakses konten permainan Murder Mystery yang menampilkan adegan pembunuhan menggunakan pisau.

Pelaku juga menonton serial anime Detective Conan episode 271, yang memperlihatkan adegan pembunuhan dengan modus serupa.

“Semua faktor ini kami gali melalui pendekatan scientific crime investigation untuk mengungkap fakta dan motivasi secara transparan,” ungkapnya.

ANAK BUNUH IBU - Bocah perempuan berusia 12 tahun mengaku menghabisi nyawa ibu kandungnya sendiri di Jalan Dwikora, Kelurahan Tanjung Rejo, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan, Sumatera Utara pada Rabu (10/12/2025), rancang pembunuhan usai tonton Detective Conan episode 271
ANAK BUNUH IBU - Bocah perempuan berusia 12 tahun mengaku menghabisi nyawa ibu kandungnya sendiri di Jalan Dwikora, Kelurahan Tanjung Rejo, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan, Sumatera Utara pada Rabu (10/12/2025), rancang pembunuhan usai tonton Detective Conan episode 271 (Kolase TribunTrends/Istimewa)

Hak Anak Tetap Dipenuhi Selama Proses Hukum

Dalam proses penyidikan, Kapolrestabes menegaskan bahwa perlakuan terhadap anak tetap mengedepankan prinsip perlindungan anak.

Selama berada di kantor polisi, penyidik memastikan seluruh hak dasar pelaku terpenuhi.

Hak-hak tersebut mencakup hak beribadah, bermain, berkomunikasi, memperoleh pendidikan, serta hak-hak lain yang melekat sebagai anak.

“Pendampingan dilakukan secara menyeluruh, termasuk kegiatan bermain bersama, pemeriksaan kesehatan rutin, serta pembinaan keagamaan,” jelas Kapolrestabes.

Pendampingan juga melibatkan berbagai unsur, mulai dari UPTD PPA Provinsi dan Kota Medan, Dinas Sosial Provinsi Sumut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga pekerja sosial (Peksos).

Baca juga: Siswi SD 12 Tahun Jadi Tersangka Pembunuhan Ibu di Medan, Merasa Lebih Tenang Usai Tragedi Berdarah

Fakta Forensik: Pisau, Darah, dan Rekonstruksi Kejadian

Dari sisi forensik, Tim Labfor Polda Sumut menyampaikan hasil pemeriksaan mendalam terkait tempat kejadian perkara.

AKBP Ginting menjelaskan bahwa titik utama peristiwa berada di kamar lantai satu.

“Ibu korban diketahui sering memegang pisau di dapur.

Kakak pelaku mengalami luka di tangan saat merampas pisau tersebut. Setelah dilakukan pemeriksaan DNA, hasilnya sesuai dengan temuan di TKP,” jelasnya.

Penyidik juga menemukan ceceran darah dari lantai satu hingga ke lantai dua rumah. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, darah yang ditemukan di kamar lantai dua dipastikan milik kakak pelaku.

“Di kamar lantai dua tidak ditemukan DNA lain selain milik kakak. Ceceran darah terjadi karena kakak dalam kondisi berdarah saat naik ke lantai dua setelah merebut pisau,” lanjut AKBP Ginting.

Selain itu, pada pakaian dalam pelaku ditemukan DNA korban. Temuan ini diduga berasal dari darah korban yang mengenai tubuh pelaku saat kejadian berlangsung.

Kondisi Psikologis: Cerdas, Namun Emosi Belum Terkendali

Psikolog forensik Irma Nauli memaparkan hasil pemeriksaan psikologis terhadap pelaku. Berdasarkan asesmen, anak tersebut memiliki tingkat kecerdasan yang tergolong tinggi.

“Anak ini sangat cerdas, mampu belajar musik dan seni secara otodidak, serta menunjukkan kemampuan kognitif di atas rata-rata,” ujarnya.

Meski demikian, pemeriksaan tidak menemukan adanya gangguan mental berat. Irma menegaskan bahwa pelaku tidak mengalami skizofrenia, depresi berat, PTSD, maupun conduct disorder.

“Tidak ditemukan halusinasi, delusi, perilaku aneh, atau kecenderungan melanggar aturan secara kronis. Jadi gangguan mental tersebut tidak terbukti,” jelas Irma.

Secara emosional, anak dinilai masih berada dalam fase labil.

Tingkat agresivitasnya cukup tinggi, sementara empati belum berkembang secara optimal kondisi yang masih dianggap dalam batas perkembangan usia remaja.

“Peristiwa ini lebih dipengaruhi oleh akumulasi pengalaman kekerasan yang dialami dan disaksikan, ditambah paparan tontonan, serta emosi yang dipendam hingga akhirnya meledak dalam bentuk emotional outburst,” tambahnya.

Irma juga menekankan bahwa meski memiliki kecerdasan superior, pelaku belum sepenuhnya mampu memahami konsekuensi hukum dan moral dari perbuatannya.

“Karena itu, dalam proses peradilan nantinya, anak tetap memerlukan pendampingan khusus,” tegasnya.

Baca juga: Misteri Siswi SD 12 Tahun Bunuh Ibu di Medan: Sanggup Rancang Pembunuhan Usai Tonton Detective Conan

Asesmen Sosial dan Rekomendasi Pemulihan

Dari sisi pendampingan sosial, perwakilan Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara, N Ginting, menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan asesmen menyeluruh terhadap anak tersebut sejak 12 hingga 19 Desember 2025.

“Asesmen meliputi latar belakang keluarga, kesehatan, pertemanan, serta lingkungan sosial,” ujarnya.

Berdasarkan hasil asesmen tersebut, anak direkomendasikan untuk mendapatkan pendampingan sosial dan psikososial secara intensif.

Fokus utama pendampingan adalah pemulihan trauma, yang akan dilakukan oleh pekerja sosial dari Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara.

***

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.