Periode Natal 2024 dan Tahun baru 2025 kerap kali jadi semangat tersendiri bagi para pedagang parsel di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Sebab selama periode ini tak sedikit orang yang ingin berbagi kebahagiaan dengan berkirim parsel.
Sayang, kondisi penjualan parsel di perayaan Natal tahun ini tidak seindah tahun-tahun sebelumnya. Tak sedikit parsel-parsel yang sudah dikemas dengan berbagai hiasan cantik berakhir jadi pajangan toko belaka karena tidak kunjung laku.
Misalkan seperti yang dialami salah seorang penjual parsel di gedung Cikini Gold Center bernama Adriana. Ia yang jualan di kawasan Jakarta Pusat selama lebih dari 20 tahun itu mengaku sampai saat ini toko parselnya sepi pembeli.
"Sepi, Natal nggak begitu ramai. Di sini sekarang yang datang untuk beli sudah sepi. Itu kalau lihat orang yang keliling-keliling paling pedagang, kalau nggak ya anak buahnya pada ngobrol-ngobrol," kata Adriana saat ditemui detikcom kemarin.
Tidak cuma sepi pembeli di toko, orderan khusus dari pelanggannya yang ikut jualan parsel juga turun drastis. Hal ini terlihat dari jumlah pesanan parsel yang ia terima pada akhir tahun ini.
"Langganan-langganan juga gitu. Kalau dulu biasa belanja 100 mau pesan ya, sekarang cuma 10, 15. Saya tanya 'kok begitu Bu?', 'sepi, nggak ada yang nggak mau pesan lagi'," jelasnya.
Parahnya lagi Adriana mengatakan kondisi sepi pelanggan ini tidak hanya terjadi pada pembelian parsel jadi saja, namun juga untuk permintaan jasa bungkus parsel.
"Bungkus-bungkus juga dulu langganan banyak, sekarang kurangin. Kaya bakery-bakery kan biasanya pada bungkus ke sini. Sekarang dia hanya bikin 2-3 untuk dipajang di tokonya, kalau ada yang pesan baru bikin, kalau nggak ya nggak (minta dagangannya dibungkusin jadi parsel)," ucap Adriana.
Menurutnya kondisi ini terjadi lantaran banyak orang kini lebih memilih untuk membuat parselnya sendiri alih-alih beli di toko. Belum lagi, sekarang ini banyak juga parsel-parsel yang dijual lewat toko online yang membuat persaingan bisnis menjadi makin sengit.
"Sekarang kebanyakan orang beli online. Terus kebanyakan orang belajar dekorasi parsel sendiri. Jadi parah," kata Adriana.
"Dulu mah ramai, laci uang bisa penuh. Sekarang bukan laci mah nggak ada duitnya," sambungnya lagi.
Akibatnya secara keseluruhan omzet penjualan toko parsel Adriana turun hingga 60%. Masalahnya, untuk bisa jualan di kawasan itu dia harus membayar biaya service charge alias iuran ke pengelola gedung. Belum lagi untuk membayar gaji para perajin parcel dan karyawan toko lainnya.
"Kalau Natal ini hampir sama ya (dengan Natal tahun lalu). Kalau Natal memang sebelum pandemi ya masih mending. Tapi kalau yang semenjak pandemi itu pengaruh banget. Turunnya hampir 60% mah ada sebelum pandemi," ucapnya.
"Saya mah (iuran gedung) sebulan hampir Rp 7 jutaan. Cari duit buat begitu saja. Kalau kita nggak bayar kan bisa nunggak nanti jadi berat. Ya cari uang cukup buat bayar gaji karyawan, service charge gitu saja sudah. Kalau buat puterin susah, harus keluar modal lagi. Ya ketolongnya mungkin nanti sama Lebaran. Natal sama Imlek masih mending Natal," sambungnya.
Senada dengan Adriana, pedagang lain di kawasan Cikini Gold Center bernama Sri juga mengatakan penjualan parsel di tokonya jelang Nataru ini masih sangat landai. Baik dari hasil penjualan dari para pelanggan yang datang ke tokonya maupun pesanan dari para langganan.
"Orang yang datang ke sini sekarang sedikit. Saya biasanya juga jualan ke luar kota, kalau saya tuh cari uang di luar, sekarang kirim kalau ada beli. Tahun ini memang lagi kurang," ucapnya.
"Lah ini, lihat saja sendiri masih banyak parsel belum laku," terang Sri lagi sembari menunjukkan banyaknya parsel yang terpanjang di depan tokonya.
Kalaupun ada pelanggan, menurutnya jumlah parcel yang dibeli tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Sehingga secara umum Sri mengatakan omzet penjualan parsel di tokonya jelang Natal tahun ini mengalami penurunan hingga 50%. "Natal tahun ini turun 50% kalo dibanding sama tahun-tahun sebelumnya lah. Ya kurang lebih segitu turunya," kata Sri.
Padahal dirinya selaku pemilik toko juga harus membayar gaji sejumlah karyawan hingga service charge ke pengelola gedung yang menurutnya cukup tinggi.
"Service charge Rp 150 ribu per bulan, per meter persegi. Kan nggak wajar dong? Ini juga kan masih harus bayar sewa kios, itu Rp 1,5 juta per bulan. (Sewa kios ke pengelola gedung juga?) nggak, kalau kios di sini kebanyakan sudah punya orang atau punya sendiri," papar Sri.