TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Wali Kota Solo, Respati Ardi, mengimbau warga untuk tidak merayakan malam tahun baru secara berlebihan pada Rabu (31/12/2025).
Hal itu mengingat bencana yang tengah melanda Sumatera dan Aceh.
Pergantian tahun akan dikemas dalam konsep car free night (CFN) yang difokuskan sebagai momen refleksi dan empati.
Baca juga: 5 Rekomendasi Wisata di Boyolali Jawa Tengah, Cocok jadi Spot Menenangkan Diri Awal Tahun 2026
Meskipun tanpa kembang api, akan ada kejutan sebagai penanda pergantian tahun yang dikonsep sebagai "malam kepedulian".
Perayaan malam tahun baru hampir selalu identik dengan pertunjukan kembang api, baik di kota besar maupun daerah, sebagai penanda visual pergantian tahun.
Tradisi ini telah berlangsung lintas budaya dan zaman, meski tidak semua orang mengetahui asal-usulnya.
Melansir ABC News, kembang api awalnya tidak diciptakan sebagai hiburan, melainkan berkembang dari praktik dan ritual kuno.
Sejumlah sejarawan menyebut kembang api berasal dari Dinasti Han di Tiongkok (202 SM – 220 M).
Pada masa itu, masyarakat melemparkan batang bambu ke dalam api sehingga menghasilkan ledakan akibat tekanan udara di dalamnya.
Baca juga: Sejarah Tumpeng, Kuliner Khas Syukuran di Solo Raya, Dulu Simbol Memuliakan Gunung
Pendapat lain mengaitkan kembang api dengan Dinasti Song (960–1279 M), di mana petasan dibuat dari tabung kertas berisi bubuk mesiu dan sumbu, kemudian dirangkai dan dinyalakan bersama.
Kembang api digunakan dalam berbagai perayaan seperti pernikahan, kelahiran, dan ritual untuk mengusir roh jahat.
Kembang api mulai dikenal di Eropa pada abad ke-14 dan semakin populer pada abad ke-17.
Pada era Renaisans Italia (1340–1550), kembang api berkembang pesat berkat eksperimen para ahli piroteknik.
Variasi warna kembang api mulai dikembangkan seiring kemajuan teknik pencampuran bahan kimia.
Bahkan sekolah piroteknik dibuka untuk mengajarkan keterampilan pembuatan dan pertunjukan kembang api.
Di Amerika Serikat, para pemukim awal membawa tradisi kembang api ke Dunia Baru.
Baca juga: Asal-usul Nama Desa Pugeran di Klaten : Konon Dulu jadi Tempat Istirahat Raja Pakubuwono I
Kini, kembang api menjadi bagian dari perayaan Hari Kemerdekaan AS pada 4 Juli.
Seiring waktu, kembang api bergeser dari ritual perlindungan menjadi simbol perayaan dan hiburan publik.
Tidak ada jawaban tunggal mengenai hal ini.
Sejarawan menilai kembang api dipilih karena mampu menandai momen penting secara visual, megah, dan emosional.
Ledakan cahaya di langit malam dianggap melambangkan berakhirnya tahun lama sekaligus menyambut awal yang baru dengan harapan.
Encyclopedia Britannica mencatat, bangsa Romawi menamai bulan Januari dari dewa Janus yang memiliki dua wajah, melambangkan masa lalu dan masa depan.
Baca juga: Jual Terompet di The Park Mall Solo Baru, Wastono Tempuh 71 Km demi Mengais Rezeki Malam Tahun Baru
Konsep ini turut memengaruhi tradisi refleksi dan resolusi tahun baru yang berkembang hingga saat ini.
Sebagian besar negara merayakan tahun baru pada 1 Januari berdasarkan kalender Gregorian.
Namun, sejumlah budaya menggunakan kalender lunar, surya, atau sistem hibrida untuk menentukan pergantian tahun.
Perbedaan ini membuat waktu dan cara perayaan tahun baru tidak seragam di seluruh dunia.
Meski demikian, pergantian tahun tetap dimaknai sebagai momentum refleksi dan harapan baru dalam berbagai kebudayaan.
(*)