Jenderal IRGC: AS dan Israel Mungkin Luncurkan Serangan Preemptive Mengeroyok Iran
TEHERAN - Wakil Panglima Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Brigadir Jenderal Ali Fadavi mengatakan
Israel dan
Amerika Serikat (AS) mungkin akan meluncurkan serangan
preemptive mengeroyok
Iran. Menurutnya, itu mungkin terjadi untuk mencegah Iran melakukan Operasi Janji Sejati III terhadap Israel.
Pernyataan jenderal IRGC itu muncul setelah Donald Trump memenangkan pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) 2024. "Yang mengisyaratkan kemungkinan koordinasi AS-Israel untuk mencegah Iran mempertahankan kedaulatannyaatas serangan Israel baru-baru ini terhadap aset militer Iran," kata Fadavi.
Kendati demikian, Fadavi menegaskan bahwa Iran bersama "Poros Perlawanan" siap konfrontasi.
"Israel tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi kami," katanya.
Dia memperingatkan bahwa Israel harus mengantisipasi respons dari Iran dan sekutu regionalnya.
Menyangkal laporan kerusakan pada gudang senjata Iran akibat serangan udara Israel pada 1 Oktober, Fadavi mengeklaim persenjataan Iran masih lengkap untuk memberikan serangan yang menentukan.
"Kami memiliki daftar target strategis yang kuat di wilayah Israel," paparnya.
Komandan Angkatan Laut Iran Laksamana Muda Shahram Irani menegaskan bahwa kemampuan militer Iran telah mencapai tingkat yang tak tertandingi, dan bersumpah untuk memberikan respons yang cepat dan tegas terhadap ancaman apa pun.
Juru bicara pemerintah Iran Fatemeh Mohajerani mengatakan pengidupan warga Iran tidak akan terpengaruh oleh Pilpres AS yang dimenangkan Trump.
"Pemilu AS bukanlah urusan kami. Kebijakan kami stabil dan tidak berubah berdasarkan individu. Kami telah membuat prediksi yang diperlukan sebelumnya dan tidak akan ada perubahan dalam penghidupan masyarakat," kata Mohajerani, seperti dikutip
Reuters, Kamis (7/11/2024).
Selama masa jabatan pertamanya sebagai Presiden AS, Trump menerapkan kembali sanksi terhadap Iran setelah dia menarik diri dari pakta nuklir tahun 2015 antara Iran dan negara-negara besar dunia yang telah membatasi program nuklir Teheran dengan imbalan keuntungan ekonomi.
Pemberlakuan kembali sanksi AS pada tahun 2018 berdampak pada ekspor minyak Iran, memangkas pendapatan pemerintah, dan memaksanya mengambil langkah-langkah yang tidak populer seperti menaikkan pajak dan menjalankan defisit anggaran yang besar, kebijakan yang telah membuat inflasi tahunan mendekati 40 persen.
Mata uang nasional Iran telah melemah karena prospek kepresidenan Trump, mencapai titik terendah sepanjang masa sebesar 700.000 rial terhadap dolar AS di pasar bebas, menurut situs web pelacakan mata uang Iran;
Bonbast.com.