TRIBUNNEWS.COM - Gunung Lewotobi Laki-laki erupsi dan mengakibatkan korban jiwa.
Erupsi juga merusak rumah warga dan sejumlah fasilitas umum.
Warga desa Boru, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) bernama Antonius Kebang Liwu menceritakan detik-detik ngerinya erupsi Gunung Lewotobi.
Ia menuturkan, saat itu, Senin (4/11/2024) malam, sekira pukul 00.00 Wita, terjadi hujan disertai petir.
Setelah sempat berhenti sejenak, tiba-tiba ada suara gemuruh yang keras.
"Malam tepat jam 12 malam diawali dengan hujan, kilat, guntur, setelah itu berhenti sejenak. Kemudian terjadi bunyi gemuruh seperti kayak bom begitu," cerita Antonius, dikutip dari TribunFlores.com.
Saat mendengar bunyi tersebut, Antonius bersama keluarganya sudah siap untuk mengungsi.
Sejumlah dokumen keluarga ikut diselamatkan bersama dengan keluarganya.
"Kita selamatkan kartu keluarga, dokumen keluarga itu, bersama anak dan istri, dengan keluarga lain kita berusaha untuk selamatkan diri," ujar Antonius.
Bau belerang yang menyengat pun tercium dan membuat Antonius menggunakan masker.
Saat keluar dari rumah, ternyata hujan tersebut disertai hujan batu.
Karena panik, ia mengajak keluarganya untuk kembali masuk ke dalam rumah.
Setelah hujan batu selesai, ia dan keluarganya keluar rumah untuk mengecek kondisi sekitar.
Dirasa aman, ia mulai menyelamatkan anak-anaknya terlebih dahulu.
Ia memboncengkan anak-anaknya menggunakan motor ke lokasi yang aman.
Kemudian, ia menghubungi keluarganya yang berada di Desa Hikong, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka untuk menjemputnya dan keluarga.
Antonius dan keluarganya yang berjumlah delapan orang kini mengungsi di Desa Hikong.
"Saat mengungsi yang dibawa saya dan keluarga hanyalah dokumen penting dan juga baju," ungkapnya.
Karena hanya membawa baju dan dokumen, ia dan keluarganya membutuhkan bantuan.
"Kita di sini sangat membutuhkan makanan, tikar, masker, dan obat-obatan," imbuhnya.
Antonius menceritakan, rumahnya rusak karena hujan batu.
"Rumah dalam kondisi rusak,"
"Mudah-mudahan pemerintah bisa peduli dengan kondisi rumah yang rusak seperti memberikan terpal,"
"Sehingga saya bisa menutup bagian yang bolong dan menyelamatkan barang-barang yang ada di dalam rumah," ujarnya.
Erupsi Gunung Lewotobi ini juga merenggut seorang Biarawan Katolik SSpS, Nikolin Padjo.
Mengutip TribunFlores.com, ada 70 anak asrama binaan biara SSpS dan puluhan suster diungsikan.
Pemimpin Biara Asrama Putra St Arnoldus Yansen di Boru, Sr Marieta SSpS menceritakan bahwa para suster dan anak asrama dievakuasi saat tengah malam.
"Sekitar 70 anak asrama putra-putri , 4 suster lansia, 13 suster postulan diungsikan. Sebagian sudah dijemput orang tua sebagian masih menunggu jemputan," ucapnya.
Nahas, pemimpin SSpS Boru, Nikolin Padjo tak bisa diselamatkan.
Ada batu yang menghalangi pintu hingga suster tak bisa tertolong.
"Saat evakuasi batu menghalangi pintu sehingga suster tidak dapat tertolong," ungkapnya.
Marieta menceritakan, kejadian ini terjadi tanpa tanda peringatan.
Ia menuturkan, beberapa hari belakangan, aktivitas gunung sudah menurun.
Namun, tiba-tiba Gunung Lewotobi meletus begitu saja.
"Kami tidak sangka akan terjadi karena beberapa hari ini kan intensitas erupsi menurun sehingga kami pun pikir aman-aman saja, tau-taunya tadi malam dia meletus," ceritanya.
Suster Marieta juga menceritakan bahwa proses evakuasi berlangsung menegangkan.
Anak asrama dan para suster hanya membawa pakaian seadanya.
Hujan abu dan batu pun terjadi sepanjang perjalanan evakuasi.
Bahkan, saat evakuasi, mereka melihat pijaran api yang berjatuhan menghantam rumah hingga pepohonan di sepanjang jalan.
Beruntung, tak ada batu yang mengenai rombongannya.
"Semua kita tanggung dari sini, sejauh ini memang belum ada yang membantu, kita berusaha selamatkan anak-anak hingga menunggu orang tua mereka jemput," tuturnya.
(Tribunnews.com, Muhammad Renald Shiftanto)(TribunFlores.com, Fordi Donovan/Irfan Hoi/Nofri Fuka)