SRIPOKU.COM, PALEMBANG – Wacana pengembalian sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kepada DPRD membutuhkan revisi Undang-Undang (UU) hingga perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 guna menghindari multitafsir hukum.
Pengamat Hukum dari Universitas Sriwijaya, Prof. Dr. Febrian, menegaskan bahwa landasan legalitas menjadi syarat mutlak jika partai politik ingin mengubah mekanisme pemilihan dari rakyat kembali ke tangan legislatif.
Menurut Febrian, jika partai politik bisa menafsirkan Pilkada 'langsung' bisa diartikan bisa melalui pemilihan DPRD, itu bisa saja dilakukan. Artinya hanya diperlukan merevisi terhadap undang- undang (UU) Parpol.
"Tetapi, jika pilkada langsung diartikan pilkada melalui pemilihan oleh rakyat, artinya kita harus merubah Undang- undang Dasar (UUD)," kata Febrian, Selasa (30/12/2025).
Diungkapkan Febrian, jika hal itu mau dilakukan, DPR RI yang notabanenya mereka mewakili masing- masing partai untuk sama-sama mendorongnya.
"Karena kewenangan merubah UU cukup di DPR RI, tanpa melibatkan DPD RI dan MPR RI. Sedangkan UUD itu kewenangannya ada di DPR RI, DPD RI dan MPR RI," paparnya.
Ditambahkan Febrian, jika berbicara usulan terhadap perubahan UU Parpol, hal itu bisa saja datang dari DPR RI, DPD RI dan pemerintah.
Sehingga bisa segera dilakukan pemilihan kepala daerah melalui pemilihan di DPRD, setiap tingkatan.
"Memang substansi salah satu cara untuk efisiensi terhadap financial Pilkada, dimana dianggap cost selama ini besar untuk Pilkada langsung, sehingga bisa dianggap efektif mengurangi tidak hanya cost politik dan juga Money Politik maupun kecurangan dalam Pilkada langsung. Tetapi masih ada interprestasi, apakah ini perlu diatur UUD atau UU saja," paparnya.
Mengenai peluang apakah itu akan terwujud, dikatakan Febrian, sepanjang parpol kompak tidak ada interprestasi liar terhadap tafsir UUD mengenai pilkada langsung atau tidak langsung oleh DPRD atau rakyat, hal itu bisa saja hanya dengan merevisi UU Parpol.
Tetapi selama ini, pilkada langsung oleh rakyat itu dimasukan dijelaskan Febrian dalam UUD 1945 pasal 18 ayat (4) yang diartikan dilakukan secara demokratis, yang diimplementasikan dalam Pilkada langsung dipilih melalui rakyat, tetapi dalam perdebatan teorinya bisa juga melalui DPRD.
"Tinggal politik praktisnya kemudian yang diubah objeknya saja, apakah UUD atau satunya UU. Kalau saya cenderung melakukan revisi terhadap UUD clear itu. Tapi revisi UUD tidak hanya menyangkut pasal itu, mengingat perhelatan itu nasional artinya memakan biaya besar, perencanaan luar biasa, dan melihatkan para ahli dan seterusnya," pungkas mantan Dekan Fakultas Hukum Unsri ini.
Sebelumnya, Ketua DPP Partai Gerindra Prasetyo Hadi mengatakan, Indonesia mesti berani mengubah sistem.
Hal itu disampaikan Prasetyo usai konferensi pers Pemulihan dan Rencana Strategis Pascabencana Jelang Akhir Tahun di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin (29/12/2025).
Kami berpendapat, ini sekali lagi kami sebagai pengurus partai, salah satu pimpinan di partai, kami berpendapat memang kita harus berani, harus berani untuk melakukan perubahan dari sistem," ujarnya.
Melansir dari Tribunnews, Prasetyo menyebut sistem pilkada langsung oleh rakyat mempunyai banyak sisi negatif. Terutama pada mahalnya ongkos yang harus ditanggung.
"Misalnya dari ongkos politik gitu kan. Kita semua sekarang tahu bahwa untuk menjadi seorang kepala daerah, baik bupati, wali kota, maupun gubernur itu ongkosnya sangat besar," ucapnya.
Belum dari sisi negara, dari sisi negara dalam hal ini mengenai pembiayaan," tutur dia.
Oleh karena itu, Partai Gerindra mengusulkan agar sistem pilkada dikembalikan melalui mekanisme di DPRD.
"Nah, inilah yang kemudian kalau kajian di kami internal Partai Gerindra kami memang terus terang, salah satu yang mengusulkan atau berpendapat bahwa kita berkehendak untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah itu melalui mekanisme di DPRD," ungkapnya.
Partai Gerindra menyatakan sikapnya mendukung usulan pemilihan kepala daerah yakni gubernur, bupati, dan wali kota oleh DPRD.
Sekjen DPP Partai Gerindra Sugiono mengatakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD patut dipertimbangkan untuk diterapkan.
"Gerindra ada dalam posisi mendukung upaya ataupun rencana untuk melaksanakan pemilukada ini oleh DPRD di tingkat bupati, wali kota ataupun di tingkat gubernur,” ujar Sugiono.
Sugiono menjelaskan bahwa pemilihan melalui DPRD bisa lebih efisien mulai dari proses atau waktu penjaringan kandidat, mekanisme, anggaran dan ongkos politik hingga pemilihan terlaksana.
Pada 2015 lalu, dana hibah dari APBD untuk pelaksanaan pilkada hampir Rp7 triliun. Nominalnya terus mengalami kenaikan dalam jumlah yang tidak sedikit. Pada 2024, dana hibah dari APBD untuk pelaksanaan pilkada lebih dari Rp37 triliun.
“Itu merupakan jumlah yang bisa digunakan untuk hal-hal lain yang sifatnya lebih produktif, upaya-upaya peningkatan kesejahteraan dan ekonomi rakyat. Saya kira ini adalah sesuatu yang perlu kita pertimbangkan,” tukas Sugiono.