Menelusuri Jejak Eksekusi Lahan Dusun Kebun Cengkeh: Sengketa Keluarga Ancam Nasib Puluhan Warga
December 31, 2025 03:52 PM

Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Jenderal Louis

AMBON, TRIBUNAMBON.COM - Setiap pagi di Dusun Perusah atau Kebun Cengkeh, Negeri Amahusu, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, puluhan keluarga membuka pintu rumah dengan perasaan yang sama: cemas. 

Di tanah yang telah mereka tempati sejak puluhan tahun lalu, bahkan sejak 1958. Kini terbayang satu kemungkinan pahit: rumah mereka bisa diratakan atas nama eksekusi pengadilan.

Sebanyak 21 rumah warga berada di ujung tanduk. Surat anmaning dari Pengadilan Negeri Ambon datang tanpa pernah mereka duga. 

Sebagian warga bahkan baru membangun dan menempati rumahnya pada 2023, setelah membeli secara sah dengan sertipikat tanah yang diterbitkan negara. 

Kini, sertipikat itu terasa seperti kertas tanpa makna di hadapan ancaman penggusuran.

Di atas lahan lebih dari 4 hektare, yang secara administratif berada di RT 1 RW 2 dan RT 3 RW 2 Negeri Amahusu, berdiri sekitar 46 rumah, satu pabrik, satu gedung kerohanian, dan satu kantor Balai BKKBN. 

TOLAK EKSEKUSI - Tampak dari udara pemukiman warga Dusun Kebun Cengkeh, Negeri Amahusu, Kecamatan Nusaniwe, Sejumlah puluhan rumah di area itu terancam dieksekusi.
TOLAK EKSEKUSI - Tampak dari udara pemukiman warga Dusun Kebun Cengkeh, Negeri Amahusu, Kecamatan Nusaniwe. Puluhan rumah di area itu terancam dieksekusi. (TribunAmbon.com/Jenderal Louis MR)

Pemukiman ini dihuni lebih dari 50 kepala keluarga, namun ada 21 rumah yang masuk dalam daftar rencana eksekusi.

Meski sebagian pemilik menyatakan rumah mereka tidak termasuk objek putusan dan bahkan berada di dusun lain, yakni Dusun Pusaka Westopong.

Dua Kali Aksi Penolakan Digelar di Pengadilan Negeri Ambon

AKSI DEMO - Belasan aktivis yang tergabung dalam Garda NKRI menggelar aksi demonstrasi di depan Pengadilan Negeri (PN) Ambon, Rabu (3/12/2025). Aksi ini sebagai bentuk protes terhadap rencana eksekusi puluhan rumah di Dusun Kebun Cengkeh, Negeri Amahusu yang dianggap merugikan warga.
AKSI DEMO - Belasan aktivis yang tergabung dalam Garda NKRI menggelar aksi demonstrasi di depan Pengadilan Negeri (PN) Ambon, Rabu (3/12/2025). Aksi ini sebagai bentuk protes terhadap rencana eksekusi puluhan rumah di Dusun Kebun Cengkeh, Negeri Amahusu yang dianggap merugikan warga. (TribunAmbon.com/Jenderal Louis MR)

Aksi puluhan mahasiswa dari Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) dan Pemuda Muslim Indonesia (PMI) Provinsi Maluku di Pengadilan Negeri Ambon pada 24 November 2025 menjadi pembuka tabir persoalan ini.

Dipimpin oleh koordinator lapangan Karim Tamarele, mereka menuntut Ketua PN Ambon, Nova Loura Sasube, untuk:

Menghentikan Total Eksekusi: Mendesak pembatalan proses eksekusi yang didasarkan pada surat yang diduga cacat hukum.

Audit Internal: Melakukan pemeriksaan terhadap Plt. Panitera atas penerbitan administrasi yang dinilai bermasalah.

Transparansi Publik: Menjelaskan dasar hukum dan urgensi penerbitan surat eksekusi tersebut.

Meskipun sempat dihalangi oleh aparat keamanan, tidak menyurutkan semangat massa menyuarakan tuntutan agar keadilan ditegakkan.

Dalam aksi itu mereka membentangkan sejumlah poster.

