NYEPI & Kajiannya Berdasarkan Tattwa Oleh Ida Pedanda Gede Putra Batuaji, Kaitan Tilem Kasanga
December 31, 2025 07:03 PM

TRIBUN-BALI.COM - Polemik Nyepi pas Tilem Kesanga, atau awal Sasih Kadasa menjadi perbincangan hangat kali ini. Namun bagaimana jika ditelaah berdasarkan sastra. 

Berikut dijelaskan oleh Manggala Sabha Wiku Kabupaten Klungkung, Ida Pedanda Gede Putra Batuaji, dalam tulisan ringkasnya ihwal Nyepi. 

Dijelaskan bahwa Tri Pramana sebagai alat uji kebenaran Tattwa dalam Hindu, terdiri dari 3 bagian yaitu Pratyaksa Pramana, atau kebenaran empiris dari apa yang dialami dan diamati. 

Anumana Pramana, yaitu kebenaran rasional - logis. Kemudian Agama Pramana, kebenaran wahyu atau sastra suci. "Suatu ajaran disebut supremasi Tattwa bila selaras pada ketiga pramana tersebut," sebut beliau.

Jika dibedah, Pratyaksa Pramana adalah hal empiris dan kosmologis, seperti fakta alam yang dapat diamati
secara nyata. Tilem adalah puncak kegelapan bulan, energi pralina (pelebur) sangat kuat.

Sehingga secara psikologis dan biologis, manusia saat Tilem mudah gelisah,  batin tidak stabil,  emosi lebih reaktif. "Fakta empiris ini tidak cocok dengan hakikat Yoga Brata Penyepian yang menuntut kejernihan citta, keseimbangan sattwa,  pengendalian indria," jelas beliau.

Baca juga: POLEMIK Nyepi di Tilem Kasanga, Padahal Itu Hari Nyomia Bhuta Kala, Ari Dwipayana Jangan Grasa-Grusu

Baca juga: BMKG Sampaikan Peringatan Dini Pasang Maksimum Air Laut di Pesisir Bali Hingga 6 Januari 2026 

Polemik Nyepi di Bali (Istimewa)


Namun sebaliknya, kata beliau,  kondisi Tilem sangat relevan untuk Bhūta Yadnya (Tawur), karena bhuta kala tidak dihindari, tetapi dinetralkan. Sejak 1953 hingga kini Tawur dilaksanakan pada Tilem, Nyepi pada penanggal apisan dan tidak menimbulkan kerusakan tatanan kosmis maupun sosial.

"Ini memperkuat bahwa praktik tersebut terbukti bekerja secara nyata," sebut beliau. Sehingga kesimpulan jika sesuai dengan Pratyaksa Pramana, maka Tawur Tilem dan Nyepi apisan sesuai dengan realitas alam dan pengalaman umat.

Lalu berdasarkan Anumana Pramana, logika dan rasionalitas Tattwa, logika struktur yadnya dan brata
secara rasional. Tawur adalah aktivitas ritual aktif, bersifat eksternal. Nyepi adalah yoga brata pasif, bersifat internal.

Jika keduanya dilakukan bersamaan maka terjadi kontradiksi fungsi, aktivitas bhūta yadnya merusak konsentrasi yoga brata.  "Maka logika menuntut Tawur lebih dahulu (menutup tahun lama), baru Nyepi sesudahnya (membuka tahun baru)," jelas beliau.

Logika kosmologis waktu, Tilem adalah akhir siklus bulan (penutupan), penanggal apisan sama dengan awal siklus baru (pembukaan). Maka sangat logis bila Tilem untuk mempralina (Tawur). Setelah itu baru Nyepi (utpatti). Menempatkan Tawur pada Tilem dan Nyepi pada penanggal apisan adalah logis, sistemik, dan tidak kontradiktif.

Kemudian ada Agama Pramana, yaitu sastra dan Babon Tattwa. Seperti di Negarakertagama dan Agama Pramana Makro. Negarakertagama adalah sastra negara Majapahit, digunakan raja-raja sebagai pedoman dharma negara, mengatur tatanan jagat, moral, dan spiritual masyarakat.

Petikan “tanggal ning Cetra” menegaskan penanggal pisan sebagai hari refleksi moral, selaras dengan hakikat penyepian. Ini menjadi legitimasi sastra bahwa Nyepi sama dengan penanggal apisan. Kemudian Tawur mendahului sebagai penataan jagat.

"Raja Purana Besakih menegaskan tanggung jawab negara atas Bhūta Yadnya, legitimasi Tawur Jagat pada momentum kosmis (Tilem)," tegas beliau. Pada Sundarigama dan Swamandala, Palid sebagai wariga lokal, menuntun desa dan individu, tidak dimaksudkan menggantikan sastra negara.

Kesimpulan Āgama Negarakertagama, Raja Purana Besakih, dan Tattwa Yadnya secara sah mendukung Tawur Tilem dan Penyepian  penanggal apisan. Kesimpulan Tri Pramana, Pratyaksa selaras dengan alam, psikologi dan pengalaman umat. 

Anumana kaitan logis, tidak kontradiktif, sistemik. Āgama dengan didukung Negarakertagama & Raja Purana Besakih. Maka dapat ditegaskan penetapan Tawur pada Tilem dan Brata Penyepian pada Penanggal Apisan memenuhi Tri Pramana dan layak disebut sebagai supremasi tattwa.

“Berdasarkan Tri Pramana — Pratyaksa, Anumāna, dan Āgama—dengan rujukan Negarakertagama sebagai Babon Tattwa Majapahit, penempatan Tawur pada Tilem dan Brata Penyepian pada Penanggal Apisan adalah paling palid, logis, dan selaras dengan alam. Inilah bentuk supremasi tattwa, bukan sekadar tradisi,” sebutnya. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.