TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Toilet training merupakan salah satu hal penting dalam perkembangan anak menuju kemandirian. Namun, proses ini tidak jarang menjadi tantangan besar bagi orang tua, keluarga, guru, hingga lingkungan tempat anak berada.
Sebagai informasi, toilet training adalah proses mengajarkan anak untuk menggunakan toilet dengan benar dan teratur. Tidak hanya itu, anak juga harus mengenali sinyal dari tubuhnya untuk buang air kecil dan besar.
Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Tumbuh Kembang Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Meitha P.E. Togas, SpA(K) menyebut memberikan toilet training pada anak jangan sampai tertunda. Sebab bakal memicu stres bagi orang tua dan orang-orang di sekelilingnya.
"Pada toilet training yang tertunda, ini dapat berpotensi menyebabkan stres bagi orang tua, baik keluarga, tempat penitipan anak, maupun pada guru-guru sekolah," ujarnya pada Media Briefing dengan topik: Mengenalkan Toilet Training pada Anak yang akan diadakan secara virtual, Rabu(25/12/2024).
Selain itu, dampak dari penundaan toilet training adalah dikhawatirkan dapat menimbulkan adanya peningkatan penyebaran penyakit seperti infeksi, diare, dan juga hepatitis A. Tidak hanya itu, bisa pula meningkatkan risiko beban kerja kepada guru-guru taman bermain, atau kelompok bermain.
Kondisi ini dikarenakan kurangnya anak-anak yang terlatih menggunakan toilet. Pada toilet training yang tertunda juga, pada anak akan lebih mudah menolak toilet training.
Sehingga menyebabkan penolakan untuk buang air besar. Situasi ini bisa menyebabkan terjadinya konstipasi, hingga pemeliharaan kontrol kandung kemih. "Pada toilet training yang tertunda, terhadap lingkungan dan sosial juga, ini akan meningkatkan biaya. (Misal) akibat penggunaan popok, dan akan berpengaruh juga terhadap lingkungan sekitar," paparnya.
Lebih lanjut, dr Meitha memaparkan apa saja faktor yang perlu diperhatikan sebelum memulai program toilet training, seperti:
1. Usia kronologis dan usia perkembangan.
2. Mampu menahan kencing selama 60-90 menit.
3. Mengenal sensasi kandung kemih penuh.
4. Duduk terus menerus di toilet selama 15 menit.
5. Mampu menemukan kamar mandi secara mandiri atau mampu mengkomunikasikan kebutuhan ke toilet.
6. Mampu melepas pakaian, menyeka, menyiram, merapikan dan mencuci tangan.
Tidak hanya itu, penting untuk diingat, jangan memulai toilet training disaat anak dalam keadaan sakit atau tegang. Misalnya, ketika baru pindah rumah, pindah daycare atau bersamaan dengan kelahiran adiknya.
Toilet training juga harus dilakukan dalam kondisi anak senang sehingga dengan sukarela anak akan belajar untuk kemandirian. “Jangan lupa, toilet training harus dilakukan dalam kondisi anak senang dan bebas stres, seperti saat tidak ada perubahan besar dalam hidupnya, misalnya pindah rumah atau kelahiran adik,” tutup dr. Meitha.