Salah satunya tertulis "Mendesak MA dan Kepala Pengadilan Negeri Ambon Segera Mencopot Panitera dari Jabatannya ".

Pasalnya, ada dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Plt. Panitera PN Ambon, Yenddy P. Tehusalawany.

Massa menilai Yenddy menginisiasi proses eksekusi tanpa dasar hukum dan prosedur yang patut.

Mahasiswa menolak keras rencana eksekusi yang dijadwalkan pada 25 November 2025 tersebut.

Mereka menilai rencana eksekusi tidak memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata sehingga berpotensi melanggar hukum.

Dalam aksinya, massa mahasiswa menyampaikan tuntutan tegas kepada Ketua PN Ambon, Nova Loura Sasube, untuk bertanggung jawab penuh atas dugaan malpraktik di institusinya.

Tak berselang lama, giliran belasan aktivis Garda NKRI yang menggelar aksi demonstrasi di depan Pengadilan Negeri (PN) Ambon, Rabu (3/12/2025).

Aksi yang dimulai sejak pukul 14.15 WIT ini menjadi bentuk protes keras terhadap rencana eksekusi puluhan rumah di Dusun Kebun Cengkeh yang dianggap merugikan warga. 

Massa aksi membawa sejumlah poster, salah satunya bertuliskan: "Demi Uang Oknum Hakim Pengadilan Negeri Ambon Kehilangan Integritas".

Koordinator Lapangan (Korlap) aksi, Farhan Tukmuli, menegaskan bahwa tujuan utama aksi ini adalah menuntut transparansi dan itikad baik dari pihak PN Ambon atas surat keputusan eksekusi lahan di Negeri Amahusu.

"Hadirnya kami di sini untuk menuntut pihak Pengadilan Negeri Ambon atas transparansi dan itikad baiknya atas surat keputusan yang kemudian dikeluarkan untuk mengeksekusikan Negeri Amahusu terkait sengketa tanah," ujar Farhan kepada TribunAmbon.com, Rabu (3/12/2025).

Sejarah Lahan: Pembagian Keluarga Sejak 1966

Ketua RT 1 RW 2, Yunus Waas (57), yang juga rumahnya masuk dalam daftar eksekusi, menjelaskan bahwa persoalan lahan ini berakar dari sejarah keluarga besar Waas. 

Yunus merupakan anak dari Salmon Waas dan cucu dari almarhum Yunus Waas, kakak dari almarhum Lambert Waas.

Menurut Yunus, moyangnya, Philip Waas, membagi lahan kepada dua anaknya, yakni Yunus Waas (alm.) dan Lambert Waas (alm.).

Pembagian itu dilakukan pada tahun 1966 dan masing-masing pihak menempati bagian yang telah disepakati.

“Masalah baru muncul tahun 1981, saat kakek saya Yunus Waas yang juga kepala pusaka menghibahkan tanah bagiannya kepada anaknya, Salmon Waas, ayah saya,” ujar Yunus saat ditemui TribunAmbon.com di kediamannya di Dusun Kebun Cengkeh, Negeri Amahusu, Rabu (17/12/2025).

Hibah tersebut kemudian dipersoalkan oleh pihak Lambert Waas dan berujung pada gugatan di Pengadilan Negeri Ambon pada tahun 1984. 

Dalam putusan tahun 1985, kata Yunus, hakim memutuskan agar kepemilikan dikembalikan sesuai pembagian tahun 1966, setelah meninjau langsung objek perkara. 

Putusan itu kemudian dikuatkan hingga tingkat kasasi pada 1990.

“Setelah putusan itu, masing-masing pihak menempati bagiannya. Bahkan dugaan saya, bagian Lambert Waas sudah dijual habis oleh ahli warisnya. Di atas lahan yang dijual itu sekarang berdiri 34 rumah, satu pabrik, dan satu gedung kerohanian,” jelasnya.

Puluhan tahun berlalu tanpa konflik berarti. Namun awal 2025, warga dikejutkan dengan surat anmaning atau peringatan eksekusi dari Pengadilan Negeri Ambon. 

