Wakil Rakyat Sebut CSR Perusahaan di Kotim Masih Gelap
December 31, 2025 03:06 PM

TRIBUNKALTENG.COM, SAMPIT – Ketua Komisi III DPRD Kotawaringin Timur (Kotim), Dadang Siswanto menyebut, pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) oleh perusahaan, khususnya sektor perkebunan, masih terkesan gelap dan tidak transparan.

Dadang mengungkapkan, hingga kini DPRD Kotim belum memiliki data yang menyeluruh terkait besaran dana CSR, peruntukkannya, maupun penerima manfaat dari program tersebut.

“Kalau ditanya apakah kontribusi CSR itu minim atau tidak, jawabannya gelap. Kita tidak punya data yang jelas, dan DPRD tidak pernah mendapatkan informasi secara detail,” ujar Dadang, Rabu (31/12/2025).

Baca juga: GMNI Kalteng Desak Usut Transparan Penembakan di Kenyala Kotim Kalteng

Ia menegaskan, CSR bukanlah kegiatan sukarela, melainkan kewajiban perusahaan yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan hingga diturunkan ke dalam Peraturan Daerah (Perda).

“CSR itu kewajiban badan usaha untuk mengeluarkan sebagian penghasilannya. Itu sudah diatur, bahkan sudah ada perda yang memperjelas indikator dan sektor bantuannya,” jelasnya.

Namun, menurut Dadang, implementasi Perda CSR di Kotim tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga tujuan utama CSR untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak tercapai secara optimal.

“Di atas kertas ada, di perda ada, tapi tidak jalan. Itu persoalannya,” tegasnya.

Salah satu faktor utama mandeknya pelaksanaan CSR, lanjut Dadang, adalah tidak berfungsinya Forum CSR yang seharusnya menjadi wadah koordinasi antara perusahaan, pemerintah daerah, dan masyarakat.

“Forum CSR kita itu tidak jalan. Padahal forum ini penting untuk memastikan CSR tepat sasaran, khususnya di sektor-sektor krusial seperti kesehatan,” katanya.

Ia mengakui, ada sejumlah perusahaan yang telah memberikan kontribusi nyata, seperti perbaikan jalan, bantuan sarana pendidikan, serta dukungan terhadap kegiatan keagamaan.

“Kalau itu jelas dan kelihatan, kita apresiasi. Ada perusahaan yang memang membantu,” ujarnya.

Namun demikian, Dadang menyoroti adanya ketimpangan kontribusi antarperusahaan, di mana hanya segelintir perusahaan yang aktif menjalankan CSR, sementara perusahaan lain di wilayah sekitar justru pasif.

“Ada perusahaan perkebunan yang wilayahnya mencakup sampai sembilan desa dan dia terus membantu. Tapi perusahaan-perusahaan di sekitarnya diam, tidak melakukan hal yang sama,” ungkapnya.

Kondisi tersebut, menurutnya, menimbulkan kecemburuan sosial dan memperkuat kesan bahwa keberadaan perusahaan tidak memberikan dampak signifikan bagi masyarakat sekitar.

Dadang menegaskan, Perda CSR sebenarnya telah mengatur sanksi bagi perusahaan yang tidak patuh terhadap kewajiban sosialnya.

“Dalam perda ada sanksi. Bahkan bisa sampai pada penahanan layanan publik, termasuk izin-izin perusahaan, jika mereka tidak melaksanakan CSR,” jelasnya.

Selain itu, kepatuhan terhadap CSR juga menjadi syarat dalam sertifikasi ISPO dan RSPO, yang mengharuskan perusahaan patuh terhadap seluruh peraturan perundang-undangan.

“Patuh terhadap aturan itu syarat utama. Kalau tidak patuh, sertifikasi juga bisa bermasalah,” tambahnya.

Ia juga menyoroti keluhan masyarakat desa yang bertetangga langsung dengan perusahaan, namun merasa tidak mendapatkan manfaat yang sebanding dari aktivitas usaha tersebut.

“Daerah-daerah yang berdampingan dengan perusahaan seolah tidak merasakan dampak positif, karena semuanya jalan sendiri-sendiri,” katanya.

Dadang menekankan pentingnya sinkronisasi program CSR dengan program pemerintah daerah agar tidak terjadi tumpang tindih pembangunan.

“Jangan sampai perusahaan bangun jalan A, desa bangun jalan A, dan pemerintah daerah juga bangun jalan A. Itu tumpang tindih dan rawan pemborosan,” tegasnya.

Menurutnya, Forum CSR seharusnya menjadi alat untuk memetakan dan mengarahkan program CSR agar selaras dengan kebutuhan masyarakat dan kebijakan pemerintah.

Di akhir pernyataannya, Dadang juga mengkritik fungsi pengawasan DPRD yang dinilai belum maksimal dalam mengawal pelaksanaan Perda CSR.

“Dewan juga harus jujur, fungsi pengawasan belum maksimal. Ke depan, perda ini harus kita tagih, kenapa tidak jalan, apa yang perlu dievaluasi,” pungkasnya. 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.