Oleh: Anas I. Anwar Makkatutu
TRIBUN-TIMUR.COM - Ketimpangan ekonomi masih menjadi persoalan yang banyak dihadapi oleh berbagai negara di didunia terlebih lagi di negara berkembang termasuk di Indonesia.
Negara berkembang umumnya ditandai dengan ketimpangan ekonomi antar daerah yang tinggi.
Beberapa faktor penyebab diantaranya terdapat perbedaan potensi sumberdaya alam, perbedaan kualitas sumberdaya manusia, serta keterbatasan sarana dan prasarana.
Hal inilah yang membuat sebagian daerah yang masih berkembang tidak mampu memanfaatkan proses pembangunan yang sedang dan akan dilaksanakan.
Keadaan sebaliknya dialami oleh negara maju dimana kondisi infrastruktur serta kualitas sumberdaya manusia yang lebih baik, sehingga setiap daerah dapat memaksimalkan peluang dari setiap proses pembangunan.
Akibatnya pembangunan yang dilakukan memiliki dampak secara langsung terhadap penurunan ketimpangan antar daerah.
Sulawesi Selatan sering disebut sebagai salah satu provinsi dengan pertumbuhan ekonomi terbaik di Kawasan Timur Indonesia.
Namun, di balik angka-angka makro yang menggembirakan, tersembunyi ketimpangan pembangunan yang tajam antar wilayah.
Makassar dan sekitarnya tumbuh pesat seperti metropolis modern. Data BPS 2023 mencatat, kontribusi PDRB Kota Makassar mencapai 35,7 persen dari total ekonomi Sulsel, sementara kabupaten lainnya jauh dibawah angka tersebut, bahkan ada yang hanya menyumbang 0,8 % .
Angka ini mempertegas betapa timpangnya pembagian kue pembangunan di Sulsel dan masih bergulat dengan keterbatasan infrastruktur, akses pasar, dan kesempatan ekonomi.
Jika tidak segera diatasi, kesenjangan ini akan menjadi bom waktu yang menghambat potensi Sulsel menjelang 2026.
Ketimpangan pembangunan antara kota inti seperti Makassar, Parepare, dan Palopo dengan daerah pedesaan atau kepulauan di Sulsel masih menjadi tantangan serius.
Jika tidak segera diatasi, kesenjangan ini akan semakin melebar dan berpotensi memicu masalah sosial, seperti urbanisasi massal dan ketidakpuasan daerah.
Akar ketimpangan yang terjadi selama ini antara lain: konsentrasi investasi Dimana lebih dari 60 % investasi di Sulsel terserap di Makassar, Maros, dan Gowa.
Sementara daerah lain hanya mendapat remah-remahnya. Infrastruktur seperti pelabuhan, jalan tol, dan kawasan industri juga terpusat di koridor barat, meninggalkan wilayah timur dan kepulauan yang kaya sumber daya tetapi minim akses.
Demikian juga dengan ketergantungan pada sektor primer, Dimana kabupaten seperti Bone, Wajo, atau Enrekang masih mengandalkan pertanian dan perkebunan tradisional dengan nilai tambah rendah.
Dengan tidak adanya industrialisasi pengolahan, akhirnya terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural.
Minimnya konektivitas jalan rusak, listrik tidak stabil, dan internet lambat masih jadi keluhan di daerah, padahal konektivitas adalah syarat mutlak untuk menarik investasi dan membuka pasar baru.
Jika dibiarkan, ketimpangan ini akan memicu masalah serius: migrasi massal ke Makassar, memperburuk kemacetan dan kesenjangan kota-desa.
Konflik sosial seperti ketegangan antar kelompok akibat persaingan sumber daya yang timpang, hilangnya potensi daerah, misalnya hasil laut atau bijih nikel yang akhirnya diekspor mentah karena kurangnya industri lokal.
Menjelang 2026, Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota harus mengambil langkah radikal, yaitu: pemetaan potensi spesifik daerah Dimana setiap wilayah punya keunggulan berbeda, misalnya Luwu Utara bisa jadi pusat agroindustri kakao dan kopi.
Bulukumba layak dikembangkan sebagai pusat galangan kapal dan pariwisata bahari.
Selayar potensial untuk ekowisata dan perikanan berkelanjutan, dan seterusnya berdasarkan potensi masing-masing daerah.
Infrastruktur yang berkeadilan, dimana prioritas proyek harus diarahkan ke daerah tertinggal.
Penyelesaian jalan poros timur (Bone-Sinjai-Bulukumba), penguatan pelabuhan kecil (seperti, Pelabuhan Pamatata di Selayar) untuk akses logistik, pembangkit listrik berbasis energi terbarukan (mikrohidro/surya) di daerah terpencil, Dimana semuanya masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua.
Insentif bagi Investor ke Daerah Tertinggal tetap harus dilaksanakan.
Potongan pajak untuk perusahaan yang membangun pabrik pengolahan di luar Makassar, kemudahan perizinan untuk UMKM lokal berbasis komoditas unggulan daerah.
Pemberdayaan melalui Dana Desa dan CSR Dimana pengalokasiannya harus fokus pada pelatihan keterampilan (seperti digital marketing untuk produk lokal) dan penguatan BUMDes.
Yang tidak kalah pentingnya Adalah kolaborasi antar-daerah, contohnya: sinergi antara Maros (kawasan industri) dan Pangkep (bahan baku pertanian) untuk menciptakan rantai pasok yang saling menguntungkan.
Dengan strategi yang tepat, Sulsel bisa mencapai pertumbuhan yang lebih inklusif.
Tahun 2026 harus menjadi momentum di mana tidak hanya Makassar yang maju, tetapi seluruh wilayah Sulsel tumbuh seimbang, mengurangi kesenjangan, dan membawa kesejahteraan yang merata bagi semua masyarakat.
Ketimpangan bukan hanya soal angka, tapi juga keadilan. Sulsel tidak akan pernah menjadi macan ekonomi jika separuh wilayahnya tertinggal.
Tahun 2026 harus menjadi tonggak dimana kita bisa melihat anak muda dari daerah tidak perlu lagi merantau ke Jakarta untuk mencari kerja, atau nelayan bisa menjual ikan langsung ke pasar global via e-commerce.
Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus bersatu. Jika tidak, kita hanya akan menyaksikan Sulsel yang terbelah antara segelintir wilayah gemerlap, sementara sisanya tetap gelap.
Diperlukan strategi holistik yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Meski kompleks, upaya sistematis dapat mengurangi ketimpangan. Dengan fokus pada pembangunan manusia, infrastruktur, dan tata kelola, Sulsel berpeluang menciptakan pertumbuhan inklusif menuju 2026.(*)