TIMESINDONESIA, SURABAYA – Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Haryo Soekartono (BHS) melakukan kunjungan kerja spesifik ke Balai Standarisasi dan Pelayanan Jasa Industri (BSPJI) Surabaya, Jumat (8/11/2024).
Forum terbatas ini membahas berbagai standarisasi dalam industri manufaktur. Komisi VII DPR RI secara khusus mendorong percepatan pada Balai Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Surabaya dalam memberikan pelayanan pada dunia industri di Jawa Timur.
"Perlu meningkatkan efektifitas balai ini, maksimal untuk bisa melakukan sertifikasi atau standarisasi industri yang ada di Jatim," kata Bambang Haryo Soekantono (BHS), usai Kunjungan kerja spesifik peninjauan industri, di Surabaya, Jumat (8/11/2024).
Menurutnya, perlu penjngkatan efektifitas kinerja balai ini mengingat jumlah industri di Jawa Timur mencapai 191 ribu. Ia berharap percepatan itu jangan sampai mempersulit industri yang mengajukan pelayanan standarisasi.
"Kalau kita tanya mereka masih 2.000 industri yang distandardisasi selama balai ini berdiri," kata Ketua Dewan Penasehat Gerindra Jatim dan Anggota Dewan Pakar DPP Partai Gerindra ini.
Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI di Balai Standarisasi dan Pelayanan Jasa Industri (BSPJI) Surabaya, Jumat (8/11/2024). (Foto: Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Kunjungan Komisi VII ini sekaligus juga dalam rangka ingin memastikan sumberdaya manusia di balai standarisasi industri betul-betul sesuai keinginan konsumen.
"Keinginan konsumen itu mendapat menjamin keselamatan dari produk industri," ujar BHS.
Sertifikasi yang dikeluarkan BSPJI sendiri memang meliputi pengawasan dalam pabrik (pra pasar). Kemudian Dinas BPOM, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan penegak hukum melakukan pengawasan saat barang hasil produksi siap diedarkan ke pasar.
Pada kesempatan yang sama, BHS juga menyoroti rencana penerapan sertifikasi halal bagi angkutan logistik yang muncul baru-baru ini.
Menurut BHS yang juga merupakan pengamat transportasi publik ini, sertifikat halal seharusnya hanya untuk produk konsumsi. Antara lain seperti makanan, minuman, maupun kosmetik. Bukan pada transportasi distribusi produk-produk tersebut.
"Standarisasi halal itu bukan untuk alat produksinya dan transportasinya, misalnya, truk disertifikasi halal, bagaimana kita bisa menjamin sertifikasi halal kendaraan logistik? Karena kendaraan truk itu ada 6 juta unit," kata BHS usai pertemuan.
Ia tidak yakin lembaga sertifikasi halal mampu melakukan pemantauan mobilitas 6 juta truk di Indonesia.
Sertifikasi halal pada logistik juga dinilai menyulitkan sopir maupun kenek, sehingga dikhawatirkan mereka mogok total dan berdampak pada perekonomian masyarakat.
"Nah, kalau sertifikasi halal pada produk boleh, tetapi tak wajib, kalau konsumen muslim ya perlu sertifikasi halal. Kalau tidak yakin akan produknya, ya tak perlu dipakai produknya. Tetapi memang, tidak diwajibkan untuk semua, karena sertifikasi ini sifatnya pelabelan sehingga agar bisa dipilih oleh konsumen yang mayoritas muslim," kata BHS. (*)