Pustral UGM: Lonjakan Mobilitas Nataru dan Mudik Tak Bisa Lagi Ditangani Secara Reaktif
December 31, 2025 07:14 PM

 

TRIBUNJOGJA.COM - Lonjakan mobilitas masyarakat pada masa libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) serta mudik Lebaran dinilai masih menjadi ujian serius bagi pemerintah dalam mengelola transportasi nasional. 

Tanpa perubahan strategi yang mendasar, kapasitas infrastruktur yang bersifat statis dikhawatirkan tidak mampu mengimbangi pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi yang terus meningkat setiap tahun.

Pakar Transportasi dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada, Dr. Ir. Dewanti, M.S., menilai pola penanganan mobilitas masyarakat pada periode puncak seperti Nataru 2025 masih terlalu mengandalkan pendekatan konvensional dan reaktif.

Menurut dia, langkah-langkah seperti pembukaan posko terpadu atau pemberian diskon tarif tol tidak lagi memadai untuk menjawab lonjakan permintaan perjalanan yang bersifat sesaat namun sangat tinggi.

“Penanganan mobilitas masyarakat yang berlibur di momen Nataru tidak bisa lagi hanya mengandalkan pola reaktif seperti pembukaan posko atau program diskon tarif tol. Pelaku perjalanan pada periode puncak menunjukkan permintaan sesaat yang sangat tinggi sehingga memicu overkapasitas sarana dan prasarana. Meski pemerintah telah berupaya melalui berbagai program keselamatan, permasalahan tersebut belum sepenuhnya terurai karena permintaan tetap terakumulasi pada waktu yang bersamaan,” kata Dewanti, Kamis (31/12/2025).

Strategi Transport Demand Management

Ia mendorong pemerintah untuk mulai mengoptimalkan penerapan strategi Transport Demand Management (TDM) sebagai upaya mengurangi penumpukan volume kendaraan. Strategi tersebut, menurut Dewanti, harus diarahkan pada pengendalian permintaan perjalanan, bukan sekadar penambahan kapasitas fisik jalan yang memiliki keterbatasan.

Pendekatan TDM antara lain dapat dilakukan melalui penerapan disinsentif bagi pengguna kendaraan pribadi, seperti pemberlakuan tarif tol dan parkir progresif di titik-titik rawan kemacetan. Selain itu, pengaturan waktu perjalanan juga perlu dilembagakan secara lebih sistematis, misalnya melalui skema cuti bersama yang terdistribusi atau penerapan jam kerja yang lebih fleksibel.

Dampak mudik gratis tidak signifikan 

Dalam konteks mudik Lebaran, Dewanti juga mengkritisi efektivitas program mudik gratis yang selama ini menjadi salah satu andalan pemerintah. Dengan kuota sekitar 33 ribu penumpang, program tersebut dinilai belum mampu memberikan dampak signifikan terhadap penurunan penggunaan kendaraan pribadi secara nasional.

“Dalam konteks ini, mudik gratis lebih berfungsi sebagai program simbolik dan bantuan sosial, bukan sebagai instrumen strategis travel demand management,” ujarnya.

Ia menambahkan, rendahnya minat masyarakat terhadap program mudik gratis di sejumlah wilayah tidak semata-mata disebabkan oleh keterbatasan kuota. Kondisi tersebut justru menunjukkan adanya persoalan mendasar pada desain program yang belum tepat sasaran.

“Rendahnya minat masyarakat terhadap mudik gratis di beberapa wilayah menunjukkan bahwa persoalan utama tidak terletak pada besaran kuota, melainkan pada desain dan metode pengadaannya,” tegas Dewanti.

Menurut dia, daya saing program mudik gratis masih kalah dibandingkan kendaraan pribadi karena sejumlah faktor krusial. Faktor tersebut meliputi ketidaksesuaian rute dengan pola asal–tujuan penumpang, jadwal keberangkatan yang kaku, serta minimnya integrasi dengan moda transportasi lanjutan. Selain itu, persepsi masyarakat terhadap kenyamanan layanan juga turut menjadi faktor yang membuat program ini kurang kompetitif.

Pengelolaan mobilitas di destinasi wisata

Lebih lanjut, Dewanti menyoroti tantangan pengelolaan mobilitas di destinasi wisata padat seperti Yogyakarta yang diprediksi akan menerima kunjungan sekitar 5,15 juta orang. Ia menekankan pentingnya sinkronisasi peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengendalikan arus lalu lintas selama periode puncak.

“Pengendalian lalu lintas daerah harus didukung oleh instrumen pusat, seperti pembatasan kendaraan pribadi berbasis waktu serta integrasi informasi perjalanan secara nasional. Sementara itu, pemerintah daerah berfokus pada manajemen pergerakan internal, termasuk pengaturan akses kawasan wisata, manajemen parkir, dan penguatan angkutan pengumpan seperti shuttle dan angkutan wisata,” jelasnya.

Dengan pembagian peran yang jelas dan sinkron, Dewanti menilai lonjakan wisatawan tidak hanya akan ditangani secara reaktif, tetapi dapat dikelola secara lebih terencana. Upaya tersebut diharapkan mampu menyebarkan beban infrastruktur secara ruang dan waktu, sehingga Yogyakarta tetap dapat berfungsi sebagai destinasi wisata tanpa mengalami kelumpuhan mobilitas.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.