TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA — Industri Hotel, Restaurant, dan Cafe (Horeca) di Bali terus menunjukkan perannya sebagai motor penggerak praktik pariwisata berkelanjutan.
Sepanjang tahun 2025, sebanyak 16 HORECA di Bali mulai beralih menggunakan telur cage-free sebagai bagian dari komitmen terhadap perlindungan dan kesejahteraan hewan, kualitas pangan, dan tanggung jawab sosial dalam rantai pasok.
Dalam lingkup seluruh Asia, perusahaan-perusahaan kini mulai menanggapi tuntutan konsumen akan kebutuhan konsumsi yang lebih terjamin dan lebih berkesadaran akan isu-isu kesejahteraan hewan.
Kemajuan implementasi perusahaan untuk bertransisi seluruhnya ke cage-free mencapai angka 70,5 persen laporan kemajuan, yang tidak jauh berbeda dari angka tahun lalu yaitu sebesar 69,8 persen laporan.
Baca juga: NYEPI & Kajiannya Berdasarkan Tattwa Oleh Ida Pedanda Gede Putra Batuaji, Kaitan Tilem Kasanga
Baca juga: POLEMIK Nyepi di Tilem Kasanga, Padahal Itu Hari Nyomia Bhuta Kala, Ari Dwipayana Jangan Grasa-Grusu
Transisi menuju telur cage-free mencerminkan perubahan pendekatan dalam industri makanan dan minuman, di mana pertimbangan etika dan keberlanjutan kini menjadi bagian penting dari pengambilan keputusan bisnis.
Telur cage-free berasal dari sistem peternakan yang tidak menggunakan kandang baterai, memungkinkan ayam petelur bergerak lebih bebas dan mengekspresikan perilaku alaminya, seperti bertengger dan bertelur di sarang.
Langkah ini selaras dengan perkembangan standar global di sektor pariwisata dan perhotelan, di mana kebijakan responsible sourcing dan animal welfare semakin menjadi tolok ukur kredibilitas dan integritas sebuah brand, khususnya bagi jaringan hotel internasional dan destinasi wisata seperti Bali.
“Bagi Begawan Biji, penggunaan telur cage-free adalah langkah nyata untuk membangun sistem pangan yang lebih etis, transparan, dan berkelanjutan di industri HORECA terutama di Bali,” ujar Chef Andrew, selaku perwakilan dari salah satu Horeca di Bali, Selasa 30 Desember 2025.
Selain aspek etika, pelaku industri juga menilai bahwa penggunaan telur cage-free berkontribusi terhadap kualitas bahan pangan yang lebih baik, sekaligus meningkatkan kepercayaan konsumen yang semakin sadar akan asal-usul makanan yang mereka konsumsi.
Wisatawan domestik maupun internasional kini semakin memperhatikan isu keberlanjutan, termasuk bagaimana makanan yang disajikan diproduksi. Peningkatan permintaan telur cage-free dari sektor Horeca turut memberikan dampak pada rantai pasok pangan di Bali.
Di satu sisi, kebutuhan akan telur cage-free terus meningkat seiring dengan bertambahnya pelaku usaha yang berkomitmen melakukan transisi. Di sisi lain, ketersediaan pasokan lokal dari peternak ayam petelur dengan sistem cage-free masih terbatas.
Kondisi ini menghadirkan tantangan sekaligus peluang. Bagi peternak lokal, meningkatnya permintaan dari sektor Horeca membuka ruang untuk mengembangkan sistem peternakan yang lebih beretika dan berkelanjutan.
Sementara bagi industri pariwisata, situasi ini menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor; antara pelaku usaha, peternak, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat sipil untuk membangun rantai pasok yang kuat dan bertanggung jawab.
“Transisi Begawan Biji ke penggunaan telur cage-free didorong oleh komitmen kami terhadap praktik organik dan berkelanjutan, bukan semata sebagai strategi pemasaran,” imbuh Chef Andrew.
Ia menambahkan sebagai bagian dari konsep farm-to-table, kami merasa penting untuk konsisten dari hulu ke hilir.
“Proses ini kami jalankan secara bertahap dan bertanggung jawab, dengan memastikan kesejahteraan hewan, kesehatan lingkungan, dan kualitas pangan tetap terjaga,” imbuhnya.
Dengan semakin banyaknya pelaku Horeca yang mengambil langkah konkret, diharapkan praktik ini dapat menjadi contoh baik (best practice) bagi industri pariwisata di daerah lain di Indonesia.
Lebih jauh, transisi ini juga diharapkan dapat mendorong perubahan sistemik dalam industri peternakan ayam petelur nasional, menuju standar kesejahteraan hewan yang lebih baik.
“Kami melihat transisi menuju komitmen cage-free sebagai langkah strategis yang akan mendefinisikan masa depan industri Horeca. Ini bukan sekadar memenuhi tuntutan pasar, tetapi sebuah transformasi mendasar yang mencerminkan tanggung jawab etis dan keberlanjutan,” kata Direktur Animals Don’t Speak Human, Fiolita Berandhini.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa pihaknya berkomitmen untuk mendampingi proses ini melalui edukasi, advokasi kebijakan, dan penguatan kolaborasi lintas sektor.
“Peran kami adalah memastikan transisi berjalan nyata, terukur, dan berkelanjutan, sehingga kesejahteraan hewan menjadi bagian integral dari praktik bisnis yang mendukung pariwisata dan kuliner yang lebih bertanggung jawab,” ucapnya.
Sepanjang 2025 dan seterusnya, sektor Horeca di Bali diharapkan terus memperkuat komitmennya terhadap penggunaan telur cage-free secara konsisten dan transparan.
Edukasi kepada konsumen, keterbukaan informasi mengenai rantai pasok, serta dukungan terhadap peternak lokal menjadi kunci agar transisi ini memberikan dampak yang nyata dan berkelanjutan.
Melalui langkah-langkah ini, Bali kembali menegaskan posisinya sebagai destinasi pariwisata yang tidak hanya unggul secara ekonomi, tetapi juga menjunjung tinggi nilai etika, keberlanjutan, dan tanggung jawab terhadap makhluk hidup dan lingkungan.(*)