TRIBUNWOW.COM - Kecelakaan yang terjadi di Tol Cipularang pada Senin (11/11/2024) banyak mendapat sorotan.
Termasuk, Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno yang menyebut jika kesalahan bukan hanya dilakukan oleh sopir truk saja.
Menurut Djoko, kecelakaan beruntun yang melibatkan 19 kendaraan itu juga bergantung pada kebijakan pemerintah.
Kata Djoko, kebijakan pemerintah yang pro terhadap liberalisasi angkutan barang menjadi penyebabnya.
“Liberalisasi angkutan barang yang semua diserahkan ke mekanisme pasar perlu di tinjau ulang,” pesannya dalam keterangan yang diterima Jumat (12/11/2024).
Djoko menjelaskan di negara maju mekanisme pasar berjalan, namun masih ada norma-norma batasan, seperti aturan teknis keselamatan kendaraan, regulasi pengemudi dan lain-lain yang dijalankan secara ketat.
Adapun liberalisasai hanya pada pengenaan tarif dengan tetap memenuhi standar.
Namun di Indonesia, liberalisasi di sisi tarif, sementara standar keselamatan dan norma-norma lainnya diabaikan demi kata efisiensi pergerakan biaya.
Hal inilah kata Djoko yang membuat kecelakaan beruntun kembali terjadi melibatkan 19 kendaraan di tol ruas Cikampek-Purwakarta-Padalarang atau Cipularang Km 92, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Senin (11/11/2024) pukul 15.15 WIB.
Baca juga: Penampakan Rumah Sopir Truk Laka Maut Tol Cipularang, Tak Layak Huni Berdinding Bambu & Atap Bocor
Menurutnya banyaknya kecelakaan truk di Indonesia saat ini lantaran tata kelola angkutan logistik di Indonesia masih buruk.
Kebijakan keselamatan lalu lintas seringkali berhadapan dengan prioritas lain, seperti menekan harga murah untuk menjaga inflasi tetap rendah.
Pendekatan ini memiliki risiko besar karena cenderung mengabaikan kebijakan keselamatan dan dapat meningkatkan jumlah kecelakaan lalu lintas.
Maka untuk menciptakan keseimbangan, sangat penting bagi pemerintah dan pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan strategi yang bisa menekan inflasi tanpa mengorbankan keselamatan publik, seperti meningkatkan efisiensi transportasi, mengadopsi teknologi ramah biaya, atau memberikan insentif untuk pengembangan infrastruktur yang lebih aman.
Djoko menyebut pemerintah wajib menyelenggarakan sekolah mengemudi untuk semua jenis kendaraan.
“Pilot, nahkoda dan masinis ada sekolahnya dan wajib bersekolah dulu. Akan tetapi sopir angkutan darat (mobil, bus, dan truk) tidak ada sekolahnya dan tidak melewati pendidikan dan latihan (Diklat). Untuk dapat mengendarai bus dan truk cukup melalui pemagangan menjadi kernet, dimulai dari markir kendaraan dan cuci kendaraan. Setelah bisa markir kendaraan, kemudian mencoba menjalankan truk/bus dalam jarak terbatas, dan seterusnya,” jelasnya.
“Cara ini harus segera diakhiri. Kementerian Perhubungan bersama Polri saling berkoordinasi dapat memulai membuat Sekolah Mengemudi untuk calon pengemudi angkutan umum,” kata Djoko.
Hal ini kata Djoko sesuai amanah Pasal 77 (ayat 4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum, calon Pengemudi wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum.
Setelah ada sekolah mengemudi untuk calon pengemudi truk dan bus, maka semua calon pengemudi wajib mengikuti sekolah mengemudi dulu sebelum memperoleh SIM (Surat Ijin Mengemudi).
Sementara SIM hanya dapat diberikan kepada mereka yang sudah lulus mengikuti sekolah mengemudi.
Sedangkan bagi mereka yang sudah punya SIM dan selama ini sudah menjalankan truk, wajib mengikuti Diklat minimal satu minggu untuk memahami aspek keselamatan dan perilaku berlalu lintas yang beradab.
“Tentu semua biaya dari negara, karena pengemudi angkutan umum tentu tidak punya uang,” jelasnya.
Selain itu, batas pendidikan minimum dan usia calon pengemudi angkutan umum (bus/truk) juga harus ada.
Hal itu seusai dengan Perda DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi yang telah menetapkan calon pengemudi angkutan umum minimal berusia 22 tahun dan berpendidikan minimal SMTA.
“Bisnis angkutan truk harus ditata agar lebih profesional. Memiliki sistem manajemen keselamatan, hubungan industrial yang benar, sehingga proses rekrutmen pengemudi juga melalui cara-cara yang benar dan memperhatikan kompetensi, serta ada batasan jam kerja serta pendapatan minimal,” jelasnya.
Sebelumnya Rouf (43), sosok penyebab kecelakaan maut di Ruas Jalan Tol Cipularang Km 92, Jawa Barat, ternyata baru bekerja sebagai sopir truk selama empat bulan.
Istri Rouf, Tunah (33) mengatakan, sebelum menjadi sopir truk, suaminya berprofesi sebagai pemulung barang bekas.
"Kenapa nasib kami seperti ini, udah mah nggak punya (materi) malah ada peristiwa seperti ini," ucap Tunah saat ditemui di rumahnya di Desa Seuat Jaya, Kecamatan Petir, Kabupaten Serang, Banten, Rabu, dilansir TribunBanten.com.
Adapun raut wajah Tunah tampak gelisah bercampur sedih saat mendengar kabar suaminya terlibat kecelakaan beruntun.
Ia sesekali memeluk dan menciumi anak bungsunya. Ibu lima anak itu terus menangis menunggu kabar terkini suaminya.
"Pertama dengar kabar suami kecelakaan sedih, kaget, langsung pingsan," ucap Tunah.
Meski begitu, dia merasa lega saat memperoleh informasi bahwa suaminya selamat.
Tunah bersama keluarganya langsung bergegas ke rumah sakit tempat Rouf dirawat.
Namun, saat sampai di sana, dia tak diizinkan untuk bertemu Rouf dan terpaksa pulang ke rumah.
"Kalau masih hidup saya lega, cuma suami saya masih belum aman."
"Kemarin saya jenguk ke sana, tapi tidak dibolehkan untuk bertemu oleh petugas," ujarnya.
Ia berharap suaminya bisa lepas dari hukuman sebab jika Rouf dipenjara tak ada lagi yang menjadi tulang punggung keluarga.
"Harapan saya suami bisa bebas, kembali ke keluarga, anaknya banyak, kalau gak bebas gimana nasib anak saya ada lima, keadaan juga seperti ini (pas-pasan) ini di sini aja numpang di orang tua dan kami mengurus kakak yang sakit," ujar Tunah. (*)