TRIBUNJOGJA.COM, KULON PROGO - Wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara tidak langsung saat ini tengah bergulir. Alih-alih dipilih langsung oleh rakyat lewat mekanisme pemilihan umum (pemilu), kepala daerah justru diusulkan dipilih lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Wacana ini pun sontak mendapat reaksi keras dari warga Kulon Progo. Bagus, warga Kapanewon Pengasih mengatakan wacana tersebut menjadi awal terbunuhnya demokrasi.
"Demokrasi terbunuh dengan hilangnya hak masyarakat dalam memilih calon pemimpin di masa depan," katanya pada Selasa (30/12/2025).
Bagus sendiri menilai wacana tersebut justru akan semakin meningkatkan rasa tidak percaya masyarakat pada anggota legislatif. Sebab selama ini, mereka dinilai kerap membuat kebijakan yang justru tidak pro rakyat.
Menurutnya, anggaran yang besar untuk penyelenggaraan Pilkada tidaklah beralasan. Pasalnya, kerugian akibat tindak pidana korupsi para pejabat justru lebih besar lagi.
"Apalagi Pilkada hanya 5 tahun sekali, uang triliunan rupiah untuk pesta rakyat 5 tahun sekali bagi saya sangat sedikit dibandingkan hasil korupsi yang lebih fantastis," ujar Bagus.
Ia menilai akan lebih baik dilakukan evaluasi menyeluruh terkait pelaksanaan Pilkada. Terutama dalam menekan anggaran seperti dari sisi logistik hingga persiapan yang bisa lebih matang.
Bekti, warga Kapanewon Sentolo juga menilai yang harusnya dibenahi adalah praktik politik uang yang merajalela setiap pelaksanaan pemilu. Sebab praktik tersebut menyebabkan biaya kampanye pasangan calon (paslon) Pilkada membengkak tidak wajar.
"Masyarakat juga perlu diberi pemahaman agar memilih berdasarkan kinerja dan program, bukan sekadar iming-iming belaka," kata ibu rumah tangga ini.
Bekti tak menampik ada kemungkinan anggaran Pilkada bisa dihemat dengan mekanisme pemilihan lewat DPRD. Begitu juga untuk menekan konflik antar pendukung paslon.
Namun, wacana tersebut berhadapan dengan risiko yang tak kalah besarnya. Seperti kebijakan dari kepala daerah yang nantinya terpilih oleh DPRD, apalagi prosesnya dilakukan secara tertutup dan subjektif.
"Takutnya, kepala daerah akan lebih berpihak ke partai pendukungnya, bukan lagi ke masyarakat," jelas Bekti.(alx)