TRIBUNTRENDS.COM - Tim gabungan kembali membeberkan perkembangan terbaru dalam kasus pembunuhan seorang ibu oleh anak kandungnya yang masih berusia 12 tahun di Medan.
Paparan lanjutan ini sekaligus menjawab berbagai perhatian publik yang muncul sejak kasus tersebut mencuat.
Dalam penjelasan terbaru, penyidik menyampaikan sejumlah temuan penting, mulai dari hasil autopsi korban, gambaran kondisi psikologis kakak pelaku, hingga klarifikasi teknis terkait proses penyidikan yang tengah berjalan.
Tim forensik RS Bhayangkara mengungkapkan bahwa hasil autopsi terhadap korban, Faizah Soraya (42), menemukan sedikitnya 26 luka tusuk di beberapa bagian tubuh.
Temuan tersebut menguatkan dugaan adanya kekerasan serius yang terjadi dalam peristiwa tersebut.
Di sisi lain, psikolog forensik Irma Minauli menjelaskan bahwa dinamika keluarga korban memperlihatkan ikatan emosional yang sangat kuat antara kedua anak.
Baca juga: Dendam Dibayar Nyawa, 3 Perlakuan Ibu Kandung Picu Anak Lakukan Pembunuhan, Terinspirasi Film Kartun
Kakak selama ini berperan sebagai figur panutan sekaligus pendamping utama bagi sang adik dalam kehidupan sehari-hari.
Meski demikian, Irma menilai bahwa dampak kekerasan tidak selalu dirasakan secara kasat mata.
Walaupun kakak lebih sering menerima kekerasan fisik, adik, yang kemudian menjadi pelaku, justru memendam luka emosional yang lebih dalam.
“Secara emosional, adik justru lebih sakit hati dibandingkan kakaknya. Kakak cenderung berusaha memaklumi perlakuan ibunya,” ujar Irma.
Menurutnya, penderitaan yang dialami kakak justru menjadi beban psikologis tersendiri bagi sang adik. Rasa empati dan ikatan emosional yang kuat membuat tekanan batin tersebut terus menumpuk.
Irma juga mengungkapkan bahwa pola kekerasan dalam rumah tangga ini bukan terjadi dalam waktu singkat.
Kondisi tersebut telah berlangsung cukup lama dan disebut semakin intens sejak orang tua korban memilih pisah kamar sekitar tiga tahun lalu.
Dalam periode tersebut, ibunda korban diduga menunjukkan sikap yang semakin temperamental.
Secara psikologis, kondisi ini dapat dipahami sebagai bentuk pengalihan emosi atau displacement, yang kemungkinan dipicu oleh konflik berkepanjangan dengan pasangan.
Irma mengungkapkan, kakak pelaku saat ini mengalami gangguan stres akut (acute stress disorder) akibat peristiwa tersebut.
Jika tidak ditangani secara tepat, kondisi ini berpotensi berkembang menjadi post-traumatic stress disorder (PTSD).
Kakak dilaporkan mengalami ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran berlebihan bahwa adiknya dapat kembali melakukan kekerasan.
“Ada rasa cemas dan was-was jika kejadian serupa terulang,” jelas Irma.
Kepala Dinas P3AKP Provinsi Sumatera Utara, Dwi Enda Purwanti, menegaskan bahwa pendampingan psikososial diberikan kepada kedua anak, baik adik sebagai pelaku maupun kakaknya, karena keduanya sama-sama menjadi korban trauma berat.
Baca juga: Rekaman CCTV Kuak Pembunuhan Anak SD terhadap Ibu Kandung, Polrestabes Medan Ungkap Fakta Sebenarnya
Sementara itu, Tim Labfor Polda Sumut kembali menegaskan hasil pemeriksaan forensik terkait jejak darah di tempat kejadian perkara.
Ceceran darah yang ditemukan dari lantai satu hingga lantai dua, termasuk ke kamar ayah, dipastikan merupakan DNA kakak pelaku, bukan ayah korban.
Temuan tersebut selaras dengan kronologi kejadian, di mana kakak membawa pisau dalam kondisi berdarah saat naik ke lantai dua untuk memanggil ayah.
Kapolrestabes Medan juga memberikan klarifikasi bahwa suami korban sempat menghubungi rumah sakit lain sebelum akhirnya berhasil tersambung dengan RS Colombia, yang kemudian mengirimkan ambulans ke lokasi.
Penyidikan kasus ini dilakukan secara mendalam dengan pendekatan scientific crime investigation, melibatkan gelar perkara khusus bersama Polda Sumut serta pendampingan dari Mabes Polri dan berbagai pihak terkait.
(TribunTrends/TribunMedan)