Dalam peninjauan lokasi pada Maret 2025, Yunus mengklaim batas-batas yang ditunjukkan pemohon eksekusi tidak sesuai dengan dasar putusan tahun 1985.

“Waktu kami terima surat eksekusi, kami marah. Tanah ini pemberian moyang kami untuk dijaga dan ditempati. Sampai mereka mau eksekusi, kami akan bertahan dan melawan sampai titik darah penghabisan,” tegas Yunus.

KELUARGA WAAS - Ketua RT 1 RW 2, Yunus Waas (57), yang juga rumahnya masuk dalam daftar eksekusi, saat diwawancarai TribunAmbon.com, Rabu (17/12/2025). Yunus merupakan anak dari Salmon Waas dan cucu dari almarhum Yunus Waas, kakak dari almarhum Lambert Waas.
KELUARGA WAAS - Ketua RT 1 RW 2, Yunus Waas (57), yang juga rumahnya masuk dalam daftar eksekusi, saat diwawancarai TribunAmbon.com, Rabu (17/12/2025). Yunus merupakan anak dari Salmon Waas dan cucu dari almarhum Yunus Waas, kakak dari almarhum Lambert Waas. (TribunAmbon.com/ Maula/Jenderal Louis MR)

Warga Pembeli Rumah Merasa Jadi Korban

Kegelisahan serupa dirasakan Reymond Nahumury (50), seorang karyawan swasta yang membeli rumah dan lahan di kawasan tersebut senilai Rp 550 juta pada Oktober 2022. 

Ia mulai menempati rumah itu bersama keluarganya pada awal 2023, setelah memastikan sertipikat tanah telah terbit dan sah.

“Saya kaget sekali tahun 2025 ini tiba-tiba dapat surat eksekusi. Kami sekeluarga panik, bingung ini masalah apa,” kata Reymond kepada TribunAmbon.com, Rabu (17/12/2025).

Ia mengaku telah menanyakan persoalan tersebut kepada penjual rumah sebelumnya, Nanda Silooy, yang menyatakan tidak ada masalah saat transaksi dilakukan. 

Reymond pun merasa terpukul karena rumah tersebut merupakan satu-satunya tempat tinggal keluarganya.

“Kalau tanah ini bermasalah, kenapa sertipikat bisa terbit? Seolah-olah sertipikat yang disahkan negara ini tidak ada gunanya,” ujarnya dengan nada kecewa.

Menurut Reymond, ancaman eksekusi membuat keluarganya hidup dalam ketakutan, bahkan melewati Natal dan Tahun Baru dengan perasaan waswas. 

“Saya kerja, kumpul uang, menabung baru bisa beli rumah. Kalau dieksekusi, kami mau tinggal di mana?” tambahnya.

WARGA TERDAMPAK - Salah seorang warga Dusun Kebun Cengkeh, Reymond Nahumury (50) saat diwawancarai TribunAmbon.com, Rabu (17/12/2025). Ia mengaku heran rumahnya masuk dalam target eksekusi padahal ia telah membeli lahan beserta rumahnya itu dan bahkan memiliki sertipikat tanah
WARGA TERDAMPAK - Salah seorang warga Dusun Kebun Cengkeh, Reymond Nahumury (50) saat diwawancarai TribunAmbon.com, Rabu (17/12/2025). Ia mengaku heran rumahnya masuk dalam target eksekusi padahal ia telah membeli lahan beserta rumahnya itu dan bahkan memiliki sertipikat tanah (TribunAmbon.com/Jenderal Louis MR)

Klaim Salah Objek: Dusun Westopong Ikut Terseret

Jhon Brain Palty Matitaputty (37), pemilik rumah lain yang terancam eksekusi, menegaskan bahwa lahannya berada di Dusun Pusaka Westopong, bukan Dusun Kebun Cengkeh. 

Ia mengaku menguasai lahan tersebut sejak 1979, dengan sertipikat terbit pada 1983.

“Dari 21 rumah, ada sekitar 8 rumah yang sebenarnya di luar objek putusan. Kami tidak pernah tahu-menahu soal sengketa keluarga Waas, tapi tiba-tiba dapat surat eksekusi,” ujarnya saat diwawancarai TribunAmbon.com, Rabu (17/12/2025).

Jhon meminta keadilan dari Pengadilan Negeri Ambon dan berharap pemerintah negeri, khususnya Raja Amahusu, dapat menunjukkan batas-batas resmi antar dusun agar tidak terjadi kekeliruan fatal.

“Kalau rumah kami dieksekusi, kami pasti melawan. Bangun rumah ini tidak gampang,” tegasnya.

WARGA TERDAMPAK - Jhon Brain Palty Matitaputty (37), pemilik rumah lain yang terancam eksekusi. Saat diwawancarai TribunAmbon.com, Rabu (17/12/2025), ia menegaskan bahwa lahannya berada di Dusun Pusaka Westopong, bukan Dusun Kebun Cengkeh. Ia mengaku menguasai lahan tersebut sejak 1979, dengan sertipikat terbit pada 1983.
WARGA TERDAMPAK - Jhon Brain Palty Matitaputty (37), pemilik rumah lain yang terancam eksekusi. Saat diwawancarai TribunAmbon.com, Rabu (17/12/2025), ia menegaskan bahwa lahannya berada di Dusun Pusaka Westopong, bukan Dusun Kebun Cengkeh. Ia mengaku menguasai lahan tersebut sejak 1979, dengan sertipikat terbit pada 1983. (TribunAmbon.com/Jenderal Louis MR)

Suara Keluarga Besar: “Ini Menyakiti Hati Gandong”

Hans Mainake (61), cucu dari almarhum Elizabeth Waas—saudari Yunus dan Lambert Waas—menyatakan bahwa pembagian lahan tahun 1966 telah dilakukan secara adil dan disaksikan pemerintah Negeri Amahusu.

SUARA KELUARGA - Hans Mainake (61), cucu dari almarhum Elizabeth Waas—saudari Yunus dan Lambert Waas. Kepada TribunAmbon.com, Rabu (17/12/2025), Hans menyatakan bahwa pembagian lahan tahun 1966 telah dilakukan secara adil dan disaksikan pemerintah Negeri Amahusu.
SUARA KELUARGA - Hans Mainake (61), cucu dari almarhum Elizabeth Waas—saudari Yunus dan Lambert Waas. Kepada TribunAmbon.com, Rabu (17/12/2025), Hans menyatakan bahwa pembagian lahan tahun 1966 telah dilakukan secara adil dan disaksikan pemerintah Negeri Amahusu. (TribunAmbon.com/Jenderal Louis MR)

“Selama ini mereka hidup berdampingan dengan aman. Melihat sekarang mau ada eksekusi rumah, saya sangat sedih. Ini seperti lelucon, karena mereka semua ini satu darah, satu gandong,” ungkap Hans saat ditemui TribunAmbon.com, Rabu (17/12/2025).

Ia juga menyesalkan jika rumah-rumah yang berada di Dusun Westopong ikut dieksekusi, padahal menurut pengetahuannya, daftar rumah yang terancam justru berada di bagian milik Yunus Waas.

“Eksekusi ini menyakiti hati kami, bahkan menyakiti hati Tuhan. Ini tidak bijak dan tidak boleh terjadi,” katanya.

Sikap Pemerintah Negeri Amahusu

Raja Negeri Amahusu, Mezaac Maurits Silooy, menegaskan bahwa sebagai pemerintah negeri, pihaknya wajib menghormati dan mengamankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).

“Kami tidak bisa mengubah atau menunda putusan pengadilan. Yang bisa kami lakukan adalah mengamankan dan memediasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” ujarnya.

Ia mengaku telah memfasilitasi mediasi antara pihak-pihak terkait demi mencari solusi kekeluargaan, mengingat jumlah rumah yang terancam mencapai 21 uni.

Jumlah yang dinilainya sangat besar dan berpotensi mengganggu kamtibmas.

Terkait klaim bahwa sebagian rumah berada di Dusun Westopong, Raja Amahusu menyatakan pemerintah negeri belum bisa memberikan tanggapan substansial karena persoalan tersebut berada dalam ranah hukum dan pengadilan.

PEMERINTAH NEGERI - Raja Negeri Amahusu, Mezaac Maurits Silooy saat diwawancarai TribunAmbon.com di ruang kerjanya di jalan Amanhuse, Negeri Amahusu, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Senin (22/12/2025).
PEMERINTAH NEGERI - Raja Negeri Amahusu, Mezaac Maurits Silooy saat diwawancarai TribunAmbon.com di ruang kerjanya di jalan Amanhuse, Negeri Amahusu, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Senin (22/12/2025). (TribunAmbon.com/Jenderal Louis MR)

Raja Negeri Amahusu: Putusan Inkrah Harus Dipatuhi, Tapi 21 Rumah Sangat Sensitif

Raja Negeri Amahusu, Mezaac Maurits Silooy, menegaskan bahwa sebagai kepala pemerintahan negeri, dirinya wajib menghormati dan mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).

“Saya sebagai pemerintah Negeri Amahusu harus menerima apapun keputusan Pengadilan Negeri Ambon. Keputusan yang sudah inkrah itu tidak bisa diubah, tidak bisa ditunda. Tugas kami hanya mengamankan,” tegas Mezaac saat ditemui TribunAmbon.com, Senin (22/12/2025).

Meski demikian, ia mengakui bahwa rencana eksekusi terhadap 21 rumah merupakan persoalan yang sangat besar dan sensitif, baik secara sosial maupun keamanan.

“Ini 21 rumah, jumlah yang sangat besar. Mungkin baru pertama kali terjadi di Kota Ambon. Karena itu saya merasa berkewajiban untuk mengundang semua pihak dan memediasi masalah tersebut,” ujarnya.

Mezaac menyebut pihaknya telah memfasilitasi pertemuan mediasi antara pihak yang akan dieksekusi dan pihak pemohon, demi mencegah konflik terbuka.

“Tujuannya sederhana, mari duduk dan berbicara baik-baik supaya ada jalan keluar. Ini warga saya sendiri, bukan orang luar. Mereka sudah tinggal turun-temurun,” katanya.

Ia juga menyoroti aspek kamtibmas, mengingat tekanan psikologis warga yang rumahnya terancam digusur.

“Kalau orang dieksekusi, secara psikologis pasti terbeban. Ini berpengaruh langsung ke kamtibmas. Karena itu kami sangat berhitung agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” jelasnya.

Terkait klaim bahwa sebagian rumah berada di Dusun Westopong, Mezaac mengaku pemerintah negeri belum dapat masuk terlalu jauh.

“Kalau sudah menyangkut objek putusan dan keberatan hukum, itu ranah pengadilan. Pemerintah negeri tidak bisa melangkah sampai ke sana,” ujarnya.

Pengadilan Negeri Ambon: Eksekusi Belum Batal, Masih Proses dan Bisa Berubah

Juru Bicara Pengadilan Negeri Ambon, Yefri Bimusu, saat ditemui TribunAmbon.com di ruang tamu PN Ambon, Senin (22/12/2025), menegaskan bahwa hingga kini eksekusi belum dilaksanakan dan masih berada dalam tahapan proses hukum.

“Eksekusi itu ada tahapannya. Mulai dari permohonan, pemanggilan, anmaning, konstatering, sampai penetapan oleh Ketua Pengadilan. Saat ini masih proses,” jelas Yefri.

Ia membenarkan adanya penolakan dari pihak yang mengatasnamakan termohon, serta aksi tandingan dari pihak pemohon yang mendesak eksekusi tetap dilakukan.

“Ada yang menyatakan beberapa rumah tidak masuk objek eksekusi, sekitar delapan rumah menurut versi mereka,” katanya.

PENEGAK HUKUM - Juru Bicara Pengadilan Negeri Ambon, Yefri Bimusu, usai diwawancarai TribunAmbon.com di Lobi Kantor PN Ambon, Senin (22/12/2025).
PENEGAK HUKUM - Juru Bicara Pengadilan Negeri Ambon, Yefri Bimusu, usai diwawancarai TribunAmbon.com di Lobi Kantor PN Ambon, Senin (22/12/2025). (TribunAmbon.com/Jenderal Louis MR)

Namun Yefri menegaskan bahwa secara hukum, keberatan pihak ketiga tidak otomatis menghentikan eksekusi.

“Proses ini bisa saja dihentikan atau dilanjutkan. Itu kewenangan Ketua Pengadilan Negeri. Kami sebagai jubir hanya menyampaikan bahwa ini belum batal, tapi ditunda,” ujarnya.

Ia juga menepis dugaan adanya permainan terkait pelaksana tugas panitera.

“PLH panitera itu bagian dari administrasi karena saat itu panitera definitif kosong. Sekarang panitera sudah terisi. Mutasi itu hal biasa, tidak ada kaitannya dengan perkara,” tegasnya.

Terkait isi dan pertimbangan putusan, Yefri menegaskan pihaknya dilarang mengomentari.

“Putusan sudah inkrah. Kalau ada perintah ‘makan bersama’ atau damai, itu dikembalikan ke para pihak. Jika mereka sepakat damai, itu bisa disebut eksekusi damai,” ujarnya.

Kuasa Hukum: Objek Kabur, Ketua PN Seharusnya Tetapkan Non-Eksekutabel

Kuasa hukum 20 termohon eksekusi (21 rumah), Bryan Kariuw, menyebut rencana eksekusi ini penuh anomali hukum dan berpotensi mencederai asas kepastian hukum.

“Saya menerima kuasa tanggal 24 November 2025. Setelah memeriksa dokumen dan mendengar langsung cerita warga, saya tergerak mengambil langkah hukum,” ujar Bryan saat diwawancarai TribunAmbon.com, Senin (22/12/2025).

Ia mengacu pada Putusan PN Ambon Nomor 177 Tahun 1984, yang dalam amar putusannya secara tegas menyatakan objek lahan di Dusun Kebun Cengkeh dikembalikan sesuai pembagian tahun 1966.

“Masalahnya, saat konstatering, batas-batas yang ditunjukkan berbeda dengan batas dalam putusan. Ini membuat objek menjadi kabur,” tegasnya.

Menurut Bryan, akibat perbedaan batas tersebut, sekitar 8 rumah di Dusun Pusaka Westopong seolah-olah dipaksakan masuk dalam objek eksekusi Dusun Kebun Cengkeh.

“Dalam putusan halaman tiga, nama-nama itu jelas berada di Dusun Westopong. Tapi saat penetapan eksekusi, tiba-tiba dianggap berada di Kebun Cengkeh,” katanya.

Amahusu 9
EKSEKUSI LAHAN - Kuasa hukum 20 termohon eksekusi (21 rumah), Bryan Kariuw, menyebut rencana eksekusi ini penuh anomali hukum dan berpotensi mencederai asas kepastian hukum.

Ia juga mempertanyakan eksekusi terhadap warga yang tidak pernah menjadi pihak dalam gugatan.

“Orang yang tidak berperkara, tidak pernah digugat, bagaimana bisa dipaksa tunduk pada putusan itu? Ini pelanggaran prinsip dasar hukum perdata,” tegas Bryan.

Menurutnya, jika objek eksekusi tidak jelas, Ketua Pengadilan Negeri Ambon wajib mengeluarkan penetapan non-eksekutabel.

“Pengadilan tidak boleh mengeksekusi putusan yang kurang atau lebih dari amar. Tapi justru di sini penetapan eksekusi terkesan tergesa-gesa,” ujarnya.

Bryan mengaku telah menyurati Ketua PN Ambon, Pengadilan Tinggi Maluku, hingga melaporkan dugaan anomali ini ke Bawas Mahkamah Agung RI.

“Kami akan mengajukan gugatan perlawanan. Ini bukan sekadar soal tanah, tapi soal kepastian hukum dan keadilan bagi warga Negeri Amahusu,” pungkasnya.

Berkaitan dengan masalah ini, TribunAmbon.com telah berupaya mengkonfirmasi pihak pemohon, Joshepus Nicodemus Waas sejak 22 November 2025.

Hingga kini, warga Dusun Kebun Cengkeh dan sekitarnya masih hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian.

Mereka berharap proses hukum dapat memberikan keadilan tanpa harus mengorbankan rumah dan kehidupan puluhan keluarga yang telah menetap selama puluhan tahun. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.