Oleh: Fachrur Rozy
Pemerhati Masalah Pendidikan
BANJARMASINPOST.CO.ID - ARTIKEL bertajuk Bubarkan Fakultas Hukum oleh Muhammad Fathillah Akbar yang dimuat Harian Kompas terbitan 29 Oktober 2024, adalah “tempelengan” terhadap pendidikan hukum di Indonesia.
Siapa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan hukum di Indonesia? Ya para dosen Fakultas Hukum, dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi.
Tesis utama tulisan Bubarkan Fakultas Hukum adalah kritik tajam terhadap sistem pendidikan hukum di Indonesia yang dianggap tidak efektif dalam mempersiapkan lulusan untuk menghadapi realitas dunia kerja dan praktik hukum sebenarnya.
Penulis artikel tersebut berpendapat bahwa fakultas hukum saat ini terlalu berfokus pada pendekatan teoretis dan formalistik, sehingga menghasilkan lulusan yang kurang memiliki keterampilan praktis, kemampuan berpikir kritis, dan pemahaman tentang penerapan hukum dalam konteks sosial dan ekonomi yang kompleks.
Gagasan tulisan tersebut bahwa perlunya reformasi radikal, atau bahkan pembubaran sistem pendidikan hukum yang ada, diperlukan agar institusi-institusi hukum dapat merevolusi kurikulum mereka dan mengadopsi pendekatan pendidikan yang lebih relevan, kontekstual, dan praktis.
Hal ini dimaksudkan untuk melahirkan generasi lulusan hukum yang tidak hanya memahami teori hukum, tetapi juga mampu menerapkannya secara efektif dan bertanggung jawab dalam praktik nyata. Gagasan ini merupakan tantangan terhadap para pendidik/pengajar fakultas hukum, sekolah tinggi hukum.
Kesenjangan dalam pendidikan hukum di Indonesia saat ini terletak pada dominasi pendekatan teoretis dibandingkan pendekatan praktis. Hal ini menyebabkan banyak lulusan fakultas hukum, sekolah hukum yang kurang siap menghadapi tantangan dunia kerja yang membutuhkan keterampilan praktis.
Kesenjangan itu tampak dalam praktik pendidikan atau pembelajaran di fakultas hukum yang kurikulumnya terutama berfokus pada penghafalan teori; minimnya pengalaman praktik dalam kurikulum; keterbatasan sarana dan prasarana pendukung; kurangnya keterlibatan praktisi dalam pengajaran; penilaian yang terlalu teoretis; dan dampak pada kesiapan kerja lulusan.
Kurikulum yang terutama fokus pada penghapalan teori terlihat dari pendidikan hukum di banyak universitas lebih menekankan pada pengajaran teori hukum, prinsip-prinsip dasar, dan analisis doktrin. Mahasiswa diajarkan untuk menghafal undang-undang dan konsep hukum klasik tanpa banyak kesempatan untuk menerapkannya dalam situasi nyata.
Materi kuliah sering kali berorientasi pada pemahaman sejarah hukum dan teori hukum murni, sehingga mahasiswa tidak mendapatkan gambaran yang utuh tentang bagaimana hukum diterapkan dalam pengadilan atau konteks profesional lainnya.
Minimnya pengalaman praktik dalam kurikulum hal ini terlihat dari kurikulum di banyak fakultas hukum sering kali tidak mencakup cukup banyak kegiatan praktik seperti simulasi persidangan (moot court), magang wajib, atau partisipasi dalam klinik hukum. Padahal, kegiatan-kegiatan ini sangat penting untuk mengasah kemampuan mahasiswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan menghadapi kasus-kasus nyata.
Mahasiswa jarang mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan pengacara, hakim, atau lembaga hukum lainnya dalam skala yang memadai. Akibatnya, mereka kurang familiar dengan prosedur, etika, dan dinamika kerja di lapangan.
Hal terbatasnya sarana dan prasarana pendukung bisa dilihat dari beberapa universitas masih menghadapi keterbatasan dalam hal fasilitas penunjang seperti ruang simulasi persidangan, laboratorium hukum, dan akses ke teknologi pendukung. Hal ini menghambat upaya mahasiswa untuk mempraktikkan ilmu hukum yang mereka pelajari.
Perpustakaan hukum dan sumber belajar terkadang tidak dilengkapi dengan materi terkini yang relevan untuk praktik hukum modern, seperti dokumen kasus terbaru dan database hukum online.
Ikhwal kurangnya keterlibatan praktisi dalam pengajaran, terlihat dari fakultas hukum sering kali kurang melibatkan praktisi hukum seperti pengacara, jaksa, dan hakim dalam proses pengajaran. Akibatnya, mahasiswa hanya menerima teori dari perspektif akademis dan tidak mendapat wawasan praktis tentang bagaimana hukum diterapkan dalam berbagai situasi nyata.
Kehadiran praktisi sebagai dosen tamu atau mentor bisa membantu menjembatani kesenjangan ini dengan membawa kasus-kasus nyata ke ruang kelas. Namun, hal ini pada beberapa fakultas hukum, sekolah tinggi hukum jarang terjadi.
Penilaian yang terlalu teoritis terlihat dari sistem penilaian di banyak fakultas hukum masih berbasis pada ujian tertulis yang menguji hafalan dan pemahaman teori. Ini membuat mahasiswa fokus pada penguasaan materi secara teoretis tanpa mengembangkan kemampuan analisis dan argumentasi dalam konteks nyata.
Penilaian berbasis proyek atau presentasi kasus yang mensimulasikan tantangan dunia praktik masih jarang digunakan. Pembelajaran Problem Based Learning, Project Based Learning, dan Contextual Teaching and Leraning banyak tidak dipahami oleh dosen fakultas hukum, sekolah tinggi hukum. Metode itu saja belum paham, bagaimana mau menerapkannya dalam pembelajaran.
Kesenjangan ini menyebabkan lulusan hukum sering merasa tidak siap saat masuk ke dunia kerja. Mereka mungkin paham secara mendalam mengenai teori hukum, tetapi tidak tahu bagaimana mengajukan berkas di pengadilan, melakukan negosiasi, atau menangani kasus dengan klien.
Banyak firma hukum dan institusi lain harus memberikan pelatihan tambahan kepada lulusan baru agar mereka bisa beradaptasi dengan pekerjaan yang menuntut kemampuan praktik.
Itulah beberapa permasalahan dalam sistem pengajaran di fakultas hukum atau sekolah hukum sehingga hasilnya tidak memuaskan. Belum lagi penekanan pada pendidikan integritas.
Sehingga Ketika lulus mereka kurang berintegritas. Akibat tidak ada integritas ini terjadilah jaksa terima suap, hakim terima suap, pengacara menyuap. Pengacara dengan klien menyiapkan suap, bukan menyiapkan argumentasi hukum kuat dan indah yang menggugah perasaan.keadilan.
Pengacara-pengacara ini barangkali juga miskin kemampuan public speakingnya, karena mereka memang tidak diajarkan ber-public speaking, bernegosiasi. Tentu masih ada jaksa yang baik dan profesional, hakim yang baik dan profesional, pengacara yang baik dan profesional.
Pendekatan pendidikan hukum yang lebih menekankan pada teori tanpa menyeimbangkannya dengan praktik menimbulkan kesenjangan yang nyata antara pendidikan dan kebutuhan dunia kerja.
Reformasi kurikulum dan pengajaran yang mengintegrasikan praktik nyata, seperti klinik hukum, simulasi persidangan, dan keterlibatan langsung dengan praktisi, sangat diperlukan untuk menjembatani kesenjangan ini dan mempersiapkan lulusan yang lebih siap menghadapi dunia nyata.
Reformasi pendidikan hukum ini sangat tergantung pada kemauan, kemampuan, dan keberanian para dosen yang sekarang mengajar di fakultas hukum. Tergantung pada pemerintah yang yang tidak buta melihat masalah ini.
Jika tidak ada reformasi, maka barangkali dunia hukum kita tetap as usual seperti sekarang. Bisakah konsorsium ilmu-ilmu hukum melakukan pembaharuan pengajaran hukum? Wallahu a’lam. (